Narita International Airport,Japan

Preparing for departure

East West Center, University of Hawaii

All of the participants for Civic Education short course, University Of Hawaii

Davi and Haris

Happy family of my little sister

Elementary School in Hawai'i

Fun learning and school visit

Project Citizen SMP Negeri 16 Bandar Lampung

Implementasi model Project Citizen di SMPN 16 Bandar Lampung

Narita International Airport

Funny and new experience

Jumat, 29 November 2013

ITEC 2013 - Teaching and Learning Strategies


Changes necessary in teaching and learning strategies
The article was taken from Rosnani Hashim (ITEC 2013, University of Lampung, Indonesia)
Institute of Education, International Islamic University Malaysia

In the past our learning and teaching strategies were basically concerned on cognitive understanding and retention of facts or content. At most we would like our students to be able to apply these facts in solving some problems in their daily lives, in examinations and in most cases as foundations for further higher learning. Basically it is the lower order of the Bloom’s taxonomy i.e. knowledge, understanding and application. It rarely attempts to do much analysis, evaluation and synthesis which are the higher order of the Bloom’s taxonomy that are crucial for critical and creative thinking, for proper judgement and good decision making. This are only provided at the end of high school or in the university. This was alright for a system of education that desires to sort out students based on grades to fit into the available occupational positions. Moreover the system was elitist then and meant to choose the best brains.

But today with technological changes and innovation, where information is accessible to all and the world grows more competitive, leading to a different kind of worker i.e the knowledge worker, the focus on education is not only on the products or the contents but more importantly on the process or the skills necessary to enable the formulation of a solution. As educators, we need to adapt our lesson presentations to these digitally “programmed” students. There is little hope that these digital natives will “power down” their minds to become more engaged with traditional learning styles (Pensky, 2001).
It is interesting how the changes of the present era was envisaged as early as 1916 when Dewey published his seminal work "Democracy and Education", which acknowledged that learners should become active participants in the educational process. The idea is that in learning from their own experience, students become, in a sense, their own teachers. The changed role of the learner has, in turn, implications for that of the teacher. Instead of the source of knowledge, teachers become facilitators of the learning process; that is, their role is to create the set of conditions under which students can best learn from their experiences. Moreover, teachers can fulfill this role only by becoming learners themselves, and a primary source of their learning must be their students. In a nutshell, teachers who learn become better teachers, and learners who teach become better learners. Although this idea seems straightforward enough, educators have been very slow to put it into practice. However, the rapid technological changes of the last few decades may well provide the catalyst that finally brings about these needed reforms in the field of education (Florin, L.& S. Sugioka, 2007).

Teaching and learning strategies today have to foster communication skills which in this century would mean proficiency in the English language, critical and creative thinking skills, and inter-personal and collaborative skills. The issue is how to foster these skills through teaching and learning. Good communication skills require the students to speak up and not just to listen and digest all that the lecturer informs them. Thus, a lecture is not suitable all the times. There ought to be discussion where students can express their ideas and also their views – however sloppy it might seems at first. The conversation should also be between students and students and not only between teacher and students. Only when the proper language is used will it be alive. Discussion can also be taken up into small group.

To foster critical thinking skills, students ought to be trained to reason well and be analytical. They must be able to give reasons for their belief. They must be able to provide evidence for their argument, give examples to illustrate, identify fallacies in reasoning, to think logically, through induction or deduction and to recognize valid and sound arguments. This can be done through analytical written exercises or in classroom discussion. To foster creative thinking, students have to be taught to sometimes think outside of the box or to be imaginative.

To foster collaborative skills and work as a team, students need to be encouraged to do some form of group or project work where each member is given a task to be worthy.  

Kamis, 28 November 2013

The great learning


The Great Learning

“If there is righteousness in the heart,
there will be beauty in the character,
If there is beauty in the character,
there will be harmony in the home,
If there is harmony in the home,
there will be order in the nation,
If there is order in the nation,
there will be peace in the world”

(The Great Learning dalam Phillips, 2000: 11)

Terbentuknya karakter manusia


Terbentuknya Karakter Manusia

Terbentuknya karakter manusia ditentukan oleh dua faktor, yaitu nature (faktor alami atau fitrah) dan nurture (melalui sosialisasi dan pendidikan). Faktor lingkungan yaitu usaha memberikan pendidikan dan sosialisasi dapat menentukan “hasil” seperti apa nanti yang dihasilkannya dari seorang anak. Jadi karakter seseorang dapat dibentuk dari pengasuhan, pendidikan, dan sosialisasi positif dari lingkungannya. Setiap individu memiliki ciri dan sifat atau karakteristik bawaan (heredity) dan karakteristik dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial psikologis. Setiap individu tentunya memiliki karakter yang berbeda-beda. Perbedaan karakter individu tersebut disebabkan oleh banyak hal, seperti lingkungan, biologis individu, pola asuh, budaya, dan lain sebagainya. Nurture dan nature merupakan istilah yang biasa digunakan untuk menjelaskan karakteristik individu dalam hal fisik, mental, emosional pada setiap tingkat perkembangan.

Karakter terbentuk dengan dipengaruhi oleh paling sedikit 5 faktor, yaitu temperamen dasar kita (domain, intim, stabil, cermat), keyakinan (apa yang kita percayai, paradigma), pendidikan (apa yang kita ketahui, wawasan kita), motivasi hidup (apa yang kita rasakan, semangat hidup), dan perjalanan (apa yang telah kita alami, masa lalu kita, pola asuh dan lingkungan).

Helen Keller (1904) mengungkapkan ”Character cannot be develop in ease and quite. Only through experience of trial and sufferingcan the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved.”
Sehingga dengan karakter yang telah dibangun dengan kokoh, bisa menjadikan seseorang individu tidak mudah dikuasai oleh seseorang ataupun kondisi tertentu. Apabila orang-orang yang dikenal cerdas dan berpengetahuan tidak menunjukkan karakter (terpuji), maka tiak diragukan lagi bahwa dunia akan menjadi lebih semakin buruk. Dengan kata lain ungkapan knowledge is power akan menjadi lebih sempurna jika ditambahkan menjadi knowledge is power, but character is more.

Karakter tidak hanya dimiliki oleh seseorang individu, namun suatu komunitas atau kelompok pun memiliki karakter kelompok yang diperoleh melalui proses yang berkelanjutan. Karakter merupakan unsur individu yang dan lahir dari pemikiran individu. Namun pemikiran individu dapat dipadukan dengan individu yang lain menghasilkan suatu ide baru, menghasilkan suatu karakter baru, yang dapat disebut sebagai identitas kelompok, karakter kelompok. Karakter kelompok pada dasarnya dibentuk dari berbagai karakter individu di dalamnya melalui proses kesepakatan visi dan misi yang telah dihayati bersama.




(Artikel diambil dari tulisan Dr. Ir. Mubiar Purwasasmita pada prosiding seminar berjudul Memaknai konsep alam cerdas dan kearifan nilai budaya lokal (cekungan Bandung, tatarsunda, nusantara, dan dunia) peran local genius dalam pendidikan karakter bangsa, Universitas Pendidikan Indonesia, 2010)

Ayo... Berwisata ke Provinsi Lampung


Ayo... Berwisata ke Provinsi Lampung
By: Mohammad Mona Adha

Banyak tempat-tempat yang menjadi pilihan bagi anda untuk berlibur atau berekreasi bersama teman-teman anda atau keluarga. Salah satunya yang bisa menjadi referensi anda untuk berlibur kali ini adalah berwisata ke Provinsi Bandar Lampung. Untuk anda yang ingin berwisata ke Provinsi Lampung sangatlah mudah. Untuk mencapainya, anda dapat menempuh melalui jalur darat atau udara.

Dengan perjalanan darat akan menempuh waktu kurang lebih 8 jam dari Kota Jakarta. Melalui darat, di tengah perjalanan, anda akan dihubungkan dengan transportasi laut yaitu dengan kapal fery. Dimana anda akan terhubung melalui Pelabuhan Merak (Banten) dan Pelabuhan Bakauheni (Lampung). Dari Jakarta menuju Pelabuhan Merak anda dapat langsung mengakses tol Jakarta Merak, tetapi beda halnya setelah anda sampai di Pelabuhan Bakauheni (Lampung), dijalur ini belum tersedia jalan tol. Waktu tempuh dari Pelabuhan Bakauheni menuju pusat kota kurang lebih dapat ditempuh selama 2 jam saja.

Bagi anda yang sedang berlibur atau berkunjung ke Provinsi Bandar Lampung tepatnya di Pulau Sumatera Indonesia. Jangan melewatkan objek-objek wisata yang ada di Provinsi Lampung.

Berikut ini objek-objek wisata yang bisa anda datangi di Provinsi Lampung:

  1. Wisata pantai Teluk Kiluan (lumba-lumba)
  2. Pantai Pasir Putih
  3. Pantai Slaki
  4. Pantai Mutun
  5. Pantai Kelapa Rapat
  6. Pantai Duta Wisata
  7. Pantai Tirtayasa
  8. Pantai Puri Gading
  9. Museum Lampung
  10. Kalianda Resort
  11. Gunung Anak Krakatau
  12. Festival Krakatau (acara tahunan)
  13. Pusat Pelatihan Gajah Way Kambas
  14. Air terjun Way Lalaan
  15. Pantai Tanjung Setia
  16. Danau Ranau
  17. Gunung Tanggamus
  18. Sentra keripik pisang
  19. Situs Pugung Raharjo
  20. Pasar Seni Enggal Bandar Lampung

Memahami pendidikan kewarganegaraan


Memahami Pendidikan kewarganegaraan
By: Mohammad Mona Adha

Pendidikan kewarganegaraan memegang peranan yang cukup penting untuk memberikan arahan dan pemahaman kepada warga negara agar dapat bertindak dan berperilaku yang baik kapanpun dan dimanapun mereka berada. Sebagai warga negara yang mengerti akan keberadaan diri pribadi mereka, diharapkan mereka mampu untuk memposisikan diri mereka sebagai individu yang terbaik dalam kehidupannya sehari-hari. Pendidikan kewarganegaraan pula memberikan pemahaman kepada setiap warga negara agar dapat berbuat yang positif untuk orang banyak. Dalam artian, setiap individu agar mampu melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan manfaat bagi orang-orang yang terlibat didalam aktivitas tersebut dan juga bermanfaat bagi mereka yang tidak terlibat secara langsung. Dengan melakukan kegiatan-kegiatan atau program-program yang nyata dan bermanfaat akan memberikan kontribusi yang signifikan untuk perkembangan dan pembangunan diri warga negara itu sendiri. Dengan hanya terinspirasi oleh kegiatan-kegiatan yang bermanfaat tadi, paling tidak terbentuk adanya warga negara yang baik dan sekaligus berpotensi baik bagi dirinya sendiri dan untuk kemajuan bangsa dan negara Indonesia yang kita cintai.

Pendidikan kewarganegaraan juga memberikan arti penting untuk menjaga hubungan antar personal, personal dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Sehingga dengan demikian hubungan baik dan kekuatan hubungan itu sendiri dapat berjalan sesuai dengan yang kita harapkan, kemudian yang pada akhirnya menciptakan keharmonisan, kerukunan, persahabatan, kasih sayang antar sesama, kebaikan, dan kebersamaan.

Satu hal lagi yang perlu dicermati adalah bahwa pendidikan kewarganegaraan tidaklah terbatas oleh dinding-dinding kelas semata. Tetapi pendidikan kewarganegaraan lebih luas cakupannya saat ini seiring dengan era globalisasi. Sehingga skala pendidikan kewarganegaraan dapat digolongkan dalam skala lokal, skala nasional, dan skala global atau internasional. Perlu kiranya hal ini dipahami oleh setiap orang bahwa apa yang menjadi kajian dalam pendidikan kewarganegaraan tidaklah hanya terbatas oleh text book saja, tidak terbatas pada tulisan-tulisan saja, tetapi apa yang menjadi perbincangan, sendi-sendi kehidupan, segala aspek yang ada dalam masyarakat merupakan cakupan atau bahasan dari pendidikan kewarganegaraan baik itu yang bersifat lokal, nasional, dan internasional.

8 Kebiasaan Menurut Covey


8 Kebiasaan Menurut Covey

Delapan kebiasaan yang ditawarkan Covey untuk mengembangkan karakter yakni:

Habit-1:
Vision atau bersikap proaktif (Principles of Personal)
Habit-2:
Memulai dengan akhir dalam pikiran (Principles of Personal Leadership)
Habit-3:
Mendahulukan yang utama (Principles of Personal Management)
Habit-4:
Berpikir menang-menang (Principles of Interpersonal Leadership)
Habit-5:
Berusaha mengerti terlebih dahulu (pathos) sebelum dimengerti (logos) (Principles of Empathetic Communication)
Habit-6:
Mewujudkan sinergi (Principles of Creative Communication)
Habit-7:
Kebiasaan pembaruan diri (Principles of Balanced Self-Renewal)
Habit-8:
Menggali dan menemukan potensi diri serta memberikan inspirasi kepada orang lain untuk menemukan potensinya  

Problems in Studying Class and Ethnicity


Problems in Studying Class and Ethnicity

Several intractable problems confront the scholar who tries to determine the relationship among social class, ethnicity, and cognitive and motivational styles. Most of the literature describing the cognitive and motivational styles of ethnic students includes little or no discussion of social class or other factors that might cause within group variations, such as gender, age, or situational aspects. Social class is often conceptualized and measured differently in studies that include class as a variable; this makes it difficult to compare results from different studies. Researchers frequently use different scale and instruments to measure variables related to cognitive, learning, and motivational styles. Operationally defining social class, especially across different ethnic and cultural groups, os one of the most difficult tasks facing social scientists today.

The nature of social class is changing in the United States. Behavior associated with the lower class 15 years ago – such as single parent families – is now common in the middle class. Because social class is a dynamic and changing concept, it is difficult to study social class over time and across different cultural and ethnic groups.
(James A. Banks, 1997: 53)

Minggu, 24 November 2013

Ayo, susun perjalanan wisata anda saat berlibur di Bali

Berwisata menyenangkan di Denpasar-Bali
By: Mohammad Mona Adha

Kota Denpasar-Bali dapat ditempuh kurang lebih dua jam penerbangan dari Jakarta. Sangat banyak maskapai penerbangan yang melayani penerbangan ke Bali yang dapat anda pilih, so anda jangan khawatir ya tidak kebagian tiket pesawat. Setelah menempuh penerbangan, saat anda tiba di Bandara Ngurah Rai (Denpasar), anda akan langsung disambut atau merasakan nuansa atau suasana etnik khas Bali.

Berjalan-jalan di Denpasar-Bali tentunya sangatlah menyenangkan. Di Bali kita bisa berlibur sekaligus memperkaya, menambah pemahaman kita, dan mengenal mengenai budaya setempat dan adat istiadat yang ada di Bali. Seperti yang kita lihat/jumpai pada saat kita berada di Bali, banyak pura yang dapat dilihat secara langsung. Tidak hanya itu saja, di Bali pula kita dapat melihat bagaimana masyarakat disana mengenakan baju khas tradisi Bali dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari.

Di Bali, tidak hanya wisata alam saja yang dapat kita nikmati tetapi kita juga dapat mengunjungi tempat-tempat lainnya seperti wisata belanja dan kuliner. Wisata alam Bali sangatlah menyejukkan dan menyegarkan mata kita. Sengkedan sawah yang terhampar luas dan indah, pantai-pantai yang indah bersih disertai debur ombak  yang cukup membuat kita kagum betapa indahnya Pulau Dewata. Terdapat beberapa pantai yang dapat anda kunjungi selama anda berada di Bali. Pantai Kuta sebagai tujuan wisata domestik dan mancanegara sangat ramai dikunjungi oleh para wisatawan, sehingga tidak heran kalau pantai yang satu ini sangatlah ramai suasananya. Kemudian ada Pantai Sanur, Tanjung Benoa dan masih banyak yang lainnya.

Saat anda berada di Bali, jangan lupa untuk mampir ke Pasar Sukowati untuk memburu oleh-oleh. Lalu jangan lupa juga ke Danau Kintamani, Bedugul, Garuda Wisnu Kencana, Joger yang sangat terkenal.

Semoga liburan anda di Bali akan sangat menyenangkan.
Selamat berlibur...

Ratna Megawangi mengenai pilar karakter


Ratna Megawangi (2004) mengemukakan ada sembilan pilar karakter yang selayaknya diajarkan kepada anak usia sekolah:
  1. cinta Tuhan dengan segala ciptaannya
  2. kemandirian dan tanggung jawab
  3. kejujuran/amanah, bijaksana
  4. hormat dan santun
  5. dermawan, suka menolong, dan gotong royong
  6. percaya diri, kreatif dan pekerja keras
  7. kepemimpinan dan keadilan
  8. baik dan rendah hati
  9. toleransi, kedamaian, dan kesatuan

Definisi pendidikan kewarganegaraan menurut para ahli


Apakah pendidikan kewarganegaraan itu?

Pendefinisian mengenai pendidikan kewarganegaraan terdiri atas beberapa pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli seperti yang dijelaskan di bawah ini:

John Mahoney

Civic education includes and involves those teaching, that type of teaching method, those student activities, those administrative supervisory procedure which the school may utilize purposively to make for better living together in the democratic way or (synonymously) to develop better civic behaviors. (John Mahoney, 1976: 35)

Menurut pengertian tersebut, ruang lingkup pendidikan kewarganegaraan (civic education) meliputi seluruh kegiatan sekolah, termasuk kegiatan ekstra kurikuler seperti kegiatan di dalam dan di luar kelas, diskusi, dan organisasi kegiatan siswa.Diupayakan memuat nilai-nilai moral yang berguna bagi pembentukan kepribadian peserta didik sebagai bekal hidup bermasyarakat masa kini dan masa datang.

Sementara itu, ahli lain yaitu Jack Allen merumuskan civic education sebagai berikut:

Jack Allen

Civic education properly defined, as the product of the entire program of the school, certainly not simply of the social studies program, and assuredly not merely of a course in civics. But civics has an important function perform. It confronts the young adolescent for the first time in his school experience with a complete view of citizenship function, as rights and responsibilities in a democratic context.

Berdasarkan pendapat Jack Allen di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan kewarganegaraan berfungsi sebagai pegangan bagi peserta didik untuk berinteraksi dan berbuat sebagai warga negara yang baik sekaligus paham akan hak dan kewajibannya dalam konteks kehidupan yang demokratis.

Senin, 18 November 2013

Kecenderungan global menurut John Cogan dalam pendidikan kewarganegaraan



Dalam konteks pendidikan kewarganegaraan, John Cogan mengemukakan adanya kecenderungan global yang terkait erat dengan pendidikan kewarganegaraan. Kecenderungan-kecenderungan tersebut adalah:
  • Kesenjangan ekonomi diantara negara dan antara orang di dalam negara secara signifikan akan semakin lebar
  • Secara dramatis, teknologi informasi akan mengurangi masalah privasi atau hak-hak individu
  • Ketidakmerataan antara yang punya akses kepada teknologi informasi dan yang tidak memiliki akses akan semakin meningkat
  • Konflik kepentingan antara negara maju dan negara berkembang akan meningkatkan kerusakan lingkungan
  • Penggundulan hutan secara dramatis akan mempengaruhi keragaman dalam kehidupan udara, tanah, dan air
  • Dalam negara-negara berkembang pertumbuhan penduduk akan mengakibatkan peningkatan yang dramatis dalam persentase penduduk, khususnya anak-anak yang hidup dalam kemiskinan.

Manusia Kelas Dunia


Manusia Kelas Dunia

Pendapat Kanter sebagaimana dikutip Wisnubrata (2001), menyebutkan ada tiga ciri manusia kelas dunia (world class), yaitu:
  1. konsep (concept),
  2. kompetensi (competence), dan
  3. koneksi (connection).
Concept berkaitan dengan kemampuan mengembangkan pengetahuan dan gagasan-gagasan mutakhir. Sedangkan competence berkenaan dengan pengembangan kemampuan untuk bekerja secara multidisiplin. Kemudian, connection berhubungan dengan pengembangan jaringan sosial (social network) untuk melakukan kerjasama secara informal.

Selanjutnya Wisnubrata (2001) menambahkan dua syarat lagi untuk melengkapi syarat manusia kelas dunia sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Kanter. Dua syarat itu adalah:
  1. kredibilitas (credibility), dan
  2. kepedulian (caring).
Kredibilitas berhubungan dengan integritas: jujur, menjalankan apa yang dikatakan (walk the talk), memegang teguh janji, berlaku adil, sehingga akan membangun rasa percaya (trust), dan rasa hormat (respect) dari orang lain. Kemudian kepedulian (caring) yakni peka dan tanggap terhadap kebutuhan dan keadaan orang lain, memberi yang terbaik tanpa pamrih, berbagi pengetahuan dan informasi dalam rangka memperkaya wawasan dan mentalitas (abundant mentality).

(artikel diambil dari tulisan: Drs. Rahmat, M.Si, Peran strategis Pkn untuk membangun karakter bangsa di era global, Prosiding Seminar Internasional Pendidikan Kewarganegaraan – Building civic competences in global era through civic education: problem and prospect, hal: 45 diterbitkan oleh Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia, 2009)

Komponen-komponen utama civic competence




Civic Competence

The National Standart for Civics and Government (Center for Civic Education, 1994) merumuskan komponen-komponen utama civic competence, meliputi pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), kecakapan kewarganegaraan (civic skills), dan watak kewarganegaraan (civic dispositions). Mengenai ketiga komponen ini, Quigley (sebagaimana dikutip Budimansyah dan Suryadi (2008); Arif, 2008) mengemukakan bahwa pengetahuan kewarganegaraan berkaitan dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Kecakapan kewarganegaraan merupakan kecakapan yang dikembangkan dari pengetahuan kewarganegaraan, meliputi kecakapan-kecakapan intelektual (intelectual skills), dan kecakapan partisipasi (participation skills). Watak kewarganegaraan mengisyaratkan pada karakter publik atau privat yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional. Karakter privat seperti tanggung jawab moral, disiplin diri dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu adalah wajib. Karakter publik misalnya kepedulian sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule of law), berpikir kritis, dan kemampuan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi.

Pendidikan multikultural



Pendidikan Multikultural

Menurut Budimansyah dan Suryadi (2008: 31) pendidikan kewarganegaraan yang berperan penting dalam pendidikan multikultural mempersiapkan peserta didik menjadi warganegara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini sejalan dengan pandangan Banks (Tilaar, 2004: 132) yang menyatakan terdapat lima dimensi yang terkait dengan pendidikan multikultural, yaitu:

  1. content integration, mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu;
  2. the knowledge construction process, membawa siswa atau mahasiswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam semua mata pelajaran (disiplin)
  3. an equality paedagogy, menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa/mahasiswa yang beragam baik dari segi ras, budaya, ataupun sosial
  4. prejudice reduction, mengidentifikasi karakteristik ras siswa atau mahasiswa dan menentukan metode pengajaran mereka; dan
  5. empowering school culture, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olah raga, berinteraksi dengan seluruh staf dan siswa atau mahasiswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik

Menurut Kalidjernih (2009: 16) multikulturalisme dimaknai sebagai sebuah pengesahan yang positif tentang keanekaragaman komunal yang muncul dari perbedaan-perbedaan ras, etnis, bahasa dan kepercayaan religius. Ia lebih merupakan suatu posisi alih-alih sebuah doktrin politik yang serasi dan programatik.

Adapun alasan mengapa kita memerlukan pengembangan kewarganegaraan multikultural? Menurut Kalantzis (2000) dalam Kalidjernih (2009: 21) dikatakan bahwa: Kewarganegaraan multikultural merupakan cara yang paling efektif untuk menegosiasikan keanekaragaman guna menghasilkan integritas sosial atau menyatukan segala hal. Kewarganegaraan multikultural merupakan sebuah pandangan ke luar, pendekatan internasionalis terhadap dunia untuk mempertahankan kepentingan nasional. Untuk menggapai hal ini, kita perlu membangun pluralisme sipil (civic pluralism) yang menawarkan kemungkinan dari pengertian pascanasionalis yang riil dari tujuan bersama. Kita memerlukan ilmu politik yang kuat tentang kultur untuk menegosiasi perbedaan lokal dan global.


(Artikel diambil dari tulisan: Nurul Zuriah, Pengembangan kompetensi kewarganegaraan multikultural di era global, Prosiding Seminar Internasional Pendidikan Kewarganegaraan – Building civic competences in global era through civic education: problem and prospect, hal: 147 diterbitkan oleh Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia, 2009)

Karakteristik yang harus dimiliki warganegara

This image was taken from triiz.wordpress.com

Cogan (1985: 115) mengkonstruksi karakteristik yang harus dimiliki warganegara sebagai berikut:
  1. the ability to look at and approach problems as a member of a global society (kemampuan mengenal dan mendekati masalah sebagai warga masyarakat global)
  2. the ability to work with others in a cooperative way and to take responsibility for one s roles/duties within society (kemampuan bekerjasama dengan orang lain dan memikul tanggung jawab atas peran atau kewajibannya dalam masyarakat)
  3. the ability to understand, accpet, appreciate and tolerate cultural differences (kemampuan untuk memahami, menerima, dan menghormati perbedaan-perbedaan budaya)
  4. the capacity to think in a critical and systemic way (kemampuan berpikir kritis dan sistematis)
  5. the willingness to resolve conflict and in a non violent manner (kemampuan menyelesaikan konflik dengan cara damai tanpa kekerasan)
  6. the willingness to change one s lifestyle and consumption habits to protect the environment (kemampuan mengubah gaya hidup dan pola makanan pokok yang sudah biasa guna melindungi lingkungan)
  7. the ability to be sensitive towards and to defend human rights (eg, rights of women, ethnic minorities, etc), and (memiliki kepekaan terhadap dan mempertahankan hak asasi manusia (seperti hak kaum wanita, minoritas etnis, dsb)
  8. the willingness and ability to participate in politics at local, national, andd international levels (kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan politik pada tingkatan pemerintahan lokal, nasional, dan internasional)

Penyebab korupsi


Penyebab korupsi menurut Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan antara lain:

A. Aspek Individu
  1. sifat tamak manusia
  2. moral yang kurang sehat
  3. penghasilan yang kurang mencukupi
  4. kebutuhan hidup yang mendesak
  5. gaya hidup konsumtif
  6. masalah atau tidak mau kerja
  7. ajaran agaman yang kurang diterapkan

B. Aspek Organisasi
  1. kurang adanya sikap keteladanan pimpinan
  2. tidak adanya kultur organisasi yang benar
  3. sistem akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai
  4. kelemahan sistem pengendalian manajemen
  5. manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi

C. Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada
  1. nilai-nilai di masyarakat kondisif untuk terjadinya korupsi
  2. masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi
  3. masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi
  4. masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa mencegah dan dibatasi bila masyarakat ikut aktif
  5. aspek peraturan perundang-undangan korupsi mudah timbul karena adanya kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan

Tujuh jenis korupsi (tipologi)


Dari segi tipologi, Hussen Allatas membagi korupsi dalam 7 jenis yang berlainan, yatu:

  1. korupsi otogenik (autogenic corruption) adalah suatu bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang
  2. korupsi transaktif (transactive corruption), menunjukkan pada adanya kesempatan timbal balik antara pihak pemberi dan penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan untuk tercapainya keuntungan oleh kedua-duanya
  3. korupsi yang memeras (ekstor type corruption) adalah jenis korupsi yang memeras
  4. korupsi defensif (defensive corruption) adalah pelaku korban korupsi dengan pemerasan
  5. korupsi invensif (investype corruption) adalah pembelian barang tnpa ada pertalian
  6. korupsi perkerabatan (mopotestik corruption) adalah penunjukkan yang tidak sah atau mengutamakan teman, sanak saudara untuk memegang jabatan
  7. korupsi dukungan (supportif corruption) adalah korupsi secara tidak langsung menyangkut uang tetapi dalam bentuk lain

Kamis, 14 November 2013

Lampung traditional dance, Sigekh Pengunten








Sigekh pengunten is the name one of Lampung traditional dance. Usually the number of the dancer in this traditional dance are only 5 dancer for the performance. It takes about 25-30 minutes to perform this traditional dance, so every dancer should have a good skill and fit condition to perform this dance. Sigekh pengunten dance is performing for welcoming the guess or opening the ceremony. If you come to Lampung Province, please do not forget to see and enjoy the performance.

International teacher education conference committee 2013







All committees are take part on this international conference in July 2013. Presented by Teacher Training and Education Faculty University of Lampung. This is the first ITEC, and annualy will hold by another university as a plan.

Rabu, 13 November 2013

Studium Generale Pendidikan Kewarganegaraan - Universitas Lampung







Studium Generale PPKn Universitas Lampung, Oktober 2013
By: Mohammad Mona Adha

Studium generale yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Lampung pada hari Sabtu tanggal 12 Oktober 2013 dilaksanakan dalam rangka untuk menyambut mahasiswa baru angkatan 2013. Kegiatan studium general tersebut juga dihadiri oleh para dosen di lingkungan program studi PPKn, mahasiswa angkatan lainnya, dan para undangan yang turut serta dalam acara tersebut.

Way Kambas - Elephant Training Center, Lampung-Indonesia








Rabu, 06 November 2013

Effective civic education


Effective Civic Educationdari Center for Civic Education (1994:9-14) sebagai berikut:
  • Civic education should be a central goal of the educational system;
  • Civic education should be required at every level of the school curriculum;
  • Civic education instruction should be of high quality and sufficient quantity;
  • Civic education should be interdisciplinary;
  • Civic education methodology should be interactive;
  • Emphasis in the civic education curriculum should be on how to think rather than what to think;
  • Civic education content should reflect community realities and a balance among conflicting political view points;
  • Civic education should include historical as well as contemporary topics;
  • The school and the classroom should serve as laboratories in which students can practice democratic participation;
  • Community members should be involved in the civic education classroom
  • Students should have opportunities to participate in civic experiences in the community.

Selasa, 05 November 2013

Agar CTL lebih efektif


Perhatikan hal ini agar CTL lebih efektif

Agar pelaksanaan pembelajaran kontekstual lebih efektif, maka guru perlu melaksanakan hal-hal sebagai berikut.
  1. Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental siswa
  2. Membentuk kelompok belajar yang saling tergantung.
  3. Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri.
  4. Mempertimbangkan keragaman siswa.
  5. Memperhatikan multi-intelegensia siswa.
  6. Menggunakan teknik-teknik bertanya yang meningkatkan pembelajaran siswa, perkembangan pemecahan masalah, dan keteampilan berpikir tinggi.
  7. Menerapkan penilaian autentik yang akan mengevaluasi pengetahuan dan berpikir kompleks seorang siswa, daripada hanya sekedar hafalan informasi faktual (Nurhadi, 2003: 20-21).

Tujuan pendidikan kewarganegaraan


Tujuan pendidikan kewarganegaraan

Pendidikan kewarganegaraan bertujuan untuk mewujudkan warga negara yang memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia. Sasarannya adalah tercapainya kehidupan masyarakat dengan budaya damai, toleransi, anti kekerasan, jujur, peduli, adil, kepatuhan hukum serta menjunjung tinggi supremasi hukum, yang menjadi wajah upaya nation and character building. Pendidikan kewarganegaraan merupakan amanat konstitusi bagi seluruh komponen bangsa dan menjadi kewajiban segenap sektor pelaksanaan fungsi pemerintah untuk merumuskan dan melaksanakan melalui kebijakan publik di sektornya. (Departemen Pertahanan RI, Dirjend).

Pendidikan kewaraganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Pendidikan kewarganegaraan adalah usaha sadar dan terencana mewujudkan warga negara yang memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara untuk bela negara dengan perilaku cinta tanah air, rela berkorban untuk bangsa dan negara, yakni Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara, yang berujung kemampuan awal bela negara secara fisik maupun non fisik. Dalam pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan juga pembentukan kepribadian mahasiswa sebagai bangsa Indonesia yang bertanggung jawab terhadap negara dan bangsanya. Adapun sosialisasi pendidikan kewarganegaraan dapat dilakukan melalui sekolah, keluarga, media massa, institusi politik, dan negara.

Komponen contextual teaching learning


Contextual Teaching Learning

Salah satu strategi pembelajaran yang merupakan perangkat pembelajaran berasosiasi dengan kurikulum adalah strategi pembelajaran berbasis CTL (Contextual Teaching and Learning) dengan tujuh komponen pembelajaran yang meliputi:
  1. konstruktivisme (constructivism);
  2. menemukan (inquiry);
  3. bertanya (questioning);
  4. masyarakat belajar (learning community);
  5. pemodelan (modelling);
  6. refleksi (reflection);
  7. dan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment).
Strategi pembelajaran menuntut guru PKn agar dapat menjadikan siswa mampu menghubungkan isi materi pelajaran dengan situasi dunia nyata siswa dan memotivasi siswa untuk menghubungkan pengetahuan tersebut dengan aplikasinya dalam kehidupan nyata.

Civic Learning Opportunities


Classroom Civic Learning Opportunities
American Educational Research Journal September 2008, Vol. 45, No. 3, pp. 738-766
Joseph E. Kahne-Mills College and Susan E. Sporte-University of Chicago

As noted earlier, scholars find strong associations between curricular approaches such as the provision of an open classroom climate, engagement in service learning, and the use of simulations on the one hand and students’ civic commitments and capacities on the other (for example, Campbell, 2005; Hart et al., 2007; Torney-Purta, Lehmann, Oswald, & Schulz, 2001; see Gibson & Levine, 2003 for a review).

In understanding why these opportunities may foster civic outcomes, our work has been heavily influenced by Youniss and Yates’ (1997) conceptualization of factors that promote the development of a civic identity. They identify three kinds of opportunities that can spur such development: opportunities for agency and industry, for social relatedness, and for the development of political-moral understandings (also see Watts, Armstrong, Cartman, & Geussous) . Their study of youth doing work in soup kitchens as part of a course shows how integrating community service and, by extension, other civic learning opportunities into the curriculum can provide opportunities for Agency (as students respond to social problems), Social Relatedness (as students join with others to respond to a societal need) and Political-Moral Understanding (as students reflect on and discuss the relationship between what is and what should be).

Civic responsibility


Tanggung jawab warga negara

Tanggung jawab warga negara (citizen responsibility/civic responsibilities) menurut CCE (1994 :37) antara dapat dicontohkan:

  1. melaksanakan aturan hukum;
  2. menghargai hak orang lain;
  3. memiliki informasi dan perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya;
  4. melakukan kontrol terhadap para pemimpin yang dipilihnya dalam melaksanakan tugas – tugasnya;
  5. melakukan komunikasi dengan para wakil di sekolah, pemerintah lokal, pemerintah nasional;
  6. memberikan suara dalam suatu pemilihan;
  7. membayar pajak;
  8. menjadi saksi di pengadilan;
  9. bersedia untuk mengikuti wajib militer, dsb.

Sekolah berbasis SNP


Sekolah berbasis SNP

Sekolah berbasis SNP adalah model penyelenggaraan pendidikan bermutu yang memenuhi standar nasional pendidikan, yang meliputi:
  1. Pemenuhan standar kompetensi lulusan
  2. Pemenuhan standar kurikulum (standar isi)
  3. Pemenuhan standar proses pembelajaran
  4. Pemenuhan standar penilaian
  5. Pemenuhan standar guru dan tenaga kependidikan
  6. Pemenuhan standar pembiayaan
  7. Pemenuhan sarana dan prasarana sekolah
  8. Pemenuhan standar manajemen sekolah