Narita International Airport,Japan

Preparing for departure

East West Center, University of Hawaii

All of the participants for Civic Education short course, University Of Hawaii

Davi and Haris

Happy family of my little sister

Elementary School in Hawai'i

Fun learning and school visit

Project Citizen SMP Negeri 16 Bandar Lampung

Implementasi model Project Citizen di SMPN 16 Bandar Lampung

Narita International Airport

Funny and new experience

Senin, 30 Desember 2013

Pengertian Ideologi


Pengertian Ideologi

Ideologi muncul di akhir abad ke-19 ketika asal ide-ide menjadi subjek kajian filosofis. Upaya ini dilakukan untuk menemukan saling ketergantungan antar sesama ide manusia dengan proses psikologisnya. Berhubung ideologi menggambarkan ketergantungan akal pada proses-proses material dasar ini, maka pada umumnya dikenal sebagai materialisme psikologis. Sementara orag mengartikan ideologi biasanya tidak lebih dari semacam hubungan mental, suatu teori, suatu pemikiran atau sesuatu yang bersifat intelektual.

Orang yang pertama kali menggunakan istilah ideologi adalah Antoine Destutt, seorang filosof Perancis yang hidup pada masa revolusi Perancis. Secara etimologis, “ideologi” dibentuk dari kata idea dan logos. Idea berarti pemikiran, konsep atau gagasan, sedangkan logos atau logoi berarti pengetahuan. Dengan demikian, ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang ide-ide, tentang keyakinan atau tentang gagasan. Dalam hubungan dengan pengertian ini, maka ideologi bisa berarti ajaran, doktrin, teori atau ilmu yang diyakini kebenarannya, yang disusun secara sistematis dan diberi petunjuk pelaksanaannya, baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

A Destult de Tracy (1836) menjelaskan bahwa ideologi berasal dari kata idein yang berarti melihat dan logia yang berarti kata atau ajaran. Pengertian ini untuk menyebut suatu cabang filsafat, yaitu science de idees sebagai ilmu yang mendasari ilmu-ilmu lain, seperti paedagogi, etika, politik. Atas dasar itu, menurutnya, ideologi berarti ilmu tentang terjadinya cita-cita, gagasan atau buah pikiran.

Sesungguhnya istilah ideologi sendiri bersifat netral, tidak memihak ke mana pun. Ia dapat digunakan oleh siapa saja; apakah oleh kaum kapitalis, nasionalis atau komunis, bahkan oleh yang lainnya. Ideologi pada dasarnya menggambarkan tentang suatu tatanan kehidupan politik yang diyakininya sebagai yang paling ideal disertai dengan cara-cara, program, dan strategi untuk mewujudkan dan memperjuangkannya.


(Tulisan diambil dari buku berjudul Civic Education: Pendidikan Kewarganegaraan Perspektif Islam, tahun 2004 halaman 43-44, penulis Adeng Muchtar Ghazali, M.Ag., penerbit benang merah press)


Demokrasi Pancasila


Demokrasi Pancasila

Demokrasi Pancasila mengandung pengertian demokrasi yang dijiwai, disemangati, diwarnai, dan didasari oleh falsafah Pancasila. Pandangan dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam demokrasi Pancasila adalah:
  1. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang tetap mendasarkan diri pada konstirusi. Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa pemerintah berdasar atas sistem konstitusi, tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tak terbatas). Dengan demikian, demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang seluruh geraknya dibatasi oleh konstitusi, dan harus senantiasa tunduk dan patuh terhadap rule of law.
  1. Demokrasi Pancasila tetap memperlihatkan dan memiliki sifat-sifat demokrasi dalam arti umum dan universal, yaitu suatu pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Asas kerakyatan mengandung arti bahwa kedaulatan ada pada rakyat. Segala hukum haruslah bersandar pada perasaan keadilan dan kebenaran yang hidup dalam hati rakyat.
  1. Menurut rumusan hasil simposium hak-hak asasi yang diselenggarakan pada bulan Juni 1957, yang dimaksud dengan demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang memiliki tanggung jawab baik secara vertikal maupun horizontal. Dengan demikian demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang wajib bertanggung jawab kepada Allah SWT dan bertanggung jawab kepada kemanusiaan dan kepada persatuan Indonesia.

(Tulisan diambil dari buku berjudul Civic Education: Pendidikan Kewarganegaraan Perspektif Islam, tahun 2004 halaman 81-82, penulis Adeng Muchtar Ghazali, M.Ag., penerbit benang merah press Bandung)

Definisi Nasionalisme


Mengenai Definisi Nasionalisme

Nasionalisme menurut penulis adalah semangat, rasa atau kesadaran memiliki bangsa dan negara secara utuh. Termasuk didalamnya mencintai tanah air, dalam artian mencintai baik itu sesama warga masyarakat, mencintai kebersamaan satu sama lain, mencintai segala perkembangan yang baik menuju keberadaan bangsa dan negara yang mampu berdiri di tengah-tengah bangsa-bangsa lainnya di dunia. Dan yang tidak kalah pentingnya, apabila menyebutkan kata nasionalisme itu, menurut penulis adalah berbuat, bertindak, berperilaku, berusaha, berupaya, bergiat, bersemangat untuk melakukan yang terbaik dan bermanfaat untuk bangsa dan negara baik untuk saat sekarang dan untuk di masa depan. Sehingga bangsa dan negara akan bergerak lebih maju dan berkembang.

Stanley Benn, seperti dikutip Nurcholish Madjid, mengatakan bahwa dalam mendefinisikan perkataan “nasionalisme” setidaknya ada lima elemen, yakni:
  1. semangat ketaatan kepada suatu bangsa (semacam patriotisme)
  2. dalam aplikasinya kepada politik, nasionalisme menunjuk kepada kecondongan untuk mengutamakan kepentingan bangsa sendiri, khususnya jika kepentingan bangsa itu berlawanan dengan kepentingan bangsa lain
  3. sikap yang melihat amat pentingnya penonjolan ciri khusus suatu bangsa. Karena itu doktrin yang memandang perlunya kebudayaan bangsa dipertahankan
  4. nasionalisme adalah suatu teori politik atau teori antropologi yang menekankan bahwa umat manusia secara alami terbagi-bagi menjadi berbagai bangsa, dan bahwa ada kriteria yang jelas untuk mengenali suatu bangsa beserta para anggota bangsa itu


Kamis, 26 Desember 2013

Multicultural Menurut Gay Garland Reed


Multicultural Menurut Gay Garland Reed (UH)

According to Gay Garland Reed (Professor of Educational Foundations, College of Education, University of Hawaii):
Multicultural practitioners are sensitive to the patterns of prejudice and bias (based on social class, race, religion, ethnicity, gender, exceptionality, sexual orientation, and linguistic background) in curriculum, assessment, institutional structures, and human interactions that affect educational outcomes. They strive to correct these inequities by accommodating their curriculum, varying their pedagogical approaches, encouraging multiple perspectives, inviting critical thought, and engaging in regular self - reflection in order to create a more inclusive and socially just classroom.

(Leni Anggreini final assignment at East Weat Center, University of Hawai'i Manoa – Honolulu, December 2012)

Multikultural Menurut Banks


Multicultural

Multicultural education is a relatively new phenomenon in the world of education. According to Banks and Banks (2004: xi) defines multicultural education as follows:
multicultural education is a field of study and an emerging discipline whose major aim is to create equal educational opportunities for students from diverse racial, ethnic, social class, and cultural groups. One of its important goals is to help students to acquire the knowledge, attitudes, and skills needed to function effectively in a pluralistic democratic society and to interact, negotiate, and communicate with peoples from diverse groups in order to create a civic and moral community that works for the common good.

Multicultural education is as a process of preparing students for meaningful participation in a diverse world and for assisting them in affirming their own unique cultural backgrounds while respecting others.

Senin, 23 Desember 2013

Kalidjernih, pendidikan karakter di Indonesia


Beberapa butir acuan dalam pengembangan dan pengamalan kualitas-kualitas utama (pembangunan karakter)
  • pengembangan kualitas-kualitas utama melalui pengalaman atau interaksi sosial
  • penekanan interaksi sosial dalam pembangunan karakter yang bersifat intersubyektifitas (komunikasi inter personal)
  • Intersubyektivitas dikembangkan dalam bentuk 'situasi' atau 'kasus' (situasi dapat dibuat dalam bentuk drama (acting-out)
  • peserta didik diberikan kesempatan berefleksi dan mengemukakan pendapat melalui situasi yang dipentaskan
  • peserta didik dapat diminta melakukan evaluasi, mana yang menurut mereka merupakan kualitas-kualitas utama dan mana yang bukan. Sejauh mana tindakan-tindakan dapat dikategorikan sebagai klaim kekokohan, kekonsistenan dan kepaduan kualitas utama
  • peserta didik dapat melakukan kegiatan pemecahan masalah ketika berefleksi dan mementaskan suatu situasi
  • peserta didik didorong untuk aktif dan kreatif mencari situasi-situasi (dari pengalaman langsung atau tidak langsung) sebagai materi pelatihan dan pengembangan


(Kalidjernih, Ph.D, Situasionisme: Refleksi untuk pendidikan karakter di Indonesia)

Pendidikan Karakter “Thomas Lickona”


Pendidikan Karakter “Thomas Lickona”
Perhatian Lickona terhadap nilai-nilai karakter dan pengembangannya telah menjadi kajian dalam beberapa tahun terakhir. Lickona berfokus kepada bagaimana menerapkan nilai-nilai karakter dari hal-hal yang sangat sederhana yang pada akhirnya akan memberikan dampak yang sangat besar dimasa yang akan datang bagi setiap individu yang mampu melaksanakan nilai-nilai karakter itu sendiri dengan baik. Sebagaimana contoh-contoh sederhana yang dikemukakan oleh Lickona yang memberikan dampak dan pemahaman yang sangat mendalam mengenai implementasi nilai-nilai karakter, “We don't want them to lie, cheat on tests, take what's not theirs, call names, hit each other, or be cruel to animals; we do want them to tell the truth, play fair, be polite, respect their parents and teachers, do their schoolwork, ad be kind to others. (1991: 47). Dapat dijelaskan bahwa, dengan mengutamakan nilai kejujuran, tentu siswa diminta untuk tidak mencontek saat mengerjakan tugas atau ujian, tidak mengambil barang yang bukan haknya, memanggil dengan panggilan yang baik, menyayangi teman, dan memperlakukan hewan dengan baik. Dengan demikian, jelas bahwa kita menginginkan agar peserta didik kita berkata jujur (tidak bohong), adil, sopan santun, menghormati orang tua dan guru, mengerjakan tugas sekolah yang diberikan oleh guru, dan bersikap baik kepada setiap orang.
Karakter menurut Lickona terbagi atas beberapa bagian yang tercakup di dalamnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lickona di bawah ini:
Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior. Good character consists of knowing the good, desiring the good, and doing the good, habits of the mind, habits of the heart, and habits of action. All three are necessary for leading a moral life, all three make up moral maturity. When we think about the kind of character we want for our children, it's clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within. (1991: 51)

Berdasarkan pendapat Lickona di atas dapat dijelaskan bahwa karakter terdiri atas tiga korelasi antara lain moral knowing, moral feeling, dan moral behavior. Karakter itu sendiri terdiri atas, antara lain: mengetahui hal-hal yang baik, memiliki keinginan untuk berbuat baik, dan melaksanakan yang baik tadi berdasarkan atas pemikiran, dan perasaan apakah hal tersebut baik untuk dilakukan atau tidak, kemudian dikerjakan. Ketiga hal tersebut dapat memberikan pengarahan atau pengalaman moral hidup yang baik, dan memberikan kedewasaan dalam bersikap.

Pendidikan dalam Globalisasi


Pendidikan dalam Globalisasi
Proses pendidikan dan pembelajaran di dalam kelas saat ini tidak terlepas dari perkembangan informasi dan teknologi. Setiap pengajar dan pembelajar dituntut untuk mengikuti kemajuan zaman tersebut. Herschock (2007) mengatakan bahwa, “A second characteristics of contemporary globalization processes that has profound effects on education policies and practices in the manner in which these processes accelerate the pace of technological, scientific, social, economic, political, and cultural change.” Neubauer (2007) juga mengatakan bahwa, “Globalization has wrought transformations of similar scale: in how people live, work, communicate and engage with each other and the world, and in how they are educated.” Dengan demikian, berdasarkan pendapat Herschock dan Nuebauer di atas bahwa perkembangan informasi, teknologi secara global dapat membawa perubahan secara dinamis diberbagai bidang terutama dibidang pendidikan.
Era globalisasi menuntut setiap orang untuk dapat melakukan dengan apa yang dinamakan “daya saing.” Ini penting, dengan semakin derasnya informasi dan teknologi dalam kehidupan globalisasi seperti sekarang ini, individu harus dapat mengembangkan diri sendiri, komunitas, dan masyarakat luas, hingga ada dampak positif serta memajukan bangsa dan negara. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan di bawah ini:
Globalization has wrought transformation of similar scale: in how people live, work, identify and aggregate, communicate and engage locally, nationally, internationally, globally, and how they are educated. Changes are taking place in the nature of the state itself, in how states interact, and in the roles of supra and non state actors in organizing and affecting human behavior. At the core of contemporary globalization are transformations in how capital flows throughout the globe and is linked to production and consumption, in how energy is harnessed and consumed, in how information and knowledge are created, transmitted and conserved, how labor is employed and deployed, and how value is created, distributed, conserved and destroyed. (Hershock et al, 2007: 29)

Kemudian untuk membangun daya saing bangsa dan kemandirian sains dan teknologi memerlukan peran aktif semua pihak, baik pemerintah, dunia usaha, akademisi, maupun masyarakat secara umum. Oleh karena itu disinilah pentingnya letak pembentukan karakter bagi peserta didik walaupun memiliki kemampuan bersaing, agar tiap individu khususnya peserta didik untuk tetap beretika, bermoral, sopan santun dan dapat berinteraksi dan membangun masyarakat agar kedepan lebih baik.
Penting untuk menanamkan nilai karakter, tetapi hal ini saja tidaklah cukup, karena dengan melaksanakan nilai-nilai karakter baik dimulai dari hal-hal yang sederhana sekalipun tentu akan membentuk kepribadian unggul bagi tiap-tiap individu. Karakter juga tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimana setiap individu melaksanakan ibadah sehari-hari, melakukan kegiatan-kegiatan amal dan aktivitas positif lain yang berguna bagi sesama. Karakter erat keterkaitan terhadap pengembangan perilaku diri sendiri yang baik, kasih sayang sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang nantinya terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Karakter dalam implementasinya


Karakter dalam implementasinya
Pendidikan karakter dan bagaimana cara mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari, selain mengembangkan dan memperkuat potensi pribadi juga menyaring pengaruh dari luar yang akhirnya dapat membentuk karakter peserta didik yang dapat mencerminkan budaya bangsa Indonesia. Upaya pembentukan karakter sesuai dengan budaya bangsa ini tentu tidak semata-mata hanya dilakukan di sekolah melalui serangkaian kegiatan belajar mengajar baik melalui mata pelajaran maupun serangkaian kegiatan pengembangan diri yang dilakukan di kelas dan luar sekolah. Pembiasaan-pembiasan (habituasi) dalam kehidupan, seperti: religius, jujur, disiplin, toleran, kerja keras, cinta damai, tanggung-jawab, dan sebagainya, perlu dimulai dari lingkup terkecil seperti keluarga sampai dengan cakupan yang lebih luas di masyarakat. Nilai-nilai tersebut tentunya perlu ditumbuhkembangkan yang pada akhirnya dapat membentuk pribadi karakter peserta didik yang selanjutnya merupakan pencerminan hidup suatu bangsa yang besar.

Guru sebagai pendidik dan pemimpin


Guru sebagai pendidik dan pemimpin

Banks (1997: 99) mengemukakan bahwa
Teachers, as well as other educators and leaders, must play an important role in educating students from diverse groups to become effective citizens in a democratic society. To become thoughtful and active citizens, students must experience democracy in classrooms and in schools. Action speaks much more cogently than words. Consequently, how teachers respond to marginalized students in classroom will to a great extent determine wheter they will experience democracy or oppression in classrooms and schools.

Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa guru sebagai pendidik dan pemimpin di kelas, hendaknya mampu memegang peranan penting dalam memberikan pengajaran kepada siswa walaupun mereka datang dari latar belakang yang berbeda untuk menjadikan mereka sebagai warga negara yang baik dan cerdas dalam kehidupan masyarakat yang demokratis, dan untuk menjadikan mereka sebagai siswa yang dapat berperan serta memiliki pemikiran yang baik.

Pendidikan Kewarganegaraan for the future


Pendidikan Kewarganegaraan for the future

Pendidikan kewarganegaraan masa depan membutuhkan suatu paradigma baru sebagai konsekuensi tuntutan globalisasi dan proses reformasi ke arah new Indonesian civic education. Menurut Azra dalam Zuhud (2010) “paradigma baru itu mau tidak mau, melibatkan reformasi besar yang mencakup perubahan kebijakan yang lebih terbuka, transparan, dan akuntabel”. Reformasi untuk membangun paradigma baru ini dimulai dari aspek yang mendasar , yaitu reorientasi visi dan misi, revitalisasi fungsi dan peranan, hingga restrukturisasi isi kurikulum dan materi pembelajaran. Menurut Setiawan dalam Zuhud (2010) pendidikan kewarganegaraan dengan paradigma baru mensyaratkan materi pembelajaran yang memuat komponen-komponen pengetahuan , keterampilan, disposisi kepribadian dapat bersinergi secara fungsional, bukan hanya dalam tataran kehidupan berbangsa dan bernegara, melainkan juga dalam masyarakat di era global. Hal tersebut digambarkan oleh Cogan (1998:13) bahwa pendidikan kewarganegaraan sebagai: “... the contribution of education to the development of those characteristics of being a citizen’ and the ‘process of teaching society’s rules, institutions, and organizations, and the role of citizens in the well-functioning of society’. Pendidikan Kewarganegaraan digambarkan sebagai ‘kontribusi pendidikan untuk pengembangan karakteristik-karakteristik warganegara' dan 'proses tentang aturan pengajaran masyarakat, institusi, dan organisasi-organisasi, dan peran warga negara dalam masyarakat yang berfungsi secara baik'.

Pembelajaran pendidikan kewarganegaraan


Pembelajaran pendidikan kewarganegaraan

Kalidjernih (2009:123-124) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan perlu menekankan pada dua persoalan yaitu: pertama menstimulir peserta didik untuk terus menerus merefleksi tentang makna dunia sosialnya, mereka perlu didorong untuk melihat bahwa hubungan antara individu dan masyarakat tidak sekedar dimediasi oleh norma-norma yang cenderung mengekang atau mendorong kepada suatu cara tindakan tertentu. Mereka perlu melihat sistem kemasyarakatan sebagai sumber daya atau pengetahuan yang memberdayakan yang diperlukan untuk masuk ke dalam interaksi sosial guna merespons pelbagai keadaan sosial ... Kedua Pendidikan kewarganegaraan perlu menekankan kepada anak didik untuk mempersiapkan diri lebih baik guna merespon terhadap kekuatan global di Indonesia. Yang perlu ditekankan adalah bahwa generasi muda kita tidak sekedar melakukan resistensi (counter culture) belaka tetapi meningkatkan pemahaman mereka terhadap kekuatan–kekuatan tersebut dan merangkul mereka untuk berkompetisi dan menang di tingkat global.

Kamis, 19 Desember 2013

Diskusi yang sehat dan tidak sehat


Diskusi yang sehat dan tidak sehat

Proses pembelajaran di kelas seringkali kita menemukan dan menggunakan metode diskusi. Metode diskusi sangatlah efektif untuk membuat siswa terlibat secara langsung dalam proses pembelajaran. Diskusi tentu harus berdasarkan tema yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam berdiskusi ada beberapa hal yang mesti diperhatikan, apakah diskusi tersebut sehat atau tidak sehat.

diskusi yang sehat:
  • terjadi kompleksitas dalam diskusi tersebut
  • diskusi tidak diam di tempat
  • diskusi mengarah kemana-mana
diskusi yang tidak sehat:
  • hanya diam di tempat
  • tidak mengarah kemana-mana
  • menafikan pendapat lain
  • kehilangan waktu atau peluang untuk membahas lebih dalam
  • kesepakatan terlalu cepat diambil atau di dapat

Teaching and Learning Strategies


Changes necessary in teaching and learning strategies
The article was taken from Rosnani Hashim (ITEC 2013, University of Lampung, Indonesia)
Institute of Education, International Islamic University Malaysia

In the past our learning and teaching strategies were basically concerned on cognitive understanding and retention of facts or content. At most we would like our students to be able to apply these facts in solving some problems in their daily lives, in examinations and in most cases as foundations for further higher learning. Basically it is the lower order of the Bloom’s taxonomy i.e. knowledge, understanding and application. It rarely attempts to do much analysis, evaluation and synthesis which are the higher order of the Bloom’s taxonomy that are crucial for critical and creative thinking, for proper judgement and good decision making. This are only provided at the end of high school or in the university. This was alright for a system of education that desires to sort out students based on grades to fit into the available occupational positions. Moreover the system was elitist then and meant to choose the best brains.

But today with technological changes and innovation, where information is accessible to all and the world grows more competitive, leading to a different kind of worker i.e the knowledge worker, the focus on education is not only on the products or the contents but more importantly on the process or the skills necessary to enable the formulation of a solution. As educators, we need to adapt our lesson presentations to these digitally “programmed” students. There is little hope that these digital natives will “power down” their minds to become more engaged with traditional learning styles (Pensky, 2001).
It is interesting how the changes of the present era was envisaged as early as 1916 when Dewey published his seminal work "Democracy and Education", which acknowledged that learners should become active participants in the educational process. The idea is that in learning from their own experience, students become, in a sense, their own teachers. The changed role of the learner has, in turn, implications for that of the teacher. Instead of the source of knowledge, teachers become facilitators of the learning process; that is, their role is to create the set of conditions under which students can best learn from their experiences. Moreover, teachers can fulfill this role only by becoming learners themselves, and a primary source of their learning must be their students. In a nutshell, teachers who learn become better teachers, and learners who teach become better learners. Although this idea seems straightforward enough, educators have been very slow to put it into practice. However, the rapid technological changes of the last few decades may well provide the catalyst that finally brings about these needed reforms in the field of education (Florin, L.& S. Sugioka, 2007).

Teaching and learning strategies today have to foster communication skills which in this century would mean proficiency in the English language, critical and creative thinking skills, and inter-personal and collaborative skills. The issue is how to foster these skills through teaching and learning. Good communication skills require the students to speak up and not just to listen and digest all that the lecturer informs them. Thus, a lecture is not suitable all the times. There ought to be discussion where students can express their ideas and also their views – however sloppy it might seems at first. The conversation should also be between students and students and not only between teacher and students. Only when the proper language is used will it be alive. Discussion can also be taken up into small group.

To foster critical thinking skills, students ought to be trained to reason well and be analytical. They must be able to give reasons for their belief. They must be able to provide evidence for their argument, give examples to illustrate, identify fallacies in reasoning, to think logically, through induction or deduction and to recognize valid and sound arguments. This can be done through analytical written exercises or in classroom discussion. To foster creative thinking, students have to be taught to sometimes think outside of the box or to be imaginative.

To foster collaborative skills and work as a team, students need to be encouraged to do some form of group or project work where each member is given a task to be worthy.

Senin, 16 Desember 2013

Pengalaman Kehidupan Siswa


Pentingnya Pengalaman Kehidupan Siswa dalam Kehidupan Global

Menerapkan proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan membutuhkan kinerja profesional guru secara utuh dengan tujuan agar siswa dapat memahami secara riil apa yang terdapat dalam konten materi yang disampaikan. Apakah cukup hanya dengan metode ceramah dan diskusi saja di kelas dalam pembelajarannya? Tentu saja hal-hal ini tidaklah cukup. Perlu upaya lebih nyata dari para guru untuk lebih mendekatkan diri siswa kepada kehidupan nyata yang terjadi di lingkungan dimanapun siswa tersebut berada. Dengan melihat secara langsung aktivitas kehidupan individu dan masyarakat dan siswa juga dilibatkan pada studi-studi kasus yang terjadi, maka siswa akan lebih paham dan mengerti mengenai apa yang sesungguhnya terdapat di lingkungan tempat tinggalnya. Kemudian, semakin bertambahnya pengalaman yang didapat oleh siswa, maka semakin terlatih pula siswa untuk dapat mencarikan solusi alternatif mengenai permasalahan sosial yang terjadi di sekitar diri siswa. Pengalaman ini penting bagi diri siswa untuk dapat hidup dalam kehidupan yang semakin modern seperti saat ini. Karena era globalisasi sekarang, lebih menuntut individu untuk lebih cerdas, kreatif, cepat, dan tanggap dalam mengantisipasi aspek-aspek kehidupan kapanpun dan dimanapun.

Aksioma Penjaminan Mutu


Aksioma Penjaminan Mutu

Mutu bukan tujuan, tapi sebuah perjalanan. Dan untuk mengejar mutu, perlu relevansi dan efektifitas. Mutu adalah sebuah sistem. Apabila aksioma penjaminan mutu tidak digunakan, maka tidak ada pergerakan akan penjaminan mutu itu sendiri. Berikan kesempatan kepada siapapun yang berada di bawah standar untuk berupaya kepada standar, berikan berapa jangka waktu yang dibutuhkan oleh mereka yang dibawah standar untuk sesuai standar. Dan apa yang dilakukan pun harus jelas berdasarkan standar yang ada. Tidak ada kompromi terhadap mutu, dengan demikian mutu harus sesuai dengan standar. Apabila belum berhasil, maka berikan waktu untuk penjaminan mutunya. Sekolah harus benar-benar serius dalam memperbaiki kinerja dan proses pembelajaran yang bagus dan tepat bagi anak-anak didik, sehingga anak-anak didik yang dihasilkan adalah betul-betul individu yang sesuai dengan apa yang diinginkan oleh standar kompetensi lulusan, siswa yang berkualitas, siswa yang terlatih, siswa yang sehat jasmani dan rohani, dan siswa yang cerdas. Oleh karena itu, instrumen harus tepat. Dan penjaminan mutu menjadi kunci untuk perbaikan pendidikan di Indonesia saat ini dan di masa mendatang.

Membangun Kreatifitas Guru


Mari Membangun Kreatifitas Guru Untuk Membangkitkan Semangat dan Minat Belajar Siswa

Kreatifitas guru dalam menciptakan proses pembelajaran yang menarik (kreatif dan inovatif) sangatlah penting. Semakin besar semangat dan minat siswa dalam belajar, maka akan semakin baik proses pembelajaran itu. Dengan demikian hasil lulusan adalah yang terbaik, karena keterlibatan diri siswa pada proses pembelajaran yang akan menambah pengetahuan, pengalaman, dan keberanian diri untuk menjadi lebih baik.

Kurikulum 2013:
  • rekonstruksi kompetensi
  • reformasi penilaian
  • revolusi proses
  • reposisi materi

Murid Perlu Keteladanan dari Guru


Murid Perlu Keteladanan dari Guru

Guru harus mampu menjadi teladan bagi siswanya. Penting bagi siswa agar guru menghadirkan sosok keteladanan dihadapan mereka. Guru harus bisa menyampaikan keteladanan itu dalam kehidupan sehari-hari. Apabila ada pertanyaan: Ada berapa jumlah guru yang memiliki keteladanan saat ini di Indonesia?