Pages - Menu
▼
Minggu, 28 Juli 2013
Tujuan Mata Kuliah PKn di Perguruan Tinggi
Tujuan Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
1. Memiliki wawasan dan kesadaran kebangsaan dan rasa cinta tanah air sebagai perwujudan warga negara Indonesia yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup bangsa dan negara
2. Memiliki wawasan dan penghargaan terhadap keanekaragaman masyarakat Indonesia sehingga mampu berkomunikasi baik dalam rangka meperkuat integrasi nasional
3. Memiliki wawasan, kesadaran dan kecakapan dalam melaksanakan hak, kewajiban, tanggung jawab dan peran sertanya sebagai warga negara yang cerdas, trampil dan berkarakter
4. Memiliki kesadaran dan penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia serta kewajiban dasar manusia sehingga mampu memperlakukan warga negara secara adil dan tidak diskriminatif
5. Berpartisipasi aktif membangun masyarakat Indonesia yang demokratis dengan berlandaskan pada nilai dan budaya demokrasi yang bersumber pada Pancasila
6. Memiliki pola sikap, pola pikir dan pola perilaku yang mendukung ketahanan nasional serta mampu menyesuaikannya dengan tuntutan perkembangan zaman demi kemajuan bangsa
Sumber
http://winarno.staff.fkip.uns.ac.id/
Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi
Pendidikan
Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi
Pengantar
Pendidikan
kewarganegaraan (citizenship
education)
memiliki peran penting dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut William Galston, pendidikan kewarganegaraan per definsi
adalah pendidikan_di dalam dan demi_ tatanan politik yang ada (Felix
Baghi, 2009). Pendidikan kewarganegaraan adalah bentuk pengemblengan
individu-individu agar mendukung dan memperkokoh komunitas politiknya
sepanjang komunitas politik itu adalah hasil kesepakatan. Pendidikan
kewarganegaraan suatu negara akan senantiasa dipengaruhi oleh
nilai-nilai dan tujuan pendidikan (educational
values and aims)
sebagai faktor struktural utama (David Kerr, 1999). Pendidikan
kewarganegaraan bukan semata-mata membelajarkan fakta tentang lembaga
dan prosedur kehidupan politik tetapi juga persoalan jatidiri dan
identitas suatu bangsa (Kymlicka, 2001).
Berdasar
hal di atas, pendidikan kewarganegaraan di Indonesia juga
berkontiribusi penting dalam menunjang tujuan bernegara Indonesia.
Pendidikan kewarganegaraan secara sistematik adalah dalam rangka
perwujudan fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan
Pancasila dan UUD NRI 1945 Pendidikan kewarganegaraan berkaitan dan
berjalan seiring dengan perjalanan pembangunan kehidupan berbangsa
dan bernegara. Pendidikan kewarganegaraan merupakan bagian integral
dari ide, instrumentasi, dan praksis kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara Indonesia (Udin Winataputra, 2008). Bahkan
dikatakan, pendidikan nasional kita hakikatnya adalah pendidikan
kewarganegaraan agar dilahirkan warga negara Indonesia yang
berkualitas baik dalam disiplin sosial dan nasional, dalam etos
kerja, dalam produktivitas kerja, dalam kemampuan intelektual dan
profesional, dalam tanggung jawab kemasyarakatan, kebangsaan,
kemanusiaan serta dalam moral, karakter dan kepribadian (Soedijarto,
2008).
Pendidikan
kewarganegaraan di manapun pada dasarnya bertujuan membentuk warga
negara yang baik (good
citizen)
(Somantri, 2001; Aziz Wahab, 2007; Kalidjernih, 2010). Namun konsep
“warga negara yang baik” berbeda-beda dan sering berubah sejalan
dengan perkembangan bangsa yang bersangkutan. Dalam konteks tujuan
pendidikan nasional dewasa ini, warga negara yang baik yang gayut
dengan pendidikan kewarganegaraan adalah warga negara yang demokratis
bertanggung jawab (Pasal 3) dan warga negara yang memiliki semangat
kebangsaan dan cinta tanah air (pasal 37 Undang-Undang No 20 Tahun
2003). Dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan kewarganegaraan di
Indonesia adalah membentuk warga negara yang demokratis bertanggung
jawab, memiliki semangat kebangsaan dan cinta tanah air.
Pendidikan
kewarganegaraan merupakan bidang yang lintas keilmuan (Udin
Winataputra, 2001) atau bidang yang multidisipliner (Sapriya, 2007).
Sebagai bidang yang multidimensional, pendidikan kewarganegaraan
dapat memuat sejumlah fungsi antara lain; sebagai pendidikan politik,
pendidikan hukum dan pendidikan nilai (Numan Somantri, 2001);
pendidikan demokrasi (Udin Winataputra, 2001); pendidikan nilai,
pendidikan demokrasi, pendidikan moral dan pendidikan Pancasila
(Suwarma, 2006), pendidikan politik hukum kenegaraan berbangsa dan
bernegara NKRI, sebagai pendidikan nilai moral Pancasila dan
Konstitusi NKRI, pendidikan kewarganegaraan (citizenship
education)
NKRI dan sebagai pendidikan kewargaan negara (civic
education)
NKRI (Kosasih Djahiri, 2007); dan sebagai pendidikan demokrasi,
pendidikan karakter bangsa, pendidikan nilai dan moral, pendidikan
bela negara, pendidikan politik, dan pendidikan hukum (Sapriya,
2007). Fungsi yang berbeda-beda tersebut sejalan dengan karakteristik
“warga negara yang baik” yang hendak diwujudkan.
Selain
memuat beragam fungsi, pendidikan kewarganegaraan memiliki 3 domain/
dimensi atau wilayah yakni sebagai program kurikuler, program sosial
kemasyarakatan dan sebagai program akademik (Udin Winataputra, 2001;
Sapriya, 2007). Pendidikan kewarganegaraan sebagai program kurikuler
adalah pendidikan kewarganegaraan yang dilaksanakan di sekolah atau
dunia pendidikan yang mencakup program intra, ko dan ekstrakurikuler.
Sebagai program kurikulum khususnya intra kurikuler, pendidikan
kewarganegaraan dapat diwujudkan dengan nama pelajaran yang berdiri
sendiri (separated)
atau terintegrasi dengan mata pelajaran yang lain (integratied).
Sebagai program sosial kemasyarakatan adalah pendidikan
kewarganegaraan yang dijalankan oleh dan untuk masyarakat. Pendidikan
kewarganegaraan sebagai program akademik adalah kegiatan ilmiah yang
dilakukan komunitasnya guna memperkaya body
of knowledge
pkn itu sendiri.
Mata
kuliah PKn di Perguruan Tinggi
Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) sebagai nama mata kuliah di perguruan tinggi
merupakan perwujudkan dari pendidikan kewarganegaraan (pkn) dalam
dimensi kurikuler khususnya kegiatan intra kurikuler. Pendidikan
Kewarganegaraan di perguruan tinggi dimunculkan sebagai mata kuliah
tersendiri, tidak terintegrasi dengan mata kuliah lain. Ia dapat
dikatakan sebagai nama species,
sedang genusnya
adalah pkn itu sendiri. Ia adalah nama diri bukan nama jenis. Secara
kebetulan species
atau nama diri sama dengan nama genus atau nama jenisnya yakni PKn.
Namun
demikian, pengalaman penyelenggaraan pendidikan kewarganegaraan di
perguruan tinggi di Indonesia pernah diwujudkan dengan berbagai nama
diri atau species yang berbeda-beda. Pendidikan kewarganegaraan
pernah diwujudkan dengan nama mata kuliah Filsafat Pancasila,
Kewiraan, Pendidikan Pancasila dan PKn. Pada jenjang pendidikan dasar
dan menengah ada pelajaran Civics, PKN, PMP, PSPB, PPKn,
Kewarganegaraan , PKPS, dan PKn.
Perkembangan
baru menunjukkan bahwa pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi
dimunculkan dengan dua mata kuliah yang berbeda yakni Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn)
dengan merujuk pada SK Dirjen Dikti No. 43 Tahun 2006 dan Pendidikan
Pancasila (PP)
mendasarkan pada SE Dirjen Dikti No. 914/E/T/2011.
Kedua
mata kuliah tersebut pada hakekatnya merupakan pendidikan
kewarganegaraan sebagai program kurikuler pada jenjang pendidikan
tinggi di Indonesia yang juga sama-sama bertujuan membentuk warga
negara yang baik (good
citizen).
Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya overlapping
antara keduanya, perlu dirumuskan konsep warga negara yang baik yang
hendak dikembangkan oleh kedua mata kuliah ini. Hal demikian juga
perlu pemberian penekanan fungsi yang berbeda dari kedua mata kuliah.
Jika
merujuk pada tujuan pendidikan nasional dan tujuan pendidikan
kewarganegaraan yang terdapat dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003,
maka terungkap bahwa fungsi
pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah
sebagai
pendidikan demokrasi dan pendidikan kebangsaan.
Sebagai pendidikan demokrasi karena bertujuan membentuk warga negara
yang demokratis dan bertanggung jawab (pasal 3), dan sebagai
pendidikan kebangsaan karena bertujuan membentuk warga negara yang
memiliki semangat kebangsaan dan cinta tanah air (pasal 37). Jika
demikian, dengan sederhana dapat diusulkan mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) memuat fungsi sebagai pendidikan demokrasi,
sedang mata kuliah Pendidikan Pancasila mengemban fungsi
sebagai pendidikan kebangsaan. Jika dua fungsi ini telah ditetapkan
dan terbedakan maka selanjutnya dapat dikembangkan sejumlah materi
pembelajaran (instructional
material)
yang dapat mendukung fungsi dari mata kuliah tersebut. Fungsi dari
mata kuliah tersebut sekaligus menunjukkan jatidiri mata kuliah yang
bersangkutan.
Namun
demikian, jika hanya dua fungsi pendidikan yang diemban oleh kedua
mata kuliah tersebut, bagaimana dengan fungsi-fungsi lain yang
sesungguhnya juga bisa dimuat oleh pendidikan kewarganegaraan sebagai
program kurikuler? Misal, fungsinya sebagai pendidikan kesadaran
hukum, pendidikan nilai moral/karakter, pendidikan HAM, pendidikan
multikultural, pendidikan anti korupsi, pendidikan kesadaran
lingkungan, pendidikan kewarganegaraan (civic
education)
dalam arti sempit.
Apabila
memang diinginkan bahwa kedua mata kuliah tersebut memuat pula
sejumlah fungsi pendidikan di atas, perlu pemetaan ulang dan
pembedaan fungsi yang diemban, sehingga_sekali lagi_tidak terjadi
overlapping.
Sebab jika terjadi tumpang tindih rumusan fungsinya akan berpengaruh
pula pada overlapping
materi pembelajarannya.
Berdasar
masalah di atas, menurut hemat penulis, Pendidikan
Pancasila
lebih baik memuat fungsi atau jatidirinya sebagai pendidikan
nilai/moral atau karakter
dan pendidikan
kesadaran hukum, termasuk kesadaran berkonstitusi.
Sebab secara konseptual, Pancasila merupakan jatidiri bangsa yang
didalamnya memuat nilai-nilai luhur bangsa. Di samping itu Pancasila
sebagai dasar negara memiliki implikasi yuridis sebagai sumber hukum
yang nantinya tercermin dalam UUD 1945. Sementara itu, PKn
dapat mengemban fungsi sebagai pendidikan
kebangsaan dan pendidikan demokrasi,
ditambahkan sebagai pendidikan HAM, multikultural dan pendidikan
kewarganegaraan dalam arti sempit.
Dengan
demikian, apabila jatidiri dari kedua mata kuliah tersebut sudah
jelas dan terbedakan, maka akan lebih mudah untuk merumuskan
kompetensi (tujuan pembelajaran) dan isi (materi pembelajaran) dari
mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan di
perguruan tinggi.
Oleh
karena itu di bawah ini, penulis akan mencoba merumuskan sejumlah
visi, misi, , tujuan, kompetensi dan materi pendidikan dari PKn dalam
fungsinya sebagai pendidikan kebangsaan, pendidikan demokrasi,
pendidikan HAM, multikultural dan pendidikan kewarganegaraan dalam
arti sempit.
Visi
Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
Sebagai
kelompok matakuliah pengembangan kepribadian yang memberi orientasi
bagi mahasiswa dalam memantapkan wawasan dan kesadaran kebangsaan,
cinta tanah air, demokrasi , penghargaan atas keragamaan dan
partisipasinya membangun bangsa berdasar Pancasila
Misi
Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
Sebagai
kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian yang menyelenggarakan
pendidikan kebangsaan, demokrasi , HAM, multikulural dan
kewarganegaraan kepada mahasiswa guna mendukung terwujudnya warga
negara yang cerdas, trampil dan berkarakter sehingga dapat diandalkan
guna membangun bangsa dan negara berdasar Pancasila dan UUD 1945
sesuai dengan bidang keilmuan dan profesinya.
Sumber
http://winarno.staff.fkip.uns.ac.id/
Kepemimpinan
Perkembangan
Paradigma Kepemimpinan:
Gaya, Tipologi,
Model dan Teori Kepemimpinan
Jenis, gaya, dan
ciri yang menandai perkembangan kepemimpinan masa lalu dapat dilihat
dari pengetahuan atau pun teori kepemimpinan yang berkembang dalam
kurun waktu tersebut. Abad 20 baru saja berlalu. Kita dapat mencatat
sejarah kemanusiaan yang penuh dinamika perubahan di abad itu;
termasuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tak terkecuali
perkembangan pengetahuan tentang paradigma kepemimpinan yang dapat
meliputi gaya kepemimpinan, tipologi kepemimpinan, model-model
kepemimpinan, dan teori-teori kepemimpinan. Sekalipun secara
konseptual pada ketiganya terdapat perbedaan, namun sebagai telaahan
mengenai substansi yang sama akan terdapat korelasi bahkan
interdependensi antar ketiganya.
- Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan,
pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah
laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam
memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau
bentuk tertentu. Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini
sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Davis dan Newstrom
(1995). Keduanya menyatakan bahwa pola tindakan pemimpin secara
keseluruhan seperti yang dipersepsikan atau diacu oleh bawahan
tersebut dikenal sebagai gaya kepemimpinan.
Gaya kepemimpinan
dari seorang pemimpin, pada dasarnya dapat diterangkan melalui tiga
aliran teori berikut ini.
Teori Genetis
(Keturunan). Inti dari
teori menyatakan bahwa “Leader
are born and nor made”
(pemimpin itu dilahirkan (bakat) bukannya dibuat). Para penganut
aliran teori ini mengetengahkan pendapatnya bahwa seorang pemimpin
akan menjadi pemimpin karena ia telah dilahirkan dengan bakat
kepemimpinan. Dalam keadaan yang bagaimanapun seseorang ditempatkan
karena ia telah ditakdirkan menjadi pemimpin, sesekali kelak ia akan
timbul sebagai pemimpin. Berbicara mengenai takdir, secara filosofis
pandangan ini tergolong pada pandangan fasilitas atau determinitis.
Teori Sosial.
Jika teori pertama di
atas adalah teori yang ekstrim pada satu sisi, maka teori inipun
merupakan ekstrim pada sisi lainnya. Inti aliran teori sosial ini
ialah bahwa “Leader are made and not born” (pemimpin itu dibuat
atau dididik bukannya kodrati). Jadi teori ini merupakan kebalikan
inti teori genetika. Para
penganut teori ini mengetengahkan pendapat yang mengatakan bahwa
setiap orang bisa menjadi pemimpin apabila diberikan pendidikan dan
pengalaman yang cukup.
Teori Ekologis.
Kedua teori yang ekstrim di atas tidak seluruhnya mengandung
kebenaran, maka sebagai reaksi terhadap kedua teori tersebut
timbullah aliran teori ketiga. Teori yang disebut teori ekologis ini
pada intinya berarti bahwa seseorang hanya akan berhasil menjadi
pemimpin yang baik apabila ia telah memiliki bakat kepemimpinan.
Bakat tersebut kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur
dan pengalaman yang memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut.
Teori ini menggabungkan segi-segi positif dari kedua teori terdahulu
sehingga dapat dikatakan merupakan teori yang paling mendekati
kebenaran. Namun demikian, penelitian yang jauh lebih mendalam masih
diperlukan untuk dapat mengatakan secara pasti apa saja faktor yang
menyebabkan timbulnya sosok pemimpin yang baik.
Selain
pendapat-pendapat yang menyatakan tentang timbulnya gaya kepemimpinan
tersebut, Hersey dan Blanchard (1992) berpendapat bahwa gaya
kepemimpinan pada dasarnya merupakan perwujudan dari tiga komponen,
yaitu pemimpin itu sendiri, bawahan, serta situasi di mana proses
kepemimpinan tersebut diwujudkan. Bertolak dari pemikiran tersebut,
Hersey dan Blanchard (1992) mengajukan proposisi bahwa gaya
kepemimpinan (k) merupakan suatu fungsi dari pimpinan (p), bawahan
(b) dan situasi tertentu (s)., yang dapat dinotasikan sebagai : k = f
(p, b, s).
Menurut Hersey dan
Blanchard, pimpinan (p) adalah seseorang yang dapat mempengaruhi
orang lain atau kelompok untuk melakukan unjuk kerja maksimum yang
telah ditetapkan sesuai dengan tujuan organisasi. Organisasi akan
berjalan dengan baik jika pimpinan mempunyai kecakapan dalam
bidangnya, dan setiap pimpinan mempunyai keterampilan yang berbeda,
seperti keterampilan teknis, manusiawi dan konseptual. Sedangkan
bawahan adalah seorang atau sekelompok orang yang merupakan anggota
dari suatu perkumpulan atau pengikut yang setiap saat siap
melaksanakan perintah atau tugas yang telah disepakati bersama guna
mencapai tujuan. Dalam suatu organisasi, bawahan mempunyai peranan
yang sangat strategis, karena sukses tidaknya seseorang pimpinan
bergantung kepada para pengikutnya ini. Oleh sebab itu, seorang
pemimpinan dituntut untuk memilih bawahan dengan secermat mungkin.
Adapun situasi (s)
menurut Hersey dan Blanchard adalah suatu keadaan yang kondusif, di
mana seorang pimpinan berusaha pada saat-saat tertentu mempengaruhi
perilaku orang lain agar dapat mengikuti kehendaknya dalam rangka
mencapai tujuan bersama. Dalam satu situasi misalnya, tindakan
pimpinan pada beberapa tahun yang lalu tentunya tidak sama dengan
yang dilakukan pada saat sekarang, karena memang situasinya telah
berlainan. Dengan demikian, ketiga unsur yang mempengaruhi gaya
kepemimpinan tersebut, yaitu pimpinan, bawahan dan situasi merupakan
unsur yang saling terkait satu dengan lainnya, dan akan menentukan
tingkat keberhasilan kepemimpinan.
- Tipologi Kepemimpinan
Dalam praktiknya,
dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut berkembang beberapa tipe
kepemimpinan; di antaranya adalah sebagian berikut (Siagian,1997).
Tipe Otokratis.
Seorang pemimpin yang
otokratis ialah pemimpin yang memiliki kriteria atau ciri sebagai
berikut: Menganggap organisasi sebagai pemilik pribadi;
Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi; Menganggap
bawahan sebagai alat semata-mata; Tidak mau menerima kritik, saran
dan pendapat; Terlalu tergantung kepada kekuasaan formalnya; Dalam
tindakan pengge-rakkannya sering memperguna-kan pendekatan yang
mengandung unsur paksaan dan bersifat menghukum.
Tipe
Militeristis. Perlu
diperhatikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dari seorang
pemimpin tipe militerisme berbeda dengan seorang pemimpin organisasi
militer. Seorang pemimpin yang bertipe militeristis ialah seorang
pemimpin yang memiliki sifat-sifat berikut : Dalam menggerakan
bawahan sistem perintah yang lebih sering dipergunakan; Dalam
menggerakkan bawahan senang bergantung kepada pangkat dan jabatannya;
Senang pada formalitas yang berlebih-lebihan; Menuntut disiplin yang
tinggi dan kaku dari bawahan; Sukar menerima kritikan dari
bawahannya; Menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan.
Tipe
Paternalistis. Seorang
pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin yang paternalistis ialah
seorang yang memiliki ciri sebagai berikut : menganggap bawahannya
sebagai manusia yang tidak dewasa; bersikap terlalu melindungi
(overly protective);
jarang memberikan
kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan; jarang
memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil inisiatif;
jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan
daya kreasi dan fantasinya; dan sering bersikap maha tahu.
Tipe Karismatik.
Hingga sekarang ini para ahli belum berhasil menemukan
sebab-sebab-sebab mengapa seseorang pemimpin memiliki karisma.
Umumnya diketahui bahwa pemimpin yang demikian mempunyai daya tarik
yang amat besar dan karenanya pada umumnya mempunyai pengikut yang
jumlahnya yang sangat besar, meskipun para pengikut itu sering pula
tidak dapat menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut pemimpin itu.
Karena kurangnya pengetahuan tentang sebab musabab seseorang menjadi
pemimpin yang karismatik,
maka sering hanya dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi
dengan kekuatan gaib (supra
natural powers).
Kekayaan, umur, kesehatan, profil tidak dapat dipergunakan sebagai
kriteria untuk karisma. Gandhi bukanlah seorang yang kaya, Iskandar
Zulkarnain bukanlah seorang yang fisik sehat, John F Kennedy adalah
seorang pemimpin yang memiliki karisma meskipun umurnya masih muda
pada waktu terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat. Mengenai
profil, Gandhi tidak dapat digolongkan sebagai orang yang ‘ganteng”.
Tipe
Demokratis.
Pengetahuan tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa tipe
pemimpin yang demokratislah yang paling tepat untuk organisasi
modern. Hal ini terjadi karena tipe kepemimpinan ini memiliki
karakteristik sebagai berikut : dalam proses penggerakan bawahan
selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu adalah makhluk
yang termulia di dunia; selalu berusaha mensinkronisasikan
kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan
pribadi dari pada bawahannya; senang menerima saran, pendapat, dan
bahkan kritik dari bawahannya; selalu berusaha mengutamakan kerjasama
dan teamwork
dalam
usaha mencapai tujuan; ikhlas memberikan kebebasan yang
seluas-luasnya kepada bawahannya untuk berbuat kesalahan yang
kemudian diperbaiki agar bawahan itu tidak lagi berbuat kesalahan
yang sama, tetapi lebih berani untuk berbuat kesalahan yang lain;
selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya;
dan berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai
pemimpin.
Secara implisit
tergambar bahwa untuk menjadi pemimpin tipe demokratis bukanlah hal
yang mudah. Namun, karena pemimpin yang demikian adalah yang paling
ideal, alangkah baiknya jika semua pemimpin berusaha menjadi seorang
pemimpin yang demokratis.
- Model Kepemimpinan.
Model
kepemimpinan
didasarkan pada pendekatan yang mengacu kepada hakikat kepemimpinan
yang berlandaskan pada perilaku dan keterampilan seseorang yang
berbaur kemudian membentuk gaya kepemimpinan yang berbeda. Beberapa
model yang menganut pendekatan ini, di antaranya adalah sebagai
berikut.
Model
Kepemimpinan Kontinum
(Otokratis-Demokratis). Tannenbaun dan Schmidt dalam Hersey dan
Blanchard (1994) berpendapat bahwa pemimpin mempengaruhi pengikutnya
melalui beberapa cara, yaitu dari cara yang menonjolkan sisi ekstrim
yang disebut dengan perilaku otokratis sampai dengan cara yang
menonjolkan sisi ekstrim lainnya yang disebut dengan perilaku
demokratis. Perilaku otokratis, pada umumnya dinilai bersifat
negatif, di mana sumber kuasa atau wewenang berasal dari adanya
pengaruh pimpinan. Jadi otoritas berada di tangan pemimpin, karena
pemusatan kekuatan dan pengambilan keputusan ada pada dirinya serta
memegang tanggung jawab penuh, sedangkan bawahannya dipengaruhi
melalui ancaman dan hukuman. Selain bersifat negatif, gaya
kepemimpinan ini mempunyai manfaat antara lain, pengambilan keputusan
cepat, dapat memberikan kepuasan pada pimpinan serta memberikan rasa
aman dan keteraturan bagi bawahan. Selain
itu, orientasi utama dari perilaku otokratis ini adalah pada tugas.
Perilaku
demokratis; perilaku kepemimpinan ini memperoleh sumber kuasa atau
wewenang yang berawal dari bawahan. Hal ini terjadi jika bawahan
dimotivasi dengan tepat dan pimpinan dalam melaksanakan
kepemimpinannya berusaha mengutamakan kerjasama dan team
work untuk
mencapai tujuan, di mana si pemimpin senang menerima saran, pendapat
dan bahkan kritik dari bawahannya. Kebijakan di sini terbuka bagi
diskusi dan keputusan kelompok.
Namun,
kenyataannya perilaku kepemimpinan ini tidak mengacu pada dua model
perilaku kepemimpinan yang ekstrim di atas, melainkan memiliki
kecenderungan yang terdapat di antara dua sisi ekstrim tersebut.
Tannenbaun dan Schmidt dalam Hersey dan Blanchard (1994)
mengelompokkannya menjadi tujuh kecenderungan perilaku kepemimpinan.
Ketujuh perilaku inipun tidak mutlak melainkan akan memiliki
kecenderungan perilaku kepemimpinan mengikuti suatu garis kontinum
dari sisi otokratis yang berorientasi pada tugas sampai dengan sisi
demokratis yang berorientasi pada hubungan.
Model
Kepemimpinan Ohio.
Dalam penelitiannya, Universitas Ohio melahirkan teori dua faktor
tentang gaya kepemimpinan yaitu struktur
inisiasi
dan konsiderasi
(Hersey
dan Blanchard, 1992). Struktur inisiasi mengacu kepada perilaku
pemimpin dalam menggambarkan hubungan antara dirinya dengan anggota
kelompok kerja dalam upaya membentuk pola organisasi, saluran
komunikasi, dan metode atau prosedur yang ditetapkan dengan baik.
Adapun konsiderasi mengacu kepada perilaku yang menunjukkan
persahabatan, kepercayaan timbal-balik, rasa hormat dan kehangatan
dalam hubungan antara pemimpin dengan anggota stafnya (bawahan).
Adapun contoh dari faktor konsiderasi misalnya pemimpin menyediakan
waktu untuk menyimak anggota kelompok, pemimpin mau mengadakan
perubahan, dan pemimpin bersikap bersahabat dan dapat didekati.
Sedangkan contoh untuk faktor struktur inisiasi misalnya pemimpin
menugaskan tugas tertentu kepada anggota kelompok, pemimpin meminta
anggota kelompok mematuhi tata tertib dan peraturan standar, dan
pemimpin memberitahu anggota kelompok tentang hal-hal yang diharapkan
dari mereka. Kedua faktor dalam model kepemimpinan Ohio tersebut
dalam implementasinya mengacu pada empat kuadran, yaitu : (a) model
kepemimpinan yang rendah konsiderasi maupun struktur inisiasinya, (b)
model kepemimpinan yang tinggi konsiderasi maupun struktur
inisiasinya, (c) model kepemimpinan yang tinggi konsiderasinya tetapi
rendah struktur inisiasinya, dan (d) model kepemimpinan yang rendah
konsiderasinya tetapi tinggi struktur inisiasinya.
Model
Kepemimpinan Likert
(Likert’s
Management System).
Likert dalam Stoner (1978) menyatakan bahwa dalam model kepemimpinan
dapat dikelompokkan dalam empat sistem, yaitu sistem otoriter,
otoriter yang bijaksana, konsultatif, dan partisipatif. Penjelasan
dari keempat sistem tersebut adalah seperti yang disajikan pada
bagian berikut ini.
Sistem Otoriter
(Sangat Otokratis). Dalam sistem ini, pimpinan menentukan semua
keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan, dan memerintahkan semua
bawahan untuk menjalankannya. Untuk itu, pemimpin juga menentukan
standar pekerjaan yang harus dijalankan oleh bawahan. Dalam
menjalankan pekerjaannya, pimpinan cenderung menerapkan ancaman dan
hukuman. Oleh karena itu, hubungan antara pimpinan dan bawahan dalam
sistem adalah saling curiga satu dengan lainnya.
Sistem Otoriter
Bijak (Otokratis Paternalistik). Perbedaan dengan sistem sebelumnya
adalah terletak kepada adanya fleksibilitas pimpinan dalam menetapkan
standar yang ditandai dengan meminta pendapat kepada bawahan. Selain
itu, pimpinan dalam sistem ini juga sering memberikan pujian dan
bahkan hadiah ketika bawahan berhasil bekerja dengan baik. Namun
demikian, pada sistem inipun, sikap pemimpin yang selalu memerintah
tetap dominan.
Sistem Konsultatif.
Kondisi lingkungan kerja pada sistem ini dicirikan adanya pola
komunikasi dua arah antara pemimpin dan bawahan. Pemimpin dalam
menerapkan kepemimpinannya cenderung lebih bersifat menudukung.
Selain itu sistem kepemimpinan ini juga tergambar pada pola penetapan
target atau sasaran organisasi yang cenderung bersifat konsultatif
dan memungkinkan diberikannya wewenang pada bawahan pada tingkatan
tertentu.
Sistem Partisipatif.
Pada sistem ini, pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang lebih
menekankan pada kerja kelompok sampai di tingkat bawah. Untuk
mewujudkan hal tersebut, pemimpin biasanya menunjukkan keterbukaan
dan memberikan kepercayaan yang tinggi pada bawahan. Sehingga dalam
proses pengambilan keputusan dan penentuan target pemimpin selalu
melibatkan bawahan. Dalam sistem inipun, pola komunikasi yang terjadi
adalah pola dua arah dengan memberikan kebebasan kepada bawahan untuk
mengungkapkan seluruh ide ataupun permasalahannya yang terkait dengan
pelaksanaan pekerjaan.
Dengan demikian,
model kepemimpinan yang disampaikan oleh Likert ini pada dasarnya
merupakan pengembangan dari model-model yang dikembangkan oleh
Universitas Ohio, yaitu dari sudut pandang struktur inisasi dan
konsiderasi.
Model
Kepemimpinan
Managerial
Grid.
Jika
dalam model Ohio, kepemimpinan ditinjau dari sisi struktur inisiasi
dan konsideransinya, maka dalam model manajerial
grid
yang disampaikan oleh Blake dan Mouton dalam Robbins (1996)
memperkenalkan model kepemimpinan yang ditinjau dari perhatiannya
terhadap tugas dan perhatian pada orang. Kedua sisi tinjauan model
kepemimpinan ini kemudian diformulasikan dalam tingkatan-tingkatan,
yaitu antara 0 sampai dengan 9. Dalam pemikiran model managerial
grid
adalah seorang pemimpin selain harus lebih memikirkan mengenai
tugas-tugas yang akan dicapainya juga dituntut untuk memiliki
orientasi yang baik terhadap hubungan kerja dengan manusia sebagai
bawahannya. Artinya bahwa seorang pemimpin tidak dapat hanya
memikirkan pencapaian tugas saja tanpa memperhitungkan faktor
hubungan dengan bawahannya, sehingga seorang pemimpin dalam mengambil
suatu sikap terhadap tugas, kebijakan-kebijakan yang harus diambil,
proses dan prosedur penyelesaian tugas, maka saat itu juga pemimpin
harus memperhatikan pola hubungan dengan staf atau bawahannya secara
baik. Menurut Blake dan Mouton ini, kepemimpinan dapat dikelompokkan
menjadi empat kecenderungan yang ekstrim dan satu kecenderungan yang
terletak di tengah-tengah keempat gaya ekstrim tersebut.
Grid
1.1 disebut
Impoverished
leadership (Model
Kepemimpinan yang Tandus), dalam kepemimpinan ini si pemimpin selalu
menghidar dari segala bentuk tanggung jawab dan perhatian terhadap
bawahannya.
Grid
9.9 disebut Team
leadership (Model
Kepemimpinan Tim), pimpinan menaruh perhatian besar terhadap hasil
maupun hubungan kerja, sehingga mendorong bawahan untuk berfikir dan
bekerja (bertugas) serta terciptanya hubungan yang serasi antara
pimpinan dan bawahan.
Grid
1.9 disebut Country
Club leadership (Model
Kepemimpinan Perkumpulan), pimpinan lebih mementingkan hubungan kerja
atau kepentingan bawahan, sehingga hasil/tugas kurang diperhatikan.
Grid
9.1 disebut Task
leadership (Model
Kepemimpinan Tugas), kepemimpinan ini bersifat otoriter karena sangat
mementingkan tugas/hasil dan bawahan dianggap tidak penting karena
sewaktu-waktu dapat diganti.
Grid
5.5
disebut
Middle
of the road (Model
Kepemimpinan Jalan Tengah), di mana si pemimpin cukup memperhatikan
dan mempertahankan serta menyeimbangkan antara moral bawahan dengan
keharusan penyelesaian pekerjaan pada tingkat yang memuaskan, di mana
hubungan antara pimpinan dan bawahan bersifat kebapakan.
Berdasakan uraian di
atas, pada dasarnya model kepemimpinan manajerial grid ini relatif
lebih rinci dalam menggambarkan kecenderungan kepemimpinan. Namun
demikian, tidak dapat dipungkiri bahwasanya model ini merupakan
pandangan yang berawal dari pemikiran yang relatif sama dengan model
sebelumnya, yaitu seberapa otokratis dan demokratisnya kepemimpinan
dari sudut pandang perhatiannya pada orang dan tugas.
Model
Kepemimpinan Kontingensi. Model
kepemimpinan kontingensi dikembang-kan oleh Fielder. Fielder dalam
Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1995) berpendapat bahwa gaya
kepemimpinan yang paling sesuai bagi sebuah organisasi bergantung
pada situasi di mana pemimpin bekerja. Menurut model kepemimpinan
ini, terdapat tiga variabel utama yang cenderung menentukan apakah
situasi menguntukang bagi pemimpin atau tidak. Ketiga variabel utama
tersebut adalah : hubungan pribadi pemimpin dengan para anggota
kelompok (hubungan pemimpin-anggota); kadar struktur tugas yang
ditugaskan kepada kelompok untuk dilaksanakan (struktur tugas); dan
kekuasaan dan kewenangan posisi yang dimiliki (kuasa posisi).
Berdasar ketiga
variabel utama tersebut, Fiedler menyimpulkan bahwa : para pemimpin
yang berorientasi pada tugas cenderung berprestasi terbaik dalam
situasi kelompok yang sangat menguntungkan maupun tidak menguntungkan
sekalipun; para pemimpin yang berorientasi pada hubungan cenderung
berprestasi terbaik dalam situasi-situasi yang cukup menguntungkan.
Dari
kesimpulan model kepemimpinan tersebut, pendapat Fiedler cenderung
kembali pada konsep kontinum perilaku pemimpin. Namun perbedaannya di
sini adalah bahwa situasi yang cenderung menguntungkan dan yang
cenderung tidak menguntungkan dipisahkan dalam dua kontinum yang
berbeda.
Model
Kepemimpinan Tiga Dimensi.
Model
kepemimpinan ini dikembangkan oleh Redin. Model tiga dimensi ini,
pada dasarnya merupakan pengembangan dari model yang dikembangkan
oleh Universitas Ohio dan model Managerial Grid. Perbedaan utama dari
dua model ini adalah adanya penambahan satu dimensi pada model tiga
dimensi, yaitu dimensi efektivitas, sedangkan dua dimensi lainnya
yaitu dimensi perilaku hubungan dan dimensi perilaku tugas tetap
sama.
Intisari
dari model ini terletak pada pemikiran bahwa kepemimpinan dengan
kombinasi perilaku hubungan dan perilaku tugas dapat saja sama, namun
hal tersebut tidak menjamin memiliki efektivitas yang sama pula. Hal
ini terjadi karena perbedaan kondisi lingkungan yang terjadi dan
dihadapi oleh sosok pemimpin dengan kombinasi perilaku hubungan dan
tugas yang sama tersebut memiliki perbedaan. Secara umum, dimensi
efektivitas lingkungan terdiri dari dua bagian, yaitu dimensi
lingkungan yang tidak efektif dan efektif. Masing-masing bagian
dimensi lingkungan ini memiliki skala yang sama 1 sampai dengan 4,
dimana untuk lingkungan tidak efektif skalanya bertanda negatif dan
untuk lingkungan yang efektif skalanya bertanda positif.
- Teori Kepemimpinan.
Salah satu prestasi
yang cukup menonjol dari sosiologi kepemimpinan modern adalah
perkembangan dari teori peran (role
theory). Dikemukakan,
setiap anggota suatu masyarakat menempati status posisi tertentu,
demikian juga halnya dengan individu diharapkan memainkan peran
tertentu. Dengan demikian kepemimpinan dapat dipandang sebagai suatu
aspek dalam diferensiasi peran. Ini berarti bahwa kepemimpinan dapat
dikonsepsikan sebagai suatu interaksi antara individu dengan anggota
kelompoknya.
Menurut kaidah, para
pemimpin atau manajer adalah manusia-manusia super lebih daripada
yang lain, kuat, gigih, dan tahu segala sesuatu (White, Hudgson &
Crainer, 1997). Para pemimpin juga merupakan manusia-manusia yang
jumlahnya sedikit, namun perannya dalam organisasi merupakan penentu
keberhasilan dan suksesnya tujuan yang hendak dicapai. Berangkat
dari ide-ide pemikiran, visi para pemimpin ditentukan arah perjalanan
suatu organisasi. Walaupun bukan satu-satunya ukuran keberhasilan
dari tingkat kinerja organisasi, akan tetapi kenyataan membuktikan
tanpa kehadiran pemimpin, suatu organisasi akan bersifat statis dan
cenderung berjalan tanpa arah.
Dalam sejarah
peradaban manusia, dikonstatir gerak hidup dan dinamika organisasi
sedikit banyak tergantung pada sekelompok kecil manusia penyelenggara
organisasi. Bahkan dapat dikatakan kemajuan umat manusia datangnya
dari sejumlah kecil orang-orang istimewa yang tampil kedepan.
Orang-orang ini adalah perintis, pelopor, ahli-ahli pikir, pencipta
dan ahli organisasi. Sekelompok orang-orang istimewa inilah yang
disebut pemimpin. Oleh karenanya kepemimpinan seorang merupakan kunci
dari manajemen. Para pemimpin dalam menjalankan tugasnya tidak hanya
bertanggungjawab kepada atasannya, pemilik, dan tercapainya tujuan
organisasi, mereka juga bertanggungjawab terhadap masalah-masalah
internal organisasi termasuk didalamnya tanggungjawab terhadap
pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia. Secara eksternal,
para pemimpin memiliki tanggungjawab sosial kemasyarakatan atau
akuntabilitas publik.
Dari
sisi teori kepemimpinan, pada dasarnya teori-teori kepemimpinan
mencoba menerangkan dua hal yaitu, faktor-faktor yang terlibat dalam
pemunculan kepemimpinan dan sifat dasar dari kepemimpinan. Penelitian
tentang dua masalah ini lebih memuaskan daripada teorinya itu
sendiri. Namun bagaimanapun teori-teori kepemimpinan cukup menarik,
karena teori banyak membantu dalam mendefinisikan dan menentukan
masalah-masalah penelitian. Dari penelusuran literatur tentang
kepemimpinan, teori kepemimpinn
banyak dipengaruhi oleh penelitian Galton
(1879)
tentang latar belakang dari orang-orang terkemuka yang mencoba
menerangkan kepemimpinan berdasarkan warisan. Beberapa penelitian
lanjutan, mengemukakan individu-individu dalam setiap masyarakat
memiliki tingkatan yang berbeda dalam inteligensi, energi, dan
kekuatan moral serta mereka selalu dipimpin oleh individu yang
benar-benar superior.
Perkembangan
selanjutnya, beberapa ahli teori mengembangkan pandangan kemunculan
pemimpin besar adalah hasil dari waktu, tempat dan situasi sesaat.
Dua hipotesis yang dikembangkan tentang kepemimpinan, yaitu ; (1)
kualitas pemimpin dan kepemimpinan yang tergantung kepada situasi
kelompok, dan (2), kualitas individu dalam mengatasi situasi sesaat
merupakan hasil kepemimpinan terdahulu yang berhasil dalam mengatasi
situasi yang sama (Hocking & Boggardus, 1994).
Dua
teori yaitu Teori
Orang-Orang Terkemuka
dan Teori
Situasional,
berusaha menerangkan kepemimpinan sebagai efek dari kekuatan tunggal.
Efek
interaktif antara faktor individu dengan faktor situasi tampaknya
kurang mendapat perhatian. Untuk itu, penelitian tentang kepemimpinan
harus juga termasuk ; (1) sifat-sifat efektif, intelektual dan
tindakan individu, dan (2) kondisi khusus individu didalam
pelaksanaannya. Pendapat lain mengemukakan, untuk mengerti
kepemimpinan perhatian harus diarahkan kepada (1) sifat dan motif
pemimpin sebagai manusia biasa, (2) membayangkan bahwa terdapat
sekelompok orang yang dia pimpin dan motifnya mengikuti dia, (3)
penampilan peran harus dimainkan sebagai pemimpin, dan (4) kaitan
kelembagaan melibatkan dia dan pengikutnya (Hocking & Boggardus,
1994).
Beberapa
pendapat tersebut, apabila diperhatikan dapat dikategorikan sebagai
teori kepemimpinan dengan sudut pandang "Personal-Situasional".
Hal ini disebabkan, pandangannya tidak hanya pada masalah situasi
yang ada, tetapi juga dilihat interaksi antar individu maupun antar
pimpinan dengan kelompoknya. Teori kepemimpinan yang dikembangkan
mengikuti tiga teori diatas, adalah Teori
Interaksi Harapan.
Teori ini mengembangkan tentang peran kepemimpinan dengan menggunakan
tiga variabel dasar yaitu; tindakan, interaksi, dan sentimen.
Asumsinya, bahwa peningkatan frekuensi interaksi dan partisipasi
sangat berkaitan dengan peningkatan sentimen atau perasaan senang dan
kejelasan dari norma kelompok. Semakin tinggi kedudukan individu
dalam kelompok, maka aktivitasnya semakin sesuai dengan norma
kelompok, interaksinya semakin meluas, dan banyak anggota kelompok
yang berhasil diajak berinteraksi.
Pada
tahun 1957 Stogdill
mengembangkan Teori
Harapan-Reinforcement
untuk mencapai peran. Dikemukakan, interaksi antar anggota dalam
pelaksanaan tugas akan lebih menguatkan harapan untuk tetap
berinteraksi. Jadi, peran individu ditentukan oleh harapan bersama
yang dikaitkan dengan penampilan dan interaksi yang dilakukan.
Kemudian dikemukakan, inti kepemimpinan dapat dilihat dari usaha
anggota untuk merubah motivasi anggota lain agar perilakunya ikut
berubah. Motivasi dirubah dengan melalui perubahan harapan tentang
hadiah dan hukuman. Perubahan tingkahlaku anggota kelompok yang
terjadi, dimaksudkan untuk mendapatkan hadiah atas kinerjanya. Dengan
demikian, nilai seorang pemimpin atau manajer tergantung dari
kemampuannya menciptakan harapan akan pujian atau hadiah.
Atas
dasar teori diatas, House
pada tahun 1970 mengembangkan Teori
Kepemimpinan yang Motivasional.
Fungsi motivasi menurut teori ini untuk meningkatkan asosiasi antara
cara-cara tertentu yang bernilai positif dalam mencapai tujuan dengan
tingkahlaku yang diharapkan dan meningkatkan penghargaan bawahan akan
pekerjaan yang mengarah pada tujuan. Pada tahun yang sama Fiedler
mengembangkan Teori
Kepemimpinan yang Efektif.
Dikemukakan, efektivitas pola tingkahlaku pemimpin tergantung dari
hasil yang ditentukan oleh situasi tertentu. Pemimpin yang memiliki
orientasi kerja cenderung lebih efektif dalam berbagai situasi.
Semakin
sosiabel interaksi kesesuaian pemimpin, tingkat efektivitas
kepemim-pinan makin tinggi.
Teori
kepemimpinan berikutnya adalah Teori
Humanistik
dengan para pelopor
Argryris, Blake dan Mouton, Rensis Likert, dan Douglas McGregor.
Teori ini secara umum berpendapat, secara alamiah manusia merupakan
"motivated
organism".
Organisasi memiliki struktur dan sistem kontrol tertentu. Fungsi dari
kepemimpinan adalah memodifikasi organisasi agar individu bebas untuk
merealisasikan potensi motivasinya didalam memenuhi kebutuhannya dan
pada waktu yang sama sejalan dengan arah tujuan kelompok. Apabila
dicermati, didalam Teori
Humanistik,
terdapat tiga variabel pokok, yaitu; (1), kepemimpinan yang sesuai
dan memperhatikan hati nurani anggota dengan segenap harapan,
kebutuhan, dan kemampuan-nya, (2), organisasi yang disusun dengan
baik agar tetap relevan dengan kepentingan anggota disamping
kepentingan organisasi secara keseluruhan, dan (3), interaksi yang
akrab dan harmonis antara pimpinan dengan anggota untuk menggalang
persatuan dan kesatuan serta hidup damai bersama-sama. Blanchard,
Zigarmi,
dan Drea
bahkan menyatakan, kepemimpinan bukanlah sesuatu yang Anda lakukan
terhadap orang lain, melainkan sesuatu yang Anda lakukan bersama
dengan orang lain (Blanchard & Zigarmi, 2001).
Teori
kepemimpinan lain, yang perlu dikemukakan adalah Teori
Perilaku Kepemimpinan.
Teori ini menekankan pada apa yang dilakukan oleh seorang pemimpin.
Dikemukakan, terdapat perilaku yang membedakan pemimpin dari yang
bukan pemimpin. Jika suatu penelitian berhasil menemukan perilaku
khas yang menunjukkan keberhasilan seorang pemimpin, maka
implikasinya ialah seseorang pada dasarnya dapat dididik dan dilatih
untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif. Teori ini sekaligus
menjawab pendapat, pemimpin itu ada bukan hanya dilahirkan untuk
menjadi pemimpin tetapi juga dapat muncul sebagai hasil dari suatu
proses belajar.
Selain
teori-teori kepemimpinan yang telah dikemukakan, dalam perkembangan
yang akhir-akhir ini mendapat perhatian para pakar maupun praktisi
adalah dua pola dasar interaksi antara pemimpin dan pengikut yaitu
pola
kepemimpinan
transformasional
dan kepemimpinan transaksional.
Kedua pola kepemimpinan tersebut, adalah berdasarkan pendapat seorang
ilmuwan di bidang politik yang bernama James
McGregor Burns (1978) dalam
bukunya yang berjudul “Leadership”.
Selanjutnya Bass
(1985)
meneliti dan mengkaji lebih dalam mengenai kedua pola kepemimpinan
dan kemudian mengumumkan secara resmi sebagai teori, lengkap dengan
model dan pengukurannya.
3. Kompetensi
Kepemimpinan
Suatu persyaratan
penting bagi efektivitas atau kesuksesan pemimpin (kepemimpinan) dan
manajer (manajemen) dalam mengemban peran, tugas, fungsi, atau pun
tanggung jawabnya masing-masing adalah kompetensi. Konsep mengenai
kompetensi untuk pertamakalinya dipopulerkan oleh Boyatzis (1982)
yang didefinisikan kompetensi sebagai “kemampuan yang dimiliki
seseorang yang nampak pada sikapnya yang sesuai dengan kebutuhan
kerja dalam parameter lingkungan organisasi dan memberikan hasil yang
diinginkan”. Secara historis perkembangan kompetensi dapat dilihat
dari beberapa definisi kompetensi terpilih dari waktu ke waktu yang
dikembangkan oleh Burgoyne (1988), Woodruffe (1990), Spencer dan
kawan-kawan (1990), Furnham (1990) dan Murphy (1993).
Menurut Rotwell,
kompetensi adalah an
area of knowledge or skill that is critical for production ke
outputs. Lebih lanjut
Rotwell menuliskan bahwa competencies
area internal capabilities that people brings to their job;
capabilities which may
be expressed in a broad, even infinite array of on the job behaviour.
Spencer (1993) berpendapat, kompetensi adalah “…
an undderlying characteristicof an individual that is causally
related to criterion referenced effective and/or superior performance
in ajob or situation”. Senada
dengan itu Zwell (2000) berpendapat “Competencies
can be defined as the enduring traits and characteristics that
determine performance. Examples of competencies are initiative,
influence, teamwork, innovation, and strategic thinking”.
Beberapa pandangan
di atas mengindikasikan bahwa kompetensi merupakan karakteristik atau
kepribadian (traits)
individual yang bersifat permanen yang dapat mempengaruhi kinerja
seseorang. Selain traits
dari Spencer dan Zwell
tersebut, terdapat karakteristik kompetensi lainnya, yatu berupa
motives, self koncept
(Spencer, 1993), knowledge,
dan skill (
Spencer, 1993; Rothwell and Kazanas, 1993). Menurut review
Asropi (2002),
berbagai kompetensi tersebut mengandung makna sebagai berikut :
Traits merunjuk
pada ciri bawaan yang bersifat fisik dan tanggapan yang konsisten
terhadap berbagai situasi atau informasi. Motives
adalah sesuatu yang
selalu dipikirkan atau diinginkan seseorang, yang dapat mengarahkan,
mendorong, atau menyebabkan orang melakukan suatu tindakan. Motivasi
dapat mengarahkan seseorang untuk menetapkan tindakan-tindakan yang
memastikan dirinya mencapai tujuan yang diharapkan (Amstrong, 1990).
Self concept
adalah sikap, nilai, atau citra yang dimiliki seseorang tentang
dirinya sendiri; yang memberikan keyakinan pada seseorang siapa
dirinya. Knowledge adalah informasi yang dimilki seseorang dalam
suatu bidang tertentu. Skill adalah kemampuan untuk melaksanakan
tugas tertentu, baik mental atau pun fisik.
Berbeda
dengan keempat karakteristik kompetensi lainnya yang bersifat
intention
dalam
diri individu, skill bersifat action.
Menurut Spencer (1993), skill menjelma sebagai perilaku yang di
dalamnya terdapat motives, traits, self concept, dan knowledge.
Dalam
pada itu, menurut
Spencer
(1993) dan Kazanas
(1993) terdapat kompetensi kepemimpinan secara umum yang dapat
berlaku atau dipilah menurut jenjang, fungsi, atau bidang, yaitu
kompetensi berupa : result
orientation, influence, initiative, flexibility, concern for quality,
technical expertise, analytical thinking, conceptual thinking, team
work, service orientation, interpersonal awareness, relationship
building, cross cultural sensitivity, strategic thinking,
entrepreneurial orientation, building organizational commitment, dan
empowering
others, develiping others. Kompetensi-kompetensi
tersebut pada umumnya merupakan kompetensi jabatan manajerial yang
diperlukan hampir dalam semua posisi manajerial.
Ke
18 kompetensi yang diidentifikasi Spencer
dan
Kazanas
tersebut dapat diturunkan ke dalam jenjang kepemimpinan berikut :
pimpinan puncak, pimpinan menengah, dan pimpinan pengendali operasi
teknis (supervisor).
Kompetensi pada
pimpinan puncak adalah result
(achievement) orientation, relationship building, initiative,
influence, strategic thinking, building organizational commitment,
entrepreneurial orientation, empowering others, developing others,
dan
felexibilty. Adapun
kompetensi pada
tingkat pimpinan menengah lebih berfokus pada influence,
result (achievement) orientation, team work, analitycal thinking,
initiative, empowering others, developing others, conceptual
thingking, relationship building, service orientation, interpersomal
awareness, cross cultural sensitivity, dan
technical expertise. Sedangkan
pada tingkatan supervisor kompetensi kepemimpinannya lebih befokus
pada technical
expertise, developing others, empowering others, interpersonal
understanding, service orientation, building organzational
commitment, concern for order, influence, felexibilty, relatiuonship
building, result (achievement) orientation, team work,
dan cross cultural
sensitivity.
Dalam hubungan ini
Kouzes
dan Posner 1995)
meyakini bahwa suatu kinerja yang memiliki kualitas unggul berupa
barang atau pun jasa, hanya dapat dihasilkan oleh para pemimpin yang
memiliki kualitas prima. Dikemukakan, kualitas kepemimpinan
manajerial adalah suatu cara hidup yang dihasilkan dari "mutu
pribadi total"
ditambah "kendali
mutu total"
ditambah "mutu
kepemimpinan".
Berdasarkan penelitiannya, ditemukan bahwa terdapat 5 (lima) praktek
mendasar pemimpin yang memiliki kualitas kepemimpinan unggul, yaitu;
(1) pemimpin yang menantang proses, (2) memberikan inspirasi wawasan
bersama, (3) memungkinkan orang lain dapat bertindak dan
berpartisipasi, (4) mampu menjadi penunjuk jalan, dan (5) memotivasi
bawahan.
Adapun ciri khas
manajer yang dikagumi sehingga para bawahan bersedia mengikuti
perilakunya adalah, apabila manajer memiliki sifat jujur, memandang
masa depan, memberikan inspirasi, dan memiliki kecakapan teknikal
maupun manajerial. Sedangkan Burwash
(1996) dalam hubungannya dengan kualitas kepemimpinan manajer
mengemukakan, kunci dari kualitas kepemimpinan yang unggul adalah
kepemimpinan yang memiliki paling tidak 8 sampai dengan 9 dari 25
kualitas kepemimpinan yang terbaik. Dinyatakan, pemimpin yang
berkualitas tidak puas dengan "status
quo" dan memiliki
keinginan untuk terus mengembangkan dirinya. Beberapa kriteria
kualitas kepemimpinan manajer yang baik antara lain, memiliki
komitmen organisasional yang kuat, visionary,
disiplin diri yang tinggi, tidak melakukan kesalahan yang sama,
antusias, berwawasan luas, kemampuan komunikasi yang tinggi,
manajemen waktu, mampu menangani setiap tekanan, mampu sebagai
pendidik atau guru bagi bawahannya, empati, berpikir positif,
memiliki dasar spiritual yang kuat, dan selalu siap melayani.
Dalam pada itu,
Warren Bennis
(1991) juga mengemukakan bahwa peran kepemimpinan adalah “empowering
the collective effort of the organization toward meaningful goals”
dengan indikator
keberhasilan sebagai berikut : People
feel important; Learning and competence are reinforced; People feel
they part of the organization; dan
Work is viewed as excisting, stimulating, and enjoyable. Sementara
itu, Soetjipto Wirosardjono (1993) menandai kualifikasi kepemimpinan
berikut, “kepemimpinan yang kita kehendaki adalah kepemimpinan yang
secara sejati memancarkan wibawa, karena memiliki komitmen,
kredibilitas, dan integritas”.
Sebelum itu, Bennis
bersama Burt Nanus
(1985) mengidentifikasi bentuk kompetensi kepemimpinan berupa “the
ability to manage”
dalam empat hal : attention
(= vision), meaning (= communication), trust (= emotional glue), and
self (= commitment, willingness to take risk). Kemudian
pada tahun 1997, keempat konsep tersebut diubah menjadi the
new rules of leradership berupa
(a) Provide direction and meaning, a sense of purpose; (b) Generate
and sustain trust, creating authentic relationships; (c) Display a
bias towards action, risk taking and curiosity; dan
(d) Are purveyors of hope, optimism and a psychological resilience
that expects success (lihat
Karol Kennedy, 1998; p.32).
Bagi Rossbeth
Moss Kanter (1994),
dalam menghadapi tantangan masa depan yang semakin terasa kompleks
dan akan berkembang semakin dinamik, diperlukan kompetensi
kepemimpinan berupa conception
yang tepat, competency
yang cukup, connection
yang luas, dan
confidence.
Tokoh lainnya adalah
Ken Shelton
(ed, 1997) mengidentikasi kompetensi dalam nuansa lain., menurut
hubungan pemimpin dan pengikut, dan jiwa kepemimpinan. Dalam hubungan
pemimpin dan pengikut, ia menekankan bagaimana keduanya sebaiknya
berinterkasi. Fenomena ini menurut Pace memerlukan kualitas
kepemimpinan yang tidak mementingkan diri sendiri. Selain
itu, menurut Carleff pemimpin dan pengikut merupak dua sisi dari
proses yang sama. Dalam hubungan jiwa kepemimpinan, sejumlah pengamat
memasuki wilayah “spiritual”. Rangkaian kualitas lain yang
mewarnainya antara lain adalah hati, jiwa, dan moral. Bardwick
menyatakan bahwa kepemimpinan bukanlah masalah intelektual atau
pengenalan, melainkan masalah emosional. Sedangkan Bell berpikiran
bahwa pembimbing yang benar tidak selamanya merupakan makhluk
rasional. Mereka seringkali adalah pencari nyala api.
Having a Good Flight
Top
10 Tips for Having a Good Flight
The
days of flying the glamorous skies seem to be gone forever. The seats
are smaller, the leg room is more cramped and the airlines are
charging extra for everything from luggage to snacks. But that
doesn't necessarily mean we have to resign ourselves to merely
enduring air travel. In fact, there are plenty of ways to improve the
experience of travel, despite federal safety regulations and snoring
seatmates.
In
this article, we'll run down 10 tips for having a good flight.
Remember, the primary goal of each of the items on this list is to
benefit you, the traveler, but these tips will also make the whole
in-flight experience a lot more comfortable and a bit less
crazy-making. There are even a few easy ways to keep yourself
healthy, rested and entertained during your flight, which always
makes for happier travel. Let's begin:
10.
Bring a Sleep Kit
Sleep
kits can be purchased in most airport gift shops these days, or you
can build one at home to keep with your luggage. The basics for a
sleep kit include a U-shaped travel pillow and an eye mask to block
out sunbeams bouncing off the clouds below. You'll also want to block
out as much sound as you can, and earplugs can definitely help with
this. If you've got the extra cash, noise-cancelling headphones can
make a world of difference, too. They can negate outside noise
(crying babies and aircraft engine sounds included) whether you're
playing music through them or not.
A
small blanket or large shawl is the final item you might want to
stash with your sleep kit. It's nearly impossible to grab some sleep
when you're shivering. Airlines used to give out blankets regularly,
but these days, it's often another item they can charge you extra
for. So if you've got a red-eye flight or perhaps you're crossing a
few time zones, it's best to bring your own sleep kit -- but keep it
light.
9.
Keep Your Carry-on Small and Light
Most
airlines these days are charging passengers for checked luggage,
regardless of weight. This means everyone is now trying to cram
clothes and gear for a two-week vacation into a carry-on and a purse
or a small backpack, both of which are usually heavier than the
person carrying them. Don't be fooled -- flight attendants are onto
passengers who try to bring too much stuff into the cabin, and
they'll make you check it, even as you try to board.
Simply
stick to the guidelines and you'll be golden. A small carry-on
suitcase that's light enough for you -- yes, you -- to lift up into
the overhead bin is fine. One additional bag, like a purse or a
laptop bag (but not both), is also allowed. It should fit under the
seat in front of you and leave enough room for your feet.
Not
only do these rules follow the official guidelines, but it will make
you far comfier on your flight if you don't have a huge bag crammed
in at your feet, a shopping bag tucked in by your hip, and a sore
shoulder from lifting your overstuffed carry-on into the overhead
bin.
8.
Check Your Carry-on at the Gate
This
one only works if your bag is already the approved carry-on size. If
you reach the gate with your luggage plus one bag and the flight is
very full, the attendants will often ask for volunteers to check
baggage to free up space in the overhead bins.
Take
this opportunity! They'll tag your bag, give you a receipt and your
bag will be checked through to your destination, even if you have to
change planes in the middle of your trip. You'll have just your purse
or laptop bag with you in the cabin, which has everything you need
anyway, like headphones and a book or a sleep kit.
You've
probably noticed that space is at a premium in airplanes these days.
We'll talk about how to get your gear into that space next.
7.
Check Recent Regulations Before you Leave
Airline
regulations change all the time in this post-Sept. 11 world. One day,
your bottle of travel shampoo is fine; the next, it's confiscated for
being over the size limit for carry-on liquids. Laptops used to be
fine in the seatback pocket, too, but no more. The rules have
changed, and now they need to be stowed under the seat or in the
overhead bin when not in use, just like everything else you carry-on
with you.
Save
yourself the headache of learning the rules too late by checking the
web site of the Transportation
Security Administration
and the Web site of the airline you'll be using to travel. The most
up-to-date regulations will be there. Make sure to share them with
your travel companions, too. It'll help keep hassles to a minimum.
6.
Pay for In-flight WiFi
Business
travelers and the constantly connected will be thrilled to learn that
many carriers now offer in-flight wireless internet -- for a fee, of
course. But for those whose time is money, it's worth it to stay
productive and in the loop while in the air.
The
price isn't prohibitively steep, especially if you can expense it.
Gogo Inflight Internet, to use one example of the service, charges
about $12 for one flight's worth of internet service. A monthly pass
for frequent travelers runs about $30. The connection isn't
annoyingly slow, and the ability to tweet from 30,000 feet (9.1
kilometers) above is priceless.
5.
Drink Water
The
air in the cabin isn't humidified, which leads to that
all-too-familiar parched feeling. Lips chap, nasal passages dry out,
skin feels papery and the likelihood of blood clots can even
increase. Sounds great, right?
But
the good news is that all these things can be mitigated by staying
hydrated -- simply drinking water. Start early, drinking as much
water in the airport gate area as you can hold comfortably for about
an hour. That's about how long it typically takes for the seatbelt
light to be switched off, allowing you to visit the restroom. Then
keep drinking water, about 8 ounces (0.2 liters) every hour or two,
while you're in the air. Don't try to substitute coffee, soda or a
tiny bottle of booze for water either. Caffeine and alcohol will
dehydrate you -- the opposite of what you're trying to achieve.
If
you're concerned about the waste of plastic water bottles or the
price of buying water in the airport, bring a reusable bottle from
home. You can't bring it through the security line full of water (or
anything other liquid, for that matter), but you can fill it up at a
drinking fountain or a bathroom faucet once you're at your gate.
4.
Bring Hand Sanitizer
It's
easy enough to be a vigilant hand-washer while you're still on the
ground, where soap and water are pretty easy to come by. The airplane
bathroom has both, too, so make good use of them.
But
sometimes, you're sitting in the window seat with a sandwich on your
tray and a rumbling stomach. Wait! Don't pick up that sandwich! Not
yet, anyway. First squirt a little alcohol-based hand sanitizer into
your palm and rub it around. Airplanes have lots of surfaces that
everyone touches, like arm rests, tray tables, overhead bin handles,
in-flight magazines, light switches -- the list goes on and on. A
simple preventative measure, like using hand sanitizer, can help keep
at least some of everyone else's germs out of your system.
3.
Bring Healthy Snacks
Save
yourself some cash, probably some heartburn and even some time on the
treadmill by packing your own healthy snacks rather than relying on
airport and airline food.
Simple,
cheap snacks can keep you healthy and prevent your blood sugar from
dipping too low during a long flight. Crunchy snacks like carrot
sticks, celery sticks and whole-wheat crackers are satisfying and
require a minimum of fuss to eat in your seat. Granola, nuts and
dried fruit are also great choices, but they often have more calories
than you might think, so check the labels and serving sizes when you
pack these items.
Sandwiches
can be good to bring along, too, but make sure to use ingredients
that will last the entire journey. Mayonnaise eaten at the end of a
cross-country flight is never a good idea. Just be sure that whatever
you bring is easy to eat, doesn't require refrigeration and doesn't
need utensils.
2.
Bring a Portable DVD Player
Savvy
parents know that kids get bored in the air, even if the flight isn't
a terribly long one. Portable DVD players can be found online and at
big-box electronics stores for as little as $100, and they're
definitely worth the price. You know that SpongeBob SquarePants DVD
your kid wants to watch over and over -- and over? Well, an airplane
is the perfect place to let him or her indulge. Just remember to
bring headphones for your little travel companion to keep fellow
passengers (and you, too) from having to hear that theme song for the
15th time.
Keeping
kids entertained and happy makes the flight better for everyone. The
last tip has the same effect, no matter what your age.
1.
Get in Your Seat and Power Down
When
you board the aircraft, find your seat, place your carry-on in the
overhead bin (if you didn't check it at the gate for free) and sit
down. Then turn off your cell phone, iPod, portable DVD player, or
whatever electronic device you have with you and wait patiently for
the announcement from the captain or the flight crew that it's safe
to switch your approved electronic devices back on once again. That
announcement is usually made just a few minutes after the plane is in
the air.
No
airplane can take off while people are standing or talking on the
phone. And no flight attendant is going to look very kindly upon you
when he's had to ask you for the fifth time to turn off your phone.
And while it's very considerate of you to offer to switch seats with
one half of a couple who are sitting apart, wait until the flight is
in the air and the seatbelt sign is off to play musical chairs.
Tensions
can run high for passengers and flight crew alike, thanks to new
regulations and the number of people packed into the cabin eager to
get moving. Do your part to get the plane off the ground and it'll be
a better flight for everyone on board.