Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia
Winataputra (2001: 131) memperhatikan perkembangan pemikiran tentang civic dan civic education, atas dasar kajiannya secara teoritik, Winataputra merumuskan pengertian pengertian “civics,” citizenship/civic education” sebagai berikut:
- “Civics is the study of government taught in the schools. It is an area of learning dealing with how democratic government has been and should be carried out, and how the citizen should carry out his duties and rights purposefully with full responsibility.”
- In the first sense, Civic Education is an area of learning, primarily intended to develop knowledge attitudes, and skills so the students become “good citizens, with learning experiences carefully selected and organized around the basic concepts of political science,
- In another sense, Civic Education is a by-product of variety of areas of learning undertaken in and out-of formal school sttings as well as a by-product of a complex network of human interactions in daily activities concerned with the development of civic responsibility.”
Disimpulkan berdasarkan pendapat Winataputra di atas mengenai definisi mengenai pendidikan kewarganegaraan bahwa pendidikan kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang berisikan tentang pemerintahan yang diajarkan di sekolah, dimana dalam keadaan pemerintahan yang demokratis tersebut, warga negara hendaknya melaksanakan hak dan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab.
Definisi pendidikan kewarganegaraan berikutnya menurut Winataputra, bahwa pendidikan kewarganegaraan juga berisikan tentang bagaimana mengembangkan sikap, keterampilan siswa untuk menjadi warga negara yang baik, dimana siswa bisa mendapatkannya melalui pengalaman belajar dan memiliki konsep-konsep dasar ilmu politik. Juga dalam pendidikan kewarganegaraan, siswa dapat berinteraksi melalui kehidupan sehari-hari untuk berkembang menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
Dalam hal ini Winataputra (2001: 131) melihat “civics” atau kewarganegaraan sebagai suatu studi tentang pemerintahan yang dilaksanakan di sekolah yang merupakan mata pelajaran tentang bagaimana pemerintahan demokrasi dilaksanakan dan dikembangkan, serta bagaimana warga negara seyogyanya melaksanakan hak dan kewajibannya secara sadar dan penuh rasa tanggung jawab. Sedangkan civic education/citizenship education merupakan program pembelajaran yang memiliki tujuan utama mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan sehingga siswa menjadi warga negara yang baik, melalui pengalaman belajar yang dipilih dan diorganisasikan atas dasar konsep-konsep ilmu politik. Dalam pengertian lainnya, “civic education” juga dinilai sebagai “nurturant effect” atau dampak pengiring dari berbagai mata pelajaran di dalam maupun di luar sekolah dan sebagai puncak pengiring dari interaksi antar manusia dalam kehidupan sehari-hari, yang berkenaan dengan pengembangan tanggung jawab warga negara. Dengan demikian civic education/citizenship education dilihat sebagai program pendidikan yang bersifat personal-pedagogis. Di dalam praktek, “civics” jelas merupakan konten utama dari “civic education”. Atau secara metaporis, “civics” dapat dianggap sebagai muatannya, sedangkan “civic education” sebagai wahana atau kendaraannya.
Komalasari dan Budimansyah (2008: 77) mengatakan bahwa, perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) tidak bisa diisolasi dari kecenderungan globalisasi yang berdampak pada kehidupan siswa. Globalisasi menuntut pendidikan kewarganegaraan mengembangkan civic competence yang meliputi pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan (civic skills), dan watak atau karakter kewarganegaraan (civic disposition) yang multidimensional. Pendidikan Kewarganegaraan pun mengemban misi Civic Education for Democration dan Value-Based Education. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan berorientasi pada konsep “contextualized multiple intelligence” yang membuka pandangan perlunya penanganan pembelajaran yang lebih kreatif, aktif-partisipatif, bermakna dan menyenangkan.
Sejalan dengan hal di atas Turner et al (1990: 6) mengemukakan mengenai pengertian dari pendidikan kewarganegaraan.
Civics comes from Latin word “civis.” The word means citizen. What is a citizen? In one sense of the word, a citizen is a member of a group living under certain laws. These laws are set and enforced by the people who govern, or rule, the group. Those who take part in ruling the group are, together, known as a government. A citizen, then, is a member of a group living under the rule of a government.
Berdasarkan pendapat di atas menurut Turner dkk mengenai definisi dari pendidikan kewarganegaraan bahwa pendidikan kewarganegaraan yang dimaksud mengarah kepada warga negara. Dimana setiap warga negara berada dibawah undang-undang atau peraturan tertentu, dimana peraturan tersebut dijalankan oleh kelompok tertentu dari bagian masyarakat itu sendiri. Kemudian warga negara juga bersama-sama di dalam kelompok hidup dibahwa kekuasaan pemerintah. Dan mengapa pendidikan pemerintah itu penting, baik warga negaranya peduli atau tidak akan hal ini, yang pasti pemerintah tetap akan mempengaruhi kehidupan warga negaranya setiap hari.
Di samping berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Tap MPR Nomor II/MPR/1993 tentang GBHN, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan agama di sekolah sesungguhnya telah memperoleh tempat yang layak dalam pembangunan karakter bangsa (nation character building). Jelaslah bahwa, agama juga memegang peranan penting dalam membentuk kepribadian peserta didik sebagai aset bangsa di masa depan.
Pendidikan kewarganegaraan sebagai salah satu mata pelajaran yang diberikan di sekolah, merupakan langkah yang sangat tepat untuk menangkal pola perilaku siswa sekarang ini yang dikategorikan destruktif. Sesuai dengan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 dalam pasal 37 ayat (1) tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa:
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan kejuruan dan muatan lokal.
Berdasarkan undang-undang di atas dapat dijelaskan bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan salah satu muatan wajib (compulsory subject) dalam kurikulum pendidikan dasar dan pendidikan menengah serta pendidikan tinggi. Yang sangat diperlukan untuk itu adalah adanya pemahaman dan komitmen bersama dari seluruh pemangku kepentingan (stake-holders), termasuk para pakar peneliti dan pengembang pendidikan, tentang perlunya perubahan visi, misi, dan strategi epistemologis dan pedagogis pendidikan kewarganegaraan dalam konteks pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Berkenaan dengan uraian di atas oleh karena itu diperlukan diskursus atau pembahasan secara akademis tentang konsepsi generik pendidikan kewarganegaraan dalam konteks sistemik fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pasal 3 Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, secara imperatif digariskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”. Idealisme pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menjadikan manusia sebagai warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab secara filosofis, sosio politis dan psikopedagogis, merupakan misi suci (mission sacre) dari pendidikan kewarganegaraan. Secara konseptual ilmiah, semua imperatif atau keharusan itu menuntut perlunya penghayatan baru dan pengembangan pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu konsep keilmuan, instrumentasi, dan praksis pendidikan yang utuh, yang pada gilirannya dapat menumbuhkan “civic intelligence” dan “civic participation” serta “civic responsibility” sebagai warga negara Indonesia dalam konteks watak dan peradaban bangsa Indonesia yang ber-Pancasila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar