PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI
KONTRIBUSI UNTUK MENGEMBANGKAN KARAKTERISTIK WARGA NEGARA
Cogan (1998: 13) stated that citizenship
education is: “...
the contribution of education to the development of those
characteristics of being a citizen’ and the ‘process of teaching
society’s rules, institutions, and organizations, and the role of
citizens in the well-functioning of society’. Position of the
teacher play an important role to process the content of the material
to be delivered to students in the class. The more quality content
both in terms of material and strategies used by teachers, the better
outcome for students. Similar with that, Banks (1997: 99) teachers,
as well as other educators and leaders, must play an important role
in educating students from diverse groups to become effective
citizens in a democratic society. To become thoughtful and active
citizens, students must experience democracy in classrooms and in
schools. Action speaks much more cogently than words. Consequently,
how teachers respond to marginalized students in classroom will to a
great extent determine wheter they will experience democracy or
oppression in classrooms and schools.
Membekali Peserta Didik dengan
Kecakapan Hidup
Pembelajaran kita selama ini berjalan dengan
verbalistik dan berorientasi semata-mata kepada penguasaan isi dari
mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Pengamatan terhadap
praktek pembelajaran sehari-hari menunjukkan bahwa pembelajaran
difokuskan agar siswa menguasai informasi yang terkandung dalam
materi pelajaran dan kemudian dievaluasi seberapa jauh penguasaan itu
dicapai oleh siswa. Seakan-akan pembelajaran bertujuan untuk
menguasai isi dari mata pelajaran tersebut. Bagaimana keterkaitan
materi ajar dengan kehidupan sehari-hari dan bagaimana materi
tersebut dapat digunakan untuk memecahkan problema kehidupan, kurang
mendapat perhatian. Pembelajaran seakan terlepas dari kehidupan
sehari-hari, oleh karena itu siswa tidak mengetahui manfaat apa yang
dipelajari, seringkali tidak tahu bagaimana menggunakan apa yang
telah dipelajari dalam kehidupan siswa.
Berbicara mengenai pendidikan, maka tidak
terlepas dari bagiannya yaitu kurikulum. Suryadi dan Budimansyah
(2004: 180) mengemukakan bahwa kurikulum sekolah dewasa ini,
cenderung menjadi satu-satunya ‘kambing hitam’ yang dituduh
sebagai faktor yang mengakibatkan rendahnya mutu pendidikan. Berbagai
program peningkatan mutu pendidikan telah dilakukan melalui pembakuan
kurikulum sekolah tahun 1975-1976, perubahan kurikulum 1984, dan
perubahan kurikulum 1994. Namun sampai saat ini masih terdapat
beberapa masalah yang masih menghambat upaya peningkatan mutu, yang
sebenarnya boleh jadi bukan disebabkan oleh masalah kurikulum sekolah
yang tertulis. Permasalahan-permasalahan itu adalah sebagai berikut:
- Proses pembelajaran yang masih terlalu berorientasi terhadap penguasaan teori dan hafalan dalam semua bidang studi menyebabkan pengembangan kemampuan belajar dan penalaran bagi para siswa sebagai inti dari keberhasilan pendidikan menjadi terhambat bahkan cenderung terabaikan.
- Kurikulum sekolah yang terlalu terstruktur dan sarat beban mengakibatkan proses pembelajaran di sekolah menjadi steril dengan keadaan dan perubahan lingkungan fisik dan sosial yang terjadi di lingkungan. Keadaan ini menjadikan proses belajar menjadi rutin, tidak menarik, dan tidak mampu memupuk kreatifitas baik untuk murid, guru maupun pengelola pendidikan di sekolah-sekolah untuk mengembangkan pendekatan pembelajaran yang inovatif.
- Proses pendidikan dan pembelajaran yang belum dikendalikan oleh suatu sistem penilaian yang terpercaya telah menyebabkan mutu pendidikan belum termonitor secara teratur dan objektif. Sulitnya melakukan perbandingan mutu pendidikan antarwilayah, antardaerah, antarwaktu, antarnegara, dan sebagainya menyebabkan hasil-hasil evaluasi pendidikan tidak bisa berfungsi sebagai sarana umpan balik bagi penyempurnaan pendidikan.
Bertolak dari masalah tersebut, kiranya perlu
dilakukan langkah-langkah agar pendidikan dapat membekali peserta
didik dengan kecakapan hidup, yaitu kemampuan dan keberanian
menghadapi problema kehidupan, kemudian secara kreatif menemukan
solusi serta mampu mengatasinya. Pendidikan yang dapat mensinergikan
berbagai mata pelajaran/mata diklat/mata-kuliah menjadi kecakapan
hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia berada, bekerja atau
tidak bekerja, apapun profesinya. Dengan bekal kecakapan hidup yang
baik, diharapkan para lulusan akan mampu memecahkan problema
kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan
bagi mereka yang tidak melanjutkan pendidikannya. Dan juga dapat
“…mendorong keterbukaan intelektual, …” (Jawwad, 2004: 48).
Pembelajaran merupakan bagian atau elemen yang
memiliki peran yang sangat dominan untuk mewujudkan kualitas baik
proses maupun lulusan (output)
pendidikan. Dan hal ini pun sangat tergantung pada guru dalam
melaksanakan proses belajar mengajar di kelas. Hal ini senada dengan
apa yang dikemukakan oleh Muchith di bawah ini:
Artinya pembelajaran sangat tergantung dari
kemampuan guru dalam melaksanakan atau mengemas proses pembelajaran.
Pembelajaran yang dilaksanakan secara baik dan tepat akan memberikan
kontribusi sangat dominan bagi siswa, sebaliknya pembelajaran yang
dilaksanakan dengan cara yang tidak baik akan menyebabkan potensi
siswa sulit dikembangkan atau diberdayakan. (Muchith, 2008: 1)
Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan
bahwa, posisi guru memegang peranan penting untuk mengolah isi materi
yang akan disampaikan kepada siswa di kelas. Semakin berkualitas baik
itu dari segi isi materi dan strategi yang digunakan oleh guru, maka
akan semakin baik hasilnya bagi siswa.
Senada dengan pendapat di atas, Banks (1997:
99) mengemukakan bahwa
Teachers, as well as other educators and
leaders, must play an important role in educating students from
diverse groups to become effective citizens in a democratic society.
To become thoughtful and active citizens, students must experience
democracy in classrooms and in schools. Action speaks much more
cogently than words. Consequently, how teachers respond to
marginalized students in classroom will to a great extent determine
wheter they will experience democracy or oppression in classrooms and
schools.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan
bahwa guru sebagai pendidik dan pemimpin di kelas, hendaknya mampu
memegang peranan penting dalam memberikan pengajaran kepada siswa
walaupun mereka datang dari latar belakang yang berbeda untuk
menjadikan mereka sebagai warga negara yang baik dan cerdas dalam
kehidupan masyarakat yang demokratis, dan untuk menjadikan mereka
sebagai siswa yang dapat berperan serta serta memiliki pemikiran
yang baik.
Globalisasi
Bangsa Indonesia
tidak dapat
melepaskan
diri
dari pengaruh global. Hal ini telah kita sadari bahwa dalam era
globalisasi, batas-batas wilayah negara bukan lagi hambatan
bagi proses hubungan atau interaksi antar umat manusia di segala
aspek kehidupan dan kepentingan.
Perubahan-perubahan
yang terjadi pada
lingkungan strategis global disebabkan berbagai alasan yang dipicu
oleh perkembangan dan kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan
teknologi maupun karena perubahan tata nilai dalam kehidupan
masyarakat global. Kenichi
Ohmae mengatakan
bahwa ‘dalam
perkembangan masyarakat global, batas-batas wilayah negara dalam
arti geografis dan politik relatif tetap. Namun kehidupan dalam
suatu negara tidak mungkin dapat membatasi kekuatan global yang
berupa informasi, inovasi, dan industri yang membentuk peradaban
modern’ (Budimansyah, 2009:2).
Sehubungan
dengan hal itu Branson,
menyatakan
bahwa: ‘Globalization
and its potential for advancing or inhibiting human rights and
democracy is more than a subject for debate among academics. This
powerful force is affecting the lives of individuals no matter where
in this earth they live’ (Winataputra
dan Budimansyah,
2007:1).
Globalisasi
dengan semua potensi yang memungkinkan berkembangnya atau
tertundanya proses demokrasi dan pemajuan hak azasi manusia, lebih
dari sekedar sebagai wacana akademik. Kekuatan yang lebih dahsyat
adalah bahwa globalisasi itu akan mempengaruhi kehidupan manusia di
mana pun ia hidup.
Senada dengan pendapat di atas, Kalidjernih (2009:118) menyatakan
bahwa:
Globalisasi dapat
mendorong terbentuknya suatu budaya
global baru
yang lebih luas. Hal itu dapat berupa
globalisasi budaya, dengan
ditandai oleh aliran tanda-tanda, simbol-simbol dan globalisasi
informasi diseluruh dunia dan reaksi terhadap aliran ini. Kekuatan
ini memungkinkan jangkauan informasi yang luas sehingga dapat
dikonsumsi lebih banyak orang. Ini
berarti bahwa masyarakat diberbagai
pelosok dunia bukan hanya
berbagi pengetahuan melainkan juga berbagi
masalah, seperti kejahatan lintas negara.
Kita telah
memasuki sebuah kenyataan bahwa ekspansi proses transnasional dan
fleksibilitas
pergerakan populasi, kapital dan teknologi membawa tantangan
terhadap kedaulatan dan eksistensi negara bangsa.
Di satu
pihak, kemajuan teknologi informasi dan pertukaran gagasan secara
lintas batas. Di lain pihak, gerakan individu semakin fleksibel
dan kurang loyal pada tempat. Kondisi ini lazim dijuluki sebagai
krisis batas-batas (crisis
boundaries)
(Kalidjernih, 2007). Sehubungan dengan pernyataan tersebut,
dalam era global ini mau tidak mau diperlukan suatu bentuk program
pendidikan yang mampu mengakomodasi segala kecenderungan yang
mungkin timbul sebagai akibat dari proses globalisasi.
Karena masalah utama yang
sangat dirasakan oleh bangsa Indonesia dalam menghadapi era global
ini adalah keterbatasan sumber daya manusia yang berkualitas untuk
berpartisipasi dalam penyelenggaraan pembangunan, baik dalam lingkup
nasional ataupun internasional.
Untuk mengatasi masalah tersebut Parker,
Ninomiya, dan Cogan mengarahkannya
dengan membentuk “…a
curriculum geared to the development of “word citizens” who are
capable of dealing with the crisis, yang
diartikan sebagagi sebuah
program pendidikan yang mengembangkan warga dunia yang mampu
mengelola krisis”
(Winataputra dan Budimansyah, 2007:1).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar