Narita International Airport,Japan

Preparing for departure

East West Center, University of Hawaii

All of the participants for Civic Education short course, University Of Hawaii

Davi and Haris

Happy family of my little sister

Elementary School in Hawai'i

Fun learning and school visit

Project Citizen SMP Negeri 16 Bandar Lampung

Implementasi model Project Citizen di SMPN 16 Bandar Lampung

Narita International Airport

Funny and new experience

Minggu, 28 Juli 2013

Tujuan Mata Kuliah PKn di Perguruan Tinggi


Tujuan  Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi

1.    Memiliki wawasan dan kesadaran kebangsaan dan rasa cinta tanah air  sebagai perwujudan warga negara Indonesia yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup bangsa dan negara
2.    Memiliki wawasan dan penghargaan terhadap keanekaragaman masyarakat Indonesia sehingga mampu berkomunikasi baik dalam rangka meperkuat integrasi nasional
3.    Memiliki wawasan, kesadaran dan kecakapan dalam melaksanakan hak, kewajiban, tanggung jawab dan peran sertanya sebagai warga negara yang cerdas, trampil dan berkarakter
4.    Memiliki kesadaran dan penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia serta kewajiban dasar manusia sehingga mampu memperlakukan warga negara secara adil dan tidak diskriminatif
5.    Berpartisipasi aktif membangun masyarakat Indonesia yang  demokratis dengan berlandaskan pada nilai dan budaya demokrasi  yang bersumber pada Pancasila
6.    Memiliki  pola sikap,  pola pikir dan pola perilaku yang mendukung ketahanan nasional serta mampu menyesuaikannya dengan tuntutan perkembangan zaman demi kemajuan bangsa

Sumber
http://winarno.staff.fkip.uns.ac.id/

Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi


Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi
Pengantar
Pendidikan kewarganegaraan (citizenship education) memiliki peran penting dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut William Galston, pendidikan kewarganegaraan per definsi adalah pendidikan_di dalam dan demi_ tatanan politik yang ada (Felix Baghi, 2009). Pendidikan kewarganegaraan adalah bentuk pengemblengan individu-individu agar mendukung dan memperkokoh komunitas politiknya sepanjang komunitas politik itu adalah hasil kesepakatan. Pendidikan kewarganegaraan suatu negara akan senantiasa dipengaruhi oleh nilai-nilai dan tujuan pendidikan (educational values and aims) sebagai faktor struktural utama (David Kerr, 1999). Pendidikan kewarganegaraan bukan semata-mata membelajarkan fakta tentang lembaga dan prosedur kehidupan politik tetapi juga persoalan jatidiri dan identitas suatu bangsa (Kymlicka, 2001).
Berdasar hal di atas, pendidikan kewarganegaraan di Indonesia juga berkontiribusi penting dalam menunjang tujuan bernegara Indonesia. Pendidikan kewarganegaraan secara sistematik adalah dalam rangka perwujudan fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 Pendidikan kewarganegaraan berkaitan dan berjalan seiring dengan perjalanan pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan kewarganegaraan merupakan bagian integral dari ide, instrumentasi, dan praksis kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia (Udin Winataputra, 2008). Bahkan dikatakan, pendidikan nasional kita hakikatnya adalah pendidikan kewarganegaraan agar dilahirkan warga negara Indonesia yang berkualitas baik dalam disiplin sosial dan nasional, dalam etos kerja, dalam produktivitas kerja, dalam kemampuan intelektual dan profesional, dalam tanggung jawab kemasyarakatan, kebangsaan, kemanusiaan serta dalam moral, karakter dan kepribadian (Soedijarto, 2008).
Pendidikan kewarganegaraan di manapun pada dasarnya bertujuan membentuk warga negara yang baik (good citizen) (Somantri, 2001; Aziz Wahab, 2007; Kalidjernih, 2010). Namun konsep “warga negara yang baik” berbeda-beda dan sering berubah sejalan dengan perkembangan bangsa yang bersangkutan. Dalam konteks tujuan pendidikan nasional dewasa ini, warga negara yang baik yang gayut dengan pendidikan kewarganegaraan adalah warga negara yang demokratis bertanggung jawab (Pasal 3) dan warga negara yang memiliki semangat kebangsaan dan cinta tanah air (pasal 37 Undang-Undang No 20 Tahun 2003). Dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan kewarganegaraan di Indonesia adalah membentuk warga negara yang demokratis bertanggung jawab, memiliki semangat kebangsaan dan cinta tanah air.
Pendidikan kewarganegaraan merupakan bidang yang lintas keilmuan (Udin Winataputra, 2001) atau bidang yang multidisipliner (Sapriya, 2007). Sebagai bidang yang multidimensional, pendidikan kewarganegaraan dapat memuat sejumlah fungsi antara lain; sebagai pendidikan politik, pendidikan hukum dan pendidikan nilai (Numan Somantri, 2001); pendidikan demokrasi (Udin Winataputra, 2001); pendidikan nilai, pendidikan demokrasi, pendidikan moral dan pendidikan Pancasila (Suwarma, 2006), pendidikan politik hukum kenegaraan berbangsa dan bernegara NKRI, sebagai pendidikan nilai moral Pancasila dan Konstitusi NKRI, pendidikan kewarganegaraan (citizenship education) NKRI dan sebagai pendidikan kewargaan negara (civic education) NKRI (Kosasih Djahiri, 2007); dan sebagai pendidikan demokrasi, pendidikan karakter bangsa, pendidikan nilai dan moral, pendidikan bela negara, pendidikan politik, dan pendidikan hukum (Sapriya, 2007). Fungsi yang berbeda-beda tersebut sejalan dengan karakteristik “warga negara yang baik” yang hendak diwujudkan.
Selain memuat beragam fungsi, pendidikan kewarganegaraan memiliki 3 domain/ dimensi atau wilayah yakni sebagai program kurikuler, program sosial kemasyarakatan dan sebagai program akademik (Udin Winataputra, 2001; Sapriya, 2007). Pendidikan kewarganegaraan sebagai program kurikuler adalah pendidikan kewarganegaraan yang dilaksanakan di sekolah atau dunia pendidikan yang mencakup program intra, ko dan ekstrakurikuler. Sebagai program kurikulum khususnya intra kurikuler, pendidikan kewarganegaraan dapat diwujudkan dengan nama pelajaran yang berdiri sendiri (separated) atau terintegrasi dengan mata pelajaran yang lain (integratied). Sebagai program sosial kemasyarakatan adalah pendidikan kewarganegaraan yang dijalankan oleh dan untuk masyarakat. Pendidikan kewarganegaraan sebagai program akademik adalah kegiatan ilmiah yang dilakukan komunitasnya guna memperkaya body of knowledge pkn itu sendiri.
Mata kuliah PKn di Perguruan Tinggi
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagai nama mata kuliah di perguruan tinggi merupakan perwujudkan dari pendidikan kewarganegaraan (pkn) dalam dimensi kurikuler khususnya kegiatan intra kurikuler. Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi dimunculkan sebagai mata kuliah tersendiri, tidak terintegrasi dengan mata kuliah lain. Ia dapat dikatakan sebagai nama species, sedang genusnya adalah pkn itu sendiri. Ia adalah nama diri bukan nama jenis. Secara kebetulan species atau nama diri sama dengan nama genus atau nama jenisnya yakni PKn.
Namun demikian, pengalaman penyelenggaraan pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi di Indonesia pernah diwujudkan dengan berbagai nama diri atau species yang berbeda-beda. Pendidikan kewarganegaraan pernah diwujudkan dengan nama mata kuliah Filsafat Pancasila, Kewiraan, Pendidikan Pancasila dan PKn. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah ada pelajaran Civics, PKN, PMP, PSPB, PPKn, Kewarganegaraan , PKPS, dan PKn.
Perkembangan baru menunjukkan bahwa pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi dimunculkan dengan dua mata kuliah yang berbeda yakni Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dengan merujuk pada SK Dirjen Dikti No. 43 Tahun 2006 dan Pendidikan Pancasila (PP) mendasarkan pada SE Dirjen Dikti No. 914/E/T/2011.
Kedua mata kuliah tersebut pada hakekatnya merupakan pendidikan kewarganegaraan sebagai program kurikuler pada jenjang pendidikan tinggi di Indonesia yang juga sama-sama bertujuan membentuk warga negara yang baik (good citizen). Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya overlapping antara keduanya, perlu dirumuskan konsep warga negara yang baik yang hendak dikembangkan oleh kedua mata kuliah ini. Hal demikian juga perlu pemberian penekanan fungsi yang berbeda dari kedua mata kuliah.
Jika merujuk pada tujuan pendidikan nasional dan tujuan pendidikan kewarganegaraan yang terdapat dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003, maka terungkap bahwa fungsi pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah sebagai pendidikan demokrasi dan pendidikan kebangsaan. Sebagai pendidikan demokrasi karena bertujuan membentuk warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab (pasal 3), dan sebagai pendidikan kebangsaan karena bertujuan membentuk warga negara yang memiliki semangat kebangsaan dan cinta tanah air (pasal 37). Jika demikian, dengan sederhana dapat diusulkan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) memuat fungsi sebagai pendidikan demokrasi, sedang mata kuliah Pendidikan Pancasila  mengemban fungsi sebagai pendidikan kebangsaan. Jika dua fungsi ini telah ditetapkan dan terbedakan maka selanjutnya dapat dikembangkan sejumlah materi pembelajaran (instructional material) yang dapat mendukung fungsi dari mata kuliah tersebut. Fungsi dari mata kuliah tersebut sekaligus menunjukkan jatidiri mata kuliah yang bersangkutan.
Namun demikian, jika hanya dua fungsi pendidikan yang diemban oleh kedua mata kuliah tersebut, bagaimana dengan fungsi-fungsi lain yang sesungguhnya juga bisa dimuat oleh pendidikan kewarganegaraan sebagai program kurikuler? Misal, fungsinya sebagai pendidikan kesadaran hukum, pendidikan nilai moral/karakter, pendidikan HAM, pendidikan multikultural, pendidikan anti korupsi, pendidikan kesadaran lingkungan, pendidikan kewarganegaraan (civic education) dalam arti sempit.
Apabila memang diinginkan bahwa kedua mata kuliah tersebut memuat pula sejumlah fungsi pendidikan di atas, perlu pemetaan ulang dan pembedaan fungsi yang diemban, sehingga_sekali lagi_tidak terjadi overlapping. Sebab jika terjadi tumpang tindih rumusan fungsinya akan berpengaruh pula pada overlapping materi pembelajarannya.
Berdasar masalah di atas, menurut hemat penulis, Pendidikan Pancasila lebih baik memuat fungsi atau jatidirinya sebagai pendidikan nilai/moral atau karakter dan pendidikan kesadaran hukum, termasuk kesadaran berkonstitusi. Sebab secara konseptual, Pancasila merupakan jatidiri bangsa yang didalamnya memuat nilai-nilai luhur bangsa. Di samping itu Pancasila sebagai dasar negara memiliki implikasi yuridis sebagai sumber hukum yang nantinya tercermin dalam UUD 1945. Sementara itu, PKn dapat mengemban fungsi sebagai pendidikan kebangsaan dan pendidikan demokrasi, ditambahkan sebagai pendidikan HAM, multikultural dan pendidikan kewarganegaraan dalam arti sempit.
Dengan demikian, apabila jatidiri dari kedua mata kuliah tersebut sudah jelas dan terbedakan, maka akan lebih mudah untuk merumuskan kompetensi (tujuan pembelajaran) dan isi (materi pembelajaran) dari mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi.
Oleh karena itu di bawah ini, penulis akan mencoba merumuskan sejumlah visi, misi, , tujuan, kompetensi dan materi pendidikan dari PKn dalam fungsinya sebagai pendidikan kebangsaan, pendidikan demokrasi, pendidikan HAM, multikultural dan pendidikan kewarganegaraan dalam arti sempit.
Visi Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
Sebagai kelompok matakuliah pengembangan kepribadian yang memberi orientasi bagi mahasiswa dalam memantapkan wawasan dan kesadaran kebangsaan, cinta tanah air, demokrasi , penghargaan atas keragamaan dan partisipasinya membangun bangsa berdasar Pancasila
Misi Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
Sebagai kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian yang menyelenggarakan pendidikan kebangsaan, demokrasi , HAM, multikulural dan kewarganegaraan kepada mahasiswa guna mendukung terwujudnya warga negara yang cerdas, trampil dan berkarakter sehingga dapat diandalkan guna membangun bangsa dan negara berdasar Pancasila dan UUD 1945 sesuai dengan bidang keilmuan dan profesinya.

Sumber
http://winarno.staff.fkip.uns.ac.id/

Kepemimpinan


Perkembangan Paradigma Kepemimpinan:
Gaya, Tipologi, Model dan Teori Kepemimpinan
Jenis, gaya, dan ciri yang menandai perkembangan kepemimpinan masa lalu dapat dilihat dari pengetahuan atau pun teori kepemimpinan yang berkembang dalam kurun waktu tersebut. Abad 20 baru saja berlalu. Kita dapat mencatat sejarah kemanusiaan yang penuh dinamika perubahan di abad itu; termasuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tak terkecuali perkembangan pengetahuan tentang paradigma kepemimpinan yang dapat meliputi gaya kepemimpinan, tipologi kepemimpinan, model-model kepemimpinan, dan teori-teori kepemimpinan. Sekalipun secara konseptual pada ketiganya terdapat perbedaan, namun sebagai telaahan mengenai substansi yang sama akan terdapat korelasi bahkan interdependensi antar ketiganya.
  1. Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan, pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk tertentu. Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Davis dan Newstrom (1995). Keduanya menyatakan bahwa pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang dipersepsikan atau diacu oleh bawahan tersebut dikenal sebagai gaya kepemimpinan.
Gaya kepemimpinan dari seorang pemimpin, pada dasarnya dapat diterangkan melalui tiga aliran teori berikut ini.
Teori Genetis (Keturunan). Inti dari teori menyatakan bahwa “Leader are born and nor made” (pemimpin itu dilahirkan (bakat) bukannya dibuat). Para penganut aliran teori ini mengetengahkan pendapatnya bahwa seorang pemimpin akan menjadi pemimpin karena ia telah dilahirkan dengan bakat kepemimpinan. Dalam keadaan yang bagaimanapun seseorang ditempatkan karena ia telah ditakdirkan menjadi pemimpin, sesekali kelak ia akan timbul sebagai pemimpin. Berbicara mengenai takdir, secara filosofis pandangan ini tergolong pada pandangan fasilitas atau determinitis.
Teori Sosial. Jika teori pertama di atas adalah teori yang ekstrim pada satu sisi, maka teori inipun merupakan ekstrim pada sisi lainnya. Inti aliran teori sosial ini ialah bahwa “Leader are made and not born” (pemimpin itu dibuat atau dididik bukannya kodrati). Jadi teori ini merupakan kebalikan inti teori genetika. Para penganut teori ini mengetengahkan pendapat yang mengatakan bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin apabila diberikan pendidikan dan pengalaman yang cukup.
Teori Ekologis. Kedua teori yang ekstrim di atas tidak seluruhnya mengandung kebenaran, maka sebagai reaksi terhadap kedua teori tersebut timbullah aliran teori ketiga. Teori yang disebut teori ekologis ini pada intinya berarti bahwa seseorang hanya akan berhasil menjadi pemimpin yang baik apabila ia telah memiliki bakat kepemimpinan. Bakat tersebut kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pengalaman yang memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Teori ini menggabungkan segi-segi positif dari kedua teori terdahulu sehingga dapat dikatakan merupakan teori yang paling mendekati kebenaran. Namun demikian, penelitian yang jauh lebih mendalam masih diperlukan untuk dapat mengatakan secara pasti apa saja faktor yang menyebabkan timbulnya sosok pemimpin yang baik.
Selain pendapat-pendapat yang menyatakan tentang timbulnya gaya kepemimpinan tersebut, Hersey dan Blanchard (1992) berpendapat bahwa gaya kepemimpinan pada dasarnya merupakan perwujudan dari tiga komponen, yaitu pemimpin itu sendiri, bawahan, serta situasi di mana proses kepemimpinan tersebut diwujudkan. Bertolak dari pemikiran tersebut, Hersey dan Blanchard (1992) mengajukan proposisi bahwa gaya kepemimpinan (k) merupakan suatu fungsi dari pimpinan (p), bawahan (b) dan situasi tertentu (s)., yang dapat dinotasikan sebagai : k = f (p, b, s).
Menurut Hersey dan Blanchard, pimpinan (p) adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan unjuk kerja maksimum yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan organisasi. Organisasi akan berjalan dengan baik jika pimpinan mempunyai kecakapan dalam bidangnya, dan setiap pimpinan mempunyai keterampilan yang berbeda, seperti keterampilan teknis, manusiawi dan konseptual. Sedangkan bawahan adalah seorang atau sekelompok orang yang merupakan anggota dari suatu perkumpulan atau pengikut yang setiap saat siap melaksanakan perintah atau tugas yang telah disepakati bersama guna mencapai tujuan. Dalam suatu organisasi, bawahan mempunyai peranan yang sangat strategis, karena sukses tidaknya seseorang pimpinan bergantung kepada para pengikutnya ini. Oleh sebab itu, seorang pemimpinan dituntut untuk memilih bawahan dengan secermat mungkin.
Adapun situasi (s) menurut Hersey dan Blanchard adalah suatu keadaan yang kondusif, di mana seorang pimpinan berusaha pada saat-saat tertentu mempengaruhi perilaku orang lain agar dapat mengikuti kehendaknya dalam rangka mencapai tujuan bersama. Dalam satu situasi misalnya, tindakan pimpinan pada beberapa tahun yang lalu tentunya tidak sama dengan yang dilakukan pada saat sekarang, karena memang situasinya telah berlainan. Dengan demikian, ketiga unsur yang mempengaruhi gaya kepemimpinan tersebut, yaitu pimpinan, bawahan dan situasi merupakan unsur yang saling terkait satu dengan lainnya, dan akan menentukan tingkat keberhasilan kepemimpinan.
  1. Tipologi Kepemimpinan
Dalam praktiknya, dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut berkembang beberapa tipe kepemimpinan; di antaranya adalah sebagian berikut (Siagian,1997).
Tipe Otokratis. Seorang pemimpin yang otokratis ialah pemimpin yang memiliki kriteria atau ciri sebagai berikut: Menganggap organisasi sebagai pemilik pribadi; Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi; Menganggap bawahan sebagai alat semata-mata; Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat; Terlalu tergantung kepada kekuasaan formalnya; Dalam tindakan pengge-rakkannya sering memperguna-kan pendekatan yang mengandung unsur paksaan dan bersifat menghukum.
Tipe Militeristis. Perlu diperhatikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dari seorang pemimpin tipe militerisme berbeda dengan seorang pemimpin organisasi militer. Seorang pemimpin yang bertipe militeristis ialah seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat berikut : Dalam menggerakan bawahan sistem perintah yang lebih sering dipergunakan; Dalam menggerakkan bawahan senang bergantung kepada pangkat dan jabatannya; Senang pada formalitas yang berlebih-lebihan; Menuntut disiplin yang tinggi dan kaku dari bawahan; Sukar menerima kritikan dari bawahannya; Menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan.
Tipe Paternalistis. Seorang pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin yang paternalistis ialah seorang yang memiliki ciri sebagai berikut : menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa; bersikap terlalu melindungi (overly protective); jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan; jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil inisiatif; jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan daya kreasi dan fantasinya; dan sering bersikap maha tahu.
Tipe Karismatik. Hingga sekarang ini para ahli belum berhasil menemukan sebab-sebab-sebab mengapa seseorang pemimpin memiliki karisma. Umumnya diketahui bahwa pemimpin yang demikian mempunyai daya tarik yang amat besar dan karenanya pada umumnya mempunyai pengikut yang jumlahnya yang sangat besar, meskipun para pengikut itu sering pula tidak dapat menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut pemimpin itu. Karena kurangnya pengetahuan tentang sebab musabab seseorang menjadi pemimpin yang karismatik, maka sering hanya dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib (supra natural powers). Kekayaan, umur, kesehatan, profil tidak dapat dipergunakan sebagai kriteria untuk karisma. Gandhi bukanlah seorang yang kaya, Iskandar Zulkarnain bukanlah seorang yang fisik sehat, John F Kennedy adalah seorang pemimpin yang memiliki karisma meskipun umurnya masih muda pada waktu terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat. Mengenai profil, Gandhi tidak dapat digolongkan sebagai orang yang ‘ganteng”.
Tipe Demokratis. Pengetahuan tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa tipe pemimpin yang demokratislah yang paling tepat untuk organisasi modern. Hal ini terjadi karena tipe kepemimpinan ini memiliki karakteristik sebagai berikut : dalam proses penggerakan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu adalah makhluk yang termulia di dunia; selalu berusaha mensinkronisasikan kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi dari pada bawahannya; senang menerima saran, pendapat, dan bahkan kritik dari bawahannya; selalu berusaha mengutamakan kerjasama dan teamwork dalam usaha mencapai tujuan; ikhlas memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada bawahannya untuk berbuat kesalahan yang kemudian diperbaiki agar bawahan itu tidak lagi berbuat kesalahan yang sama, tetapi lebih berani untuk berbuat kesalahan yang lain; selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya; dan berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin.
Secara implisit tergambar bahwa untuk menjadi pemimpin tipe demokratis bukanlah hal yang mudah. Namun, karena pemimpin yang demikian adalah yang paling ideal, alangkah baiknya jika semua pemimpin berusaha menjadi seorang pemimpin yang demokratis.
  1. Model Kepemimpinan.
Model kepemimpinan didasarkan pada pendekatan yang mengacu kepada hakikat kepemimpinan yang berlandaskan pada perilaku dan keterampilan seseorang yang berbaur kemudian membentuk gaya kepemimpinan yang berbeda. Beberapa model yang menganut pendekatan ini, di antaranya adalah sebagai berikut.
Model Kepemimpinan Kontinum (Otokratis-Demokratis). Tannenbaun dan Schmidt dalam Hersey dan Blanchard (1994) berpendapat bahwa pemimpin mempengaruhi pengikutnya melalui beberapa cara, yaitu dari cara yang menonjolkan sisi ekstrim yang disebut dengan perilaku otokratis sampai dengan cara yang menonjolkan sisi ekstrim lainnya yang disebut dengan perilaku demokratis. Perilaku otokratis, pada umumnya dinilai bersifat negatif, di mana sumber kuasa atau wewenang berasal dari adanya pengaruh pimpinan. Jadi otoritas berada di tangan pemimpin, karena pemusatan kekuatan dan pengambilan keputusan ada pada dirinya serta memegang tanggung jawab penuh, sedangkan bawahannya dipengaruhi melalui ancaman dan hukuman. Selain bersifat negatif, gaya kepemimpinan ini mempunyai manfaat antara lain, pengambilan keputusan cepat, dapat memberikan kepuasan pada pimpinan serta memberikan rasa aman dan keteraturan bagi bawahan. Selain itu, orientasi utama dari perilaku otokratis ini adalah pada tugas.
Perilaku demokratis; perilaku kepemimpinan ini memperoleh sumber kuasa atau wewenang yang berawal dari bawahan. Hal ini terjadi jika bawahan dimotivasi dengan tepat dan pimpinan dalam melaksanakan kepemimpinannya berusaha mengutamakan kerjasama dan team work untuk mencapai tujuan, di mana si pemimpin senang menerima saran, pendapat dan bahkan kritik dari bawahannya. Kebijakan di sini terbuka bagi diskusi dan keputusan kelompok.
Namun, kenyataannya perilaku kepemimpinan ini tidak mengacu pada dua model perilaku kepemimpinan yang ekstrim di atas, melainkan memiliki kecenderungan yang terdapat di antara dua sisi ekstrim tersebut. Tannenbaun dan Schmidt dalam Hersey dan Blanchard (1994) mengelompokkannya menjadi tujuh kecenderungan perilaku kepemimpinan. Ketujuh perilaku inipun tidak mutlak melainkan akan memiliki kecenderungan perilaku kepemimpinan mengikuti suatu garis kontinum dari sisi otokratis yang berorientasi pada tugas sampai dengan sisi demokratis yang berorientasi pada hubungan.
Model Kepemimpinan Ohio. Dalam penelitiannya, Universitas Ohio melahirkan teori dua faktor tentang gaya kepemimpinan yaitu struktur inisiasi dan konsiderasi (Hersey dan Blanchard, 1992). Struktur inisiasi mengacu kepada perilaku pemimpin dalam menggambarkan hubungan antara dirinya dengan anggota kelompok kerja dalam upaya membentuk pola organisasi, saluran komunikasi, dan metode atau prosedur yang ditetapkan dengan baik. Adapun konsiderasi mengacu kepada perilaku yang menunjukkan persahabatan, kepercayaan timbal-balik, rasa hormat dan kehangatan dalam hubungan antara pemimpin dengan anggota stafnya (bawahan). Adapun contoh dari faktor konsiderasi misalnya pemimpin menyediakan waktu untuk menyimak anggota kelompok, pemimpin mau mengadakan perubahan, dan pemimpin bersikap bersahabat dan dapat didekati. Sedangkan contoh untuk faktor struktur inisiasi misalnya pemimpin menugaskan tugas tertentu kepada anggota kelompok, pemimpin meminta anggota kelompok mematuhi tata tertib dan peraturan standar, dan pemimpin memberitahu anggota kelompok tentang hal-hal yang diharapkan dari mereka. Kedua faktor dalam model kepemimpinan Ohio tersebut dalam implementasinya mengacu pada empat kuadran, yaitu : (a) model kepemimpinan yang rendah konsiderasi maupun struktur inisiasinya, (b) model kepemimpinan yang tinggi konsiderasi maupun struktur inisiasinya, (c) model kepemimpinan yang tinggi konsiderasinya tetapi rendah struktur inisiasinya, dan (d) model kepemimpinan yang rendah konsiderasinya tetapi tinggi struktur inisiasinya.
Model Kepemimpinan Likert (Likert’s Management System). Likert dalam Stoner (1978) menyatakan bahwa dalam model kepemimpinan dapat dikelompokkan dalam empat sistem, yaitu sistem otoriter, otoriter yang bijaksana, konsultatif, dan partisipatif. Penjelasan dari keempat sistem tersebut adalah seperti yang disajikan pada bagian berikut ini.
Sistem Otoriter (Sangat Otokratis). Dalam sistem ini, pimpinan menentukan semua keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan, dan memerintahkan semua bawahan untuk menjalankannya. Untuk itu, pemimpin juga menentukan standar pekerjaan yang harus dijalankan oleh bawahan. Dalam menjalankan pekerjaannya, pimpinan cenderung menerapkan ancaman dan hukuman. Oleh karena itu, hubungan antara pimpinan dan bawahan dalam sistem adalah saling curiga satu dengan lainnya.
Sistem Otoriter Bijak (Otokratis Paternalistik). Perbedaan dengan sistem sebelumnya adalah terletak kepada adanya fleksibilitas pimpinan dalam menetapkan standar yang ditandai dengan meminta pendapat kepada bawahan. Selain itu, pimpinan dalam sistem ini juga sering memberikan pujian dan bahkan hadiah ketika bawahan berhasil bekerja dengan baik. Namun demikian, pada sistem inipun, sikap pemimpin yang selalu memerintah tetap dominan.
Sistem Konsultatif. Kondisi lingkungan kerja pada sistem ini dicirikan adanya pola komunikasi dua arah antara pemimpin dan bawahan. Pemimpin dalam menerapkan kepemimpinannya cenderung lebih bersifat menudukung. Selain itu sistem kepemimpinan ini juga tergambar pada pola penetapan target atau sasaran organisasi yang cenderung bersifat konsultatif dan memungkinkan diberikannya wewenang pada bawahan pada tingkatan tertentu.
Sistem Partisipatif. Pada sistem ini, pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang lebih menekankan pada kerja kelompok sampai di tingkat bawah. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemimpin biasanya menunjukkan keterbukaan dan memberikan kepercayaan yang tinggi pada bawahan. Sehingga dalam proses pengambilan keputusan dan penentuan target pemimpin selalu melibatkan bawahan. Dalam sistem inipun, pola komunikasi yang terjadi adalah pola dua arah dengan memberikan kebebasan kepada bawahan untuk mengungkapkan seluruh ide ataupun permasalahannya yang terkait dengan pelaksanaan pekerjaan.
Dengan demikian, model kepemimpinan yang disampaikan oleh Likert ini pada dasarnya merupakan pengembangan dari model-model yang dikembangkan oleh Universitas Ohio, yaitu dari sudut pandang struktur inisasi dan konsiderasi.
Model Kepemimpinan Managerial Grid. Jika dalam model Ohio, kepemimpinan ditinjau dari sisi struktur inisiasi dan konsideransinya, maka dalam model manajerial grid yang disampaikan oleh Blake dan Mouton dalam Robbins (1996) memperkenalkan model kepemimpinan yang ditinjau dari perhatiannya terhadap tugas dan perhatian pada orang. Kedua sisi tinjauan model kepemimpinan ini kemudian diformulasikan dalam tingkatan-tingkatan, yaitu antara 0 sampai dengan 9. Dalam pemikiran model managerial grid adalah seorang pemimpin selain harus lebih memikirkan mengenai tugas-tugas yang akan dicapainya juga dituntut untuk memiliki orientasi yang baik terhadap hubungan kerja dengan manusia sebagai bawahannya. Artinya bahwa seorang pemimpin tidak dapat hanya memikirkan pencapaian tugas saja tanpa memperhitungkan faktor hubungan dengan bawahannya, sehingga seorang pemimpin dalam mengambil suatu sikap terhadap tugas, kebijakan-kebijakan yang harus diambil, proses dan prosedur penyelesaian tugas, maka saat itu juga pemimpin harus memperhatikan pola hubungan dengan staf atau bawahannya secara baik. Menurut Blake dan Mouton ini, kepemimpinan dapat dikelompokkan menjadi empat kecenderungan yang ekstrim dan satu kecenderungan yang terletak di tengah-tengah keempat gaya ekstrim tersebut.
Grid 1.1 disebut Impoverished leadership (Model Kepemimpinan yang Tandus), dalam kepemimpinan ini si pemimpin selalu menghidar dari segala bentuk tanggung jawab dan perhatian terhadap bawahannya.
Grid 9.9 disebut Team leadership (Model Kepemimpinan Tim), pimpinan menaruh perhatian besar terhadap hasil maupun hubungan kerja, sehingga mendorong bawahan untuk berfikir dan bekerja (bertugas) serta terciptanya hubungan yang serasi antara pimpinan dan bawahan.
Grid 1.9 disebut Country Club leadership (Model Kepemimpinan Perkumpulan), pimpinan lebih mementingkan hubungan kerja atau kepentingan bawahan, sehingga hasil/tugas kurang diperhatikan.
Grid 9.1 disebut Task leadership (Model Kepemimpinan Tugas), kepemimpinan ini bersifat otoriter karena sangat mementingkan tugas/hasil dan bawahan dianggap tidak penting karena sewaktu-waktu dapat diganti.
Grid 5.5 disebut Middle of the road (Model Kepemimpinan Jalan Tengah), di mana si pemimpin cukup memperhatikan dan mempertahankan serta menyeimbangkan antara moral bawahan dengan keharusan penyelesaian pekerjaan pada tingkat yang memuaskan, di mana hubungan antara pimpinan dan bawahan bersifat kebapakan.
Berdasakan uraian di atas, pada dasarnya model kepemimpinan manajerial grid ini relatif lebih rinci dalam menggambarkan kecenderungan kepemimpinan. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwasanya model ini merupakan pandangan yang berawal dari pemikiran yang relatif sama dengan model sebelumnya, yaitu seberapa otokratis dan demokratisnya kepemimpinan dari sudut pandang perhatiannya pada orang dan tugas.
Model Kepemimpinan Kontingensi. Model kepemimpinan kontingensi dikembang-kan oleh Fielder. Fielder dalam Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1995) berpendapat bahwa gaya kepemimpinan yang paling sesuai bagi sebuah organisasi bergantung pada situasi di mana pemimpin bekerja. Menurut model kepemimpinan ini, terdapat tiga variabel utama yang cenderung menentukan apakah situasi menguntukang bagi pemimpin atau tidak. Ketiga variabel utama tersebut adalah : hubungan pribadi pemimpin dengan para anggota kelompok (hubungan pemimpin-anggota); kadar struktur tugas yang ditugaskan kepada kelompok untuk dilaksanakan (struktur tugas); dan kekuasaan dan kewenangan posisi yang dimiliki (kuasa posisi).
Berdasar ketiga variabel utama tersebut, Fiedler menyimpulkan bahwa : para pemimpin yang berorientasi pada tugas cenderung berprestasi terbaik dalam situasi kelompok yang sangat menguntungkan maupun tidak menguntungkan sekalipun; para pemimpin yang berorientasi pada hubungan cenderung berprestasi terbaik dalam situasi-situasi yang cukup menguntungkan.
Dari kesimpulan model kepemimpinan tersebut, pendapat Fiedler cenderung kembali pada konsep kontinum perilaku pemimpin. Namun perbedaannya di sini adalah bahwa situasi yang cenderung menguntungkan dan yang cenderung tidak menguntungkan dipisahkan dalam dua kontinum yang berbeda.
Model Kepemimpinan Tiga Dimensi. Model kepemimpinan ini dikembangkan oleh Redin. Model tiga dimensi ini, pada dasarnya merupakan pengembangan dari model yang dikembangkan oleh Universitas Ohio dan model Managerial Grid. Perbedaan utama dari dua model ini adalah adanya penambahan satu dimensi pada model tiga dimensi, yaitu dimensi efektivitas, sedangkan dua dimensi lainnya yaitu dimensi perilaku hubungan dan dimensi perilaku tugas tetap sama.
Intisari dari model ini terletak pada pemikiran bahwa kepemimpinan dengan kombinasi perilaku hubungan dan perilaku tugas dapat saja sama, namun hal tersebut tidak menjamin memiliki efektivitas yang sama pula. Hal ini terjadi karena perbedaan kondisi lingkungan yang terjadi dan dihadapi oleh sosok pemimpin dengan kombinasi perilaku hubungan dan tugas yang sama tersebut memiliki perbedaan. Secara umum, dimensi efektivitas lingkungan terdiri dari dua bagian, yaitu dimensi lingkungan yang tidak efektif dan efektif. Masing-masing bagian dimensi lingkungan ini memiliki skala yang sama 1 sampai dengan 4, dimana untuk lingkungan tidak efektif skalanya bertanda negatif dan untuk lingkungan yang efektif skalanya bertanda positif.
  1. Teori Kepemimpinan.
Salah satu prestasi yang cukup menonjol dari sosiologi kepemimpinan modern adalah perkembangan dari teori peran (role theory). Dikemukakan, setiap anggota suatu masyarakat menempati status posisi tertentu, demikian juga halnya dengan individu diharapkan memainkan peran tertentu. Dengan demikian kepemimpinan dapat dipandang sebagai suatu aspek dalam diferensiasi peran. Ini berarti bahwa kepemimpinan dapat dikonsepsikan sebagai suatu interaksi antara individu dengan anggota kelompoknya.
Menurut kaidah, para pemimpin atau manajer adalah manusia-manusia super lebih daripada yang lain, kuat, gigih, dan tahu segala sesuatu (White, Hudgson & Crainer, 1997). Para pemimpin juga merupakan manusia-manusia yang jumlahnya sedikit, namun perannya dalam organisasi merupakan penentu keberhasilan dan suksesnya tujuan yang hendak dicapai. Berangkat dari ide-ide pemikiran, visi para pemimpin ditentukan arah perjalanan suatu organisasi. Walaupun bukan satu-satunya ukuran keberhasilan dari tingkat kinerja organisasi, akan tetapi kenyataan membuktikan tanpa kehadiran pemimpin, suatu organisasi akan bersifat statis dan cenderung berjalan tanpa arah.
Dalam sejarah peradaban manusia, dikonstatir gerak hidup dan dinamika organisasi sedikit banyak tergantung pada sekelompok kecil manusia penyelenggara organisasi. Bahkan dapat dikatakan kemajuan umat manusia datangnya dari sejumlah kecil orang-orang istimewa yang tampil kedepan. Orang-orang ini adalah perintis, pelopor, ahli-ahli pikir, pencipta dan ahli organisasi. Sekelompok orang-orang istimewa inilah yang disebut pemimpin. Oleh karenanya kepemimpinan seorang merupakan kunci dari manajemen. Para pemimpin dalam menjalankan tugasnya tidak hanya bertanggungjawab kepada atasannya, pemilik, dan tercapainya tujuan organisasi, mereka juga bertanggungjawab terhadap masalah-masalah internal organisasi termasuk didalamnya tanggungjawab terhadap pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia. Secara eksternal, para pemimpin memiliki tanggungjawab sosial kemasyarakatan atau akuntabilitas publik.
Dari sisi teori kepemimpinan, pada dasarnya teori-teori kepemimpinan mencoba menerangkan dua hal yaitu, faktor-faktor yang terlibat dalam pemunculan kepemimpinan dan sifat dasar dari kepemimpinan. Penelitian tentang dua masalah ini lebih memuaskan daripada teorinya itu sendiri. Namun bagaimanapun teori-teori kepemimpinan cukup menarik, karena teori banyak membantu dalam mendefinisikan dan menentukan masalah-masalah penelitian. Dari penelusuran literatur tentang kepemimpinan, teori kepemimpinn banyak dipengaruhi oleh penelitian Galton (1879) tentang latar belakang dari orang-orang terkemuka yang mencoba menerangkan kepemimpinan berdasarkan warisan. Beberapa penelitian lanjutan, mengemukakan individu-individu dalam setiap masyarakat memiliki tingkatan yang berbeda dalam inteligensi, energi, dan kekuatan moral serta mereka selalu dipimpin oleh individu yang benar-benar superior.
Perkembangan selanjutnya, beberapa ahli teori mengembangkan pandangan kemunculan pemimpin besar adalah hasil dari waktu, tempat dan situasi sesaat. Dua hipotesis yang dikembangkan tentang kepemimpinan, yaitu ; (1) kualitas pemimpin dan kepemimpinan yang tergantung kepada situasi kelompok, dan (2), kualitas individu dalam mengatasi situasi sesaat merupakan hasil kepemimpinan terdahulu yang berhasil dalam mengatasi situasi yang sama (Hocking & Boggardus, 1994).
Dua teori yaitu Teori Orang-Orang Terkemuka dan Teori Situasional, berusaha menerangkan kepemimpinan sebagai efek dari kekuatan tunggal. Efek interaktif antara faktor individu dengan faktor situasi tampaknya kurang mendapat perhatian. Untuk itu, penelitian tentang kepemimpinan harus juga termasuk ; (1) sifat-sifat efektif, intelektual dan tindakan individu, dan (2) kondisi khusus individu didalam pelaksanaannya. Pendapat lain mengemukakan, untuk mengerti kepemimpinan perhatian harus diarahkan kepada (1) sifat dan motif pemimpin sebagai manusia biasa, (2) membayangkan bahwa terdapat sekelompok orang yang dia pimpin dan motifnya mengikuti dia, (3) penampilan peran harus dimainkan sebagai pemimpin, dan (4) kaitan kelembagaan melibatkan dia dan pengikutnya (Hocking & Boggardus, 1994).
Beberapa pendapat tersebut, apabila diperhatikan dapat dikategorikan sebagai teori kepemimpinan dengan sudut pandang "Personal-Situasional". Hal ini disebabkan, pandangannya tidak hanya pada masalah situasi yang ada, tetapi juga dilihat interaksi antar individu maupun antar pimpinan dengan kelompoknya. Teori kepemimpinan yang dikembangkan mengikuti tiga teori diatas, adalah Teori Interaksi Harapan. Teori ini mengembangkan tentang peran kepemimpinan dengan menggunakan tiga variabel dasar yaitu; tindakan, interaksi, dan sentimen. Asumsinya, bahwa peningkatan frekuensi interaksi dan partisipasi sangat berkaitan dengan peningkatan sentimen atau perasaan senang dan kejelasan dari norma kelompok. Semakin tinggi kedudukan individu dalam kelompok, maka aktivitasnya semakin sesuai dengan norma kelompok, interaksinya semakin meluas, dan banyak anggota kelompok yang berhasil diajak berinteraksi.
Pada tahun 1957 Stogdill mengembangkan Teori Harapan-Reinforcement untuk mencapai peran. Dikemukakan, interaksi antar anggota dalam pelaksanaan tugas akan lebih menguatkan harapan untuk tetap berinteraksi. Jadi, peran individu ditentukan oleh harapan bersama yang dikaitkan dengan penampilan dan interaksi yang dilakukan. Kemudian dikemukakan, inti kepemimpinan dapat dilihat dari usaha anggota untuk merubah motivasi anggota lain agar perilakunya ikut berubah. Motivasi dirubah dengan melalui perubahan harapan tentang hadiah dan hukuman. Perubahan tingkahlaku anggota kelompok yang terjadi, dimaksudkan untuk mendapatkan hadiah atas kinerjanya. Dengan demikian, nilai seorang pemimpin atau manajer tergantung dari kemampuannya menciptakan harapan akan pujian atau hadiah.
Atas dasar teori diatas, House pada tahun 1970 mengembangkan Teori Kepemimpinan yang Motivasional. Fungsi motivasi menurut teori ini untuk meningkatkan asosiasi antara cara-cara tertentu yang bernilai positif dalam mencapai tujuan dengan tingkahlaku yang diharapkan dan meningkatkan penghargaan bawahan akan pekerjaan yang mengarah pada tujuan. Pada tahun yang sama Fiedler mengembangkan Teori Kepemimpinan yang Efektif. Dikemukakan, efektivitas pola tingkahlaku pemimpin tergantung dari hasil yang ditentukan oleh situasi tertentu. Pemimpin yang memiliki orientasi kerja cenderung lebih efektif dalam berbagai situasi. Semakin sosiabel interaksi kesesuaian pemimpin, tingkat efektivitas kepemim-pinan makin tinggi.
Teori kepemimpinan berikutnya adalah Teori Humanistik dengan para pelopor Argryris, Blake dan Mouton, Rensis Likert, dan Douglas McGregor. Teori ini secara umum berpendapat, secara alamiah manusia merupakan "motivated organism". Organisasi memiliki struktur dan sistem kontrol tertentu. Fungsi dari kepemimpinan adalah memodifikasi organisasi agar individu bebas untuk merealisasikan potensi motivasinya didalam memenuhi kebutuhannya dan pada waktu yang sama sejalan dengan arah tujuan kelompok. Apabila dicermati, didalam Teori Humanistik, terdapat tiga variabel pokok, yaitu; (1), kepemimpinan yang sesuai dan memperhatikan hati nurani anggota dengan segenap harapan, kebutuhan, dan kemampuan-nya, (2), organisasi yang disusun dengan baik agar tetap relevan dengan kepentingan anggota disamping kepentingan organisasi secara keseluruhan, dan (3), interaksi yang akrab dan harmonis antara pimpinan dengan anggota untuk menggalang persatuan dan kesatuan serta hidup damai bersama-sama. Blanchard, Zigarmi, dan Drea bahkan menyatakan, kepemimpinan bukanlah sesuatu yang Anda lakukan terhadap orang lain, melainkan sesuatu yang Anda lakukan bersama dengan orang lain (Blanchard & Zigarmi, 2001).
Teori kepemimpinan lain, yang perlu dikemukakan adalah Teori Perilaku Kepemimpinan. Teori ini menekankan pada apa yang dilakukan oleh seorang pemimpin. Dikemukakan, terdapat perilaku yang membedakan pemimpin dari yang bukan pemimpin. Jika suatu penelitian berhasil menemukan perilaku khas yang menunjukkan keberhasilan seorang pemimpin, maka implikasinya ialah seseorang pada dasarnya dapat dididik dan dilatih untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif. Teori ini sekaligus menjawab pendapat, pemimpin itu ada bukan hanya dilahirkan untuk menjadi pemimpin tetapi juga dapat muncul sebagai hasil dari suatu proses belajar.
Selain teori-teori kepemimpinan yang telah dikemukakan, dalam perkembangan yang akhir-akhir ini mendapat perhatian para pakar maupun praktisi adalah dua pola dasar interaksi antara pemimpin dan pengikut yaitu pola kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional. Kedua pola kepemimpinan tersebut, adalah berdasarkan pendapat seorang ilmuwan di bidang politik yang bernama James McGregor Burns (1978) dalam bukunya yang berjudul “Leadership”. Selanjutnya Bass (1985) meneliti dan mengkaji lebih dalam mengenai kedua pola kepemimpinan dan kemudian mengumumkan secara resmi sebagai teori, lengkap dengan model dan pengukurannya.
3. Kompetensi Kepemimpinan
Suatu persyaratan penting bagi efektivitas atau kesuksesan pemimpin (kepemimpinan) dan manajer (manajemen) dalam mengemban peran, tugas, fungsi, atau pun tanggung jawabnya masing-masing adalah kompetensi. Konsep mengenai kompetensi untuk pertamakalinya dipopulerkan oleh Boyatzis (1982) yang didefinisikan kompetensi sebagai “kemampuan yang dimiliki seseorang yang nampak pada sikapnya yang sesuai dengan kebutuhan kerja dalam parameter lingkungan organisasi dan memberikan hasil yang diinginkan”. Secara historis perkembangan kompetensi dapat dilihat dari beberapa definisi kompetensi terpilih dari waktu ke waktu yang dikembangkan oleh Burgoyne (1988), Woodruffe (1990), Spencer dan kawan-kawan (1990), Furnham (1990) dan Murphy (1993).
Menurut Rotwell, kompetensi adalah an area of knowledge or skill that is critical for production ke outputs. Lebih lanjut Rotwell menuliskan bahwa competencies area internal capabilities that people brings to their job; capabilities which may be expressed in a broad, even infinite array of on the job behaviour. Spencer (1993) berpendapat, kompetensi adalah “… an undderlying characteristicof an individual that is causally related to criterion referenced effective and/or superior performance in ajob or situation”. Senada dengan itu Zwell (2000) berpendapat “Competencies can be defined as the enduring traits and characteristics that determine performance. Examples of competencies are initiative, influence, teamwork, innovation, and strategic thinking”.
Beberapa pandangan di atas mengindikasikan bahwa kompetensi merupakan karakteristik atau kepribadian (traits) individual yang bersifat permanen yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang. Selain traits dari Spencer dan Zwell tersebut, terdapat karakteristik kompetensi lainnya, yatu berupa motives, self koncept (Spencer, 1993), knowledge, dan skill ( Spencer, 1993; Rothwell and Kazanas, 1993). Menurut review Asropi (2002), berbagai kompetensi tersebut mengandung makna sebagai berikut : Traits merunjuk pada ciri bawaan yang bersifat fisik dan tanggapan yang konsisten terhadap berbagai situasi atau informasi. Motives adalah sesuatu yang selalu dipikirkan atau diinginkan seseorang, yang dapat mengarahkan, mendorong, atau menyebabkan orang melakukan suatu tindakan. Motivasi dapat mengarahkan seseorang untuk menetapkan tindakan-tindakan yang memastikan dirinya mencapai tujuan yang diharapkan (Amstrong, 1990). Self concept adalah sikap, nilai, atau citra yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri; yang memberikan keyakinan pada seseorang siapa dirinya. Knowledge adalah informasi yang dimilki seseorang dalam suatu bidang tertentu. Skill adalah kemampuan untuk melaksanakan tugas tertentu, baik mental atau pun fisik.
Berbeda dengan keempat karakteristik kompetensi lainnya yang bersifat intention dalam diri individu, skill bersifat action. Menurut Spencer (1993), skill menjelma sebagai perilaku yang di dalamnya terdapat motives, traits, self concept, dan knowledge.
Dalam pada itu, menurut Spencer (1993) dan Kazanas (1993) terdapat kompetensi kepemimpinan secara umum yang dapat berlaku atau dipilah menurut jenjang, fungsi, atau bidang, yaitu kompetensi berupa : result orientation, influence, initiative, flexibility, concern for quality, technical expertise, analytical thinking, conceptual thinking, team work, service orientation, interpersonal awareness, relationship building, cross cultural sensitivity, strategic thinking, entrepreneurial orientation, building organizational commitment, dan empowering others, develiping others. Kompetensi-kompetensi tersebut pada umumnya merupakan kompetensi jabatan manajerial yang diperlukan hampir dalam semua posisi manajerial.
Ke 18 kompetensi yang diidentifikasi Spencer dan Kazanas tersebut dapat diturunkan ke dalam jenjang kepemimpinan berikut : pimpinan puncak, pimpinan menengah, dan pimpinan pengendali operasi teknis (supervisor). Kompetensi pada pimpinan puncak adalah result (achievement) orientation, relationship building, initiative, influence, strategic thinking, building organizational commitment, entrepreneurial orientation, empowering others, developing others, dan felexibilty. Adapun kompetensi pada tingkat pimpinan menengah lebih berfokus pada influence, result (achievement) orientation, team work, analitycal thinking, initiative, empowering others, developing others, conceptual thingking, relationship building, service orientation, interpersomal awareness, cross cultural sensitivity, dan technical expertise. Sedangkan pada tingkatan supervisor kompetensi kepemimpinannya lebih befokus pada technical expertise, developing others, empowering others, interpersonal understanding, service orientation, building organzational commitment, concern for order, influence, felexibilty, relatiuonship building, result (achievement) orientation, team work, dan cross cultural sensitivity.
Dalam hubungan ini Kouzes dan Posner 1995) meyakini bahwa suatu kinerja yang memiliki kualitas unggul berupa barang atau pun jasa, hanya dapat dihasilkan oleh para pemimpin yang memiliki kualitas prima. Dikemukakan, kualitas kepemimpinan manajerial adalah suatu cara hidup yang dihasilkan dari "mutu pribadi total" ditambah "kendali mutu total" ditambah "mutu kepemimpinan". Berdasarkan penelitiannya, ditemukan bahwa terdapat 5 (lima) praktek mendasar pemimpin yang memiliki kualitas kepemimpinan unggul, yaitu; (1) pemimpin yang menantang proses, (2) memberikan inspirasi wawasan bersama, (3) memungkinkan orang lain dapat bertindak dan berpartisipasi, (4) mampu menjadi penunjuk jalan, dan (5) memotivasi bawahan.
Adapun ciri khas manajer yang dikagumi sehingga para bawahan bersedia mengikuti perilakunya adalah, apabila manajer memiliki sifat jujur, memandang masa depan, memberikan inspirasi, dan memiliki kecakapan teknikal maupun manajerial. Sedangkan Burwash (1996) dalam hubungannya dengan kualitas kepemimpinan manajer mengemukakan, kunci dari kualitas kepemimpinan yang unggul adalah kepemimpinan yang memiliki paling tidak 8 sampai dengan 9 dari 25 kualitas kepemimpinan yang terbaik. Dinyatakan, pemimpin yang berkualitas tidak puas dengan "status quo" dan memiliki keinginan untuk terus mengembangkan dirinya. Beberapa kriteria kualitas kepemimpinan manajer yang baik antara lain, memiliki komitmen organisasional yang kuat, visionary, disiplin diri yang tinggi, tidak melakukan kesalahan yang sama, antusias, berwawasan luas, kemampuan komunikasi yang tinggi, manajemen waktu, mampu menangani setiap tekanan, mampu sebagai pendidik atau guru bagi bawahannya, empati, berpikir positif, memiliki dasar spiritual yang kuat, dan selalu siap melayani.
Dalam pada itu, Warren Bennis (1991) juga mengemukakan bahwa peran kepemimpinan adalah “empowering the collective effort of the organization toward meaningful goals” dengan indikator keberhasilan sebagai berikut : People feel important; Learning and competence are reinforced; People feel they part of the organization; dan Work is viewed as excisting, stimulating, and enjoyable. Sementara itu, Soetjipto Wirosardjono (1993) menandai kualifikasi kepemimpinan berikut, “kepemimpinan yang kita kehendaki adalah kepemimpinan yang secara sejati memancarkan wibawa, karena memiliki komitmen, kredibilitas, dan integritas”.
Sebelum itu, Bennis bersama Burt Nanus (1985) mengidentifikasi bentuk kompetensi kepemimpinan berupa “the ability to manage” dalam empat hal : attention (= vision), meaning (= communication), trust (= emotional glue), and self (= commitment, willingness to take risk). Kemudian pada tahun 1997, keempat konsep tersebut diubah menjadi the new rules of leradership berupa (a) Provide direction and meaning, a sense of purpose; (b) Generate and sustain trust, creating authentic relationships; (c) Display a bias towards action, risk taking and curiosity; dan (d) Are purveyors of hope, optimism and a psychological resilience that expects success (lihat Karol Kennedy, 1998; p.32).
Bagi Rossbeth Moss Kanter (1994), dalam menghadapi tantangan masa depan yang semakin terasa kompleks dan akan berkembang semakin dinamik, diperlukan kompetensi kepemimpinan berupa conception yang tepat, competency yang cukup, connection yang luas, dan confidence.
Tokoh lainnya adalah Ken Shelton (ed, 1997) mengidentikasi kompetensi dalam nuansa lain., menurut hubungan pemimpin dan pengikut, dan jiwa kepemimpinan. Dalam hubungan pemimpin dan pengikut, ia menekankan bagaimana keduanya sebaiknya berinterkasi. Fenomena ini menurut Pace memerlukan kualitas kepemimpinan yang tidak mementingkan diri sendiri. Selain itu, menurut Carleff pemimpin dan pengikut merupak dua sisi dari proses yang sama. Dalam hubungan jiwa kepemimpinan, sejumlah pengamat memasuki wilayah “spiritual”. Rangkaian kualitas lain yang mewarnainya antara lain adalah hati, jiwa, dan moral. Bardwick menyatakan bahwa kepemimpinan bukanlah masalah intelektual atau pengenalan, melainkan masalah emosional. Sedangkan Bell berpikiran bahwa pembimbing yang benar tidak selamanya merupakan makhluk rasional. Mereka seringkali adalah pencari nyala api.

Having a Good Flight



Top 10 Tips for Having a Good Flight
The days of flying the glamorous skies seem to be gone forever. The seats are smaller, the leg room is more cramped and the airlines are charging extra for everything from luggage to snacks. But that doesn't necessarily mean we have to resign ourselves to merely enduring air travel. In fact, there are plenty of ways to improve the experience of travel, despite federal safety regulations and snoring seatmates.
In this article, we'll run down 10 tips for having a good flight. Remember, the primary goal of each of the items on this list is to benefit you, the traveler, but these tips will also make the whole in-flight experience a lot more comfortable and a bit less crazy-making. There are even a few easy ways to keep yourself healthy, rested and entertained during your flight, which always makes for happier travel. Let's begin:

10. Bring a Sleep Kit
Sleep kits can be purchased in most airport gift shops these days, or you can build one at home to keep with your luggage. The basics for a sleep kit include a U-shaped travel pillow and an eye mask to block out sunbeams bouncing off the clouds below. You'll also want to block out as much sound as you can, and earplugs can definitely help with this. If you've got the extra cash, noise-cancelling headphones can make a world of difference, too. They can negate outside noise (crying babies and aircraft engine sounds included) whether you're playing music through them or not.
A small blanket or large shawl is the final item you might want to stash with your sleep kit. It's nearly impossible to grab some sleep when you're shivering. Airlines used to give out blankets regularly, but these days, it's often another item they can charge you extra for. So if you've got a red-eye flight or perhaps you're crossing a few time zones, it's best to bring your own sleep kit -- but keep it light.

9. Keep Your Carry-on Small and Light
Most airlines these days are charging passengers for checked luggage, regardless of weight. This means everyone is now trying to cram clothes and gear for a two-week vacation into a carry-on and a purse or a small backpack, both of which are usually heavier than the person carrying them. Don't be fooled -- flight attendants are onto passengers who try to bring too much stuff into the cabin, and they'll make you check it, even as you try to board.
Simply stick to the guidelines and you'll be golden. A small carry-on suitcase that's light enough for you -- yes, you -- to lift up into the overhead bin is fine. One additional bag, like a purse or a laptop bag (but not both), is also allowed. It should fit under the seat in front of you and leave enough room for your feet.
Not only do these rules follow the official guidelines, but it will make you far comfier on your flight if you don't have a huge bag crammed in at your feet, a shopping bag tucked in by your hip, and a sore shoulder from lifting your overstuffed carry-on into the overhead bin.

8. Check Your Carry-on at the Gate
This one only works if your bag is already the approved carry-on size. If you reach the gate with your luggage plus one bag and the flight is very full, the attendants will often ask for volunteers to check baggage to free up space in the overhead bins.
Take this opportunity! They'll tag your bag, give you a receipt and your bag will be checked through to your destination, even if you have to change planes in the middle of your trip. You'll have just your purse or laptop bag with you in the cabin, which has everything you need anyway, like headphones and a book or a sleep kit.
You've probably noticed that space is at a premium in airplanes these days. We'll talk about how to get your gear into that space next.

7. Check Recent Regulations Before you Leave
Airline regulations change all the time in this post-Sept. 11 world. One day, your bottle of travel shampoo is fine; the next, it's confiscated for being over the size limit for carry-on liquids. Laptops used to be fine in the seatback pocket, too, but no more. The rules have changed, and now they need to be stowed under the seat or in the overhead bin when not in use, just like everything else you carry-on with you.
Save yourself the headache of learning the rules too late by checking the web site of the Transportation Security Administration and the Web site of the airline you'll be using to travel. The most up-to-date regulations will be there. Make sure to share them with your travel companions, too. It'll help keep hassles to a minimum.

6. Pay for In-flight WiFi
Business travelers and the constantly connected will be thrilled to learn that many carriers now offer in-flight wireless internet -- for a fee, of course. But for those whose time is money, it's worth it to stay productive and in the loop while in the air.
The price isn't prohibitively steep, especially if you can expense it. Gogo Inflight Internet, to use one example of the service, charges about $12 for one flight's worth of internet service. A monthly pass for frequent travelers runs about $30. The connection isn't annoyingly slow, and the ability to tweet from 30,000 feet (9.1 kilometers) above is priceless.

5. Drink Water
The air in the cabin isn't humidified, which leads to that all-too-familiar parched feeling. Lips chap, nasal passages dry out, skin feels papery and the likelihood of blood clots can even increase. Sounds great, right?
But the good news is that all these things can be mitigated by staying hydrated -- simply drinking water. Start early, drinking as much water in the airport gate area as you can hold comfortably for about an hour. That's about how long it typically takes for the seatbelt light to be switched off, allowing you to visit the restroom. Then keep drinking water, about 8 ounces (0.2 liters) every hour or two, while you're in the air. Don't try to substitute coffee, soda or a tiny bottle of booze for water either. Caffeine and alcohol will dehydrate you -- the opposite of what you're trying to achieve.
If you're concerned about the waste of plastic water bottles or the price of buying water in the airport, bring a reusable bottle from home. You can't bring it through the security line full of water (or anything other liquid, for that matter), but you can fill it up at a drinking fountain or a bathroom faucet once you're at your gate.

4. Bring Hand Sanitizer
It's easy enough to be a vigilant hand-washer while you're still on the ground, where soap and water are pretty easy to come by. The airplane bathroom has both, too, so make good use of them.
But sometimes, you're sitting in the window seat with a sandwich on your tray and a rumbling stomach. Wait! Don't pick up that sandwich! Not yet, anyway. First squirt a little alcohol-based hand sanitizer into your palm and rub it around. Airplanes have lots of surfaces that everyone touches, like arm rests, tray tables, overhead bin handles, in-flight magazines, light switches -- the list goes on and on. A simple preventative measure, like using hand sanitizer, can help keep at least some of everyone else's germs out of your system.

3. Bring Healthy Snacks
Save yourself some cash, probably some heartburn and even some time on the treadmill by packing your own healthy snacks rather than relying on airport and airline food.
Simple, cheap snacks can keep you healthy and prevent your blood sugar from dipping too low during a long flight. Crunchy snacks like carrot sticks, celery sticks and whole-wheat crackers are satisfying and require a minimum of fuss to eat in your seat. Granola, nuts and dried fruit are also great choices, but they often have more calories than you might think, so check the labels and serving sizes when you pack these items.
Sandwiches can be good to bring along, too, but make sure to use ingredients that will last the entire journey. Mayonnaise eaten at the end of a cross-country flight is never a good idea. Just be sure that whatever you bring is easy to eat, doesn't require refrigeration and doesn't need utensils.

2. Bring a Portable DVD Player
Savvy parents know that kids get bored in the air, even if the flight isn't a terribly long one. Portable DVD players can be found online and at big-box electronics stores for as little as $100, and they're definitely worth the price. You know that SpongeBob SquarePants DVD your kid wants to watch over and over -- and over? Well, an airplane is the perfect place to let him or her indulge. Just remember to bring headphones for your little travel companion to keep fellow passengers (and you, too) from having to hear that theme song for the 15th time.
Keeping kids entertained and happy makes the flight better for everyone. The last tip has the same effect, no matter what your age.

1. Get in Your Seat and Power Down
When you board the aircraft, find your seat, place your carry-on in the overhead bin (if you didn't check it at the gate for free) and sit down. Then turn off your cell phone, iPod, portable DVD player, or whatever electronic device you have with you and wait patiently for the announcement from the captain or the flight crew that it's safe to switch your approved electronic devices back on once again. That announcement is usually made just a few minutes after the plane is in the air.
No airplane can take off while people are standing or talking on the phone. And no flight attendant is going to look very kindly upon you when he's had to ask you for the fifth time to turn off your phone. And while it's very considerate of you to offer to switch seats with one half of a couple who are sitting apart, wait until the flight is in the air and the seatbelt sign is off to play musical chairs.
Tensions can run high for passengers and flight crew alike, thanks to new regulations and the number of people packed into the cabin eager to get moving. Do your part to get the plane off the ground and it'll be a better flight for everyone on board.