Pages - Menu

Rabu, 08 Mei 2013

Book Report Assignment: Hak Asasi Manusia (Dalam Hukum Nasional dan Internasional).



Book Report Assignment. Buku Hak Asasi Manusia (Dalam Hukum Nasional dan Internasional).

BAB I
PENDAHULUAN

Eksistensi hak asasi manusia (HAM) dan keadilan merupakan ramuan dasar dalam membangun komunitas bangsa manusia yang memiliki kohesi sosial yang kuat. Betapapun banyak ragam ras, etnis, agama, dan keyakinan politik, akan dapat hidup harmonis dalam suatu komunitas anak manusia, jika ada sikap penghargaan terhadap nilai-nilai HAM dan keadilan. Eksistensi HAM berbanding lurus dengan keberadaan bangsa manusia sesuai dengan jangkauan pemikiran dan perkembangan lingkungannya. Untuk itu, setiap kejahatan HAM harus diadili karena kejahatan HAM telah, sedang, dan akan selalu menjadi awan gelap dalam perjalanan peradaban bangsa.



Penegakan HAM dan keadilan merupakan tiang utama dari tegaknya bangunan peradaban bangsa, sehingga bagi negara yang tidak menegakkan HAM dan keadilan akan menanggung konsekuensi logis yaitu teralienasi dari komunitas bangsa beradab dunia Internasional. Lebih dari itu, biasanya harus menanggung sanksi politis atau ekonomis sesuai dengan respon negara yang menilainya. Hal ini menunjukkan bahwa nilai kemanusiaan bersifat universal, apalagi era globalisasi dewasa ini.
Oleh karena itu untuk menambah pengetahuan mengenai Hak Asasi Manusia (HAM), maka penulis tertarik untuk mengkaji buku Hak Asasi Manusia (Dalam Hukum Nasional dan Internasional), dalam bentuk laporan buku (book report). Berikut ini data lengkap buku:

Judul Buku : Hak Asasi Manusia (Dalam Hukum Nasional dan
Internasional)
Penulis : Prof. H. A.Mansyur Effendi, S.H., M.S.
Penerbit : Ghalia Indonesia
Tahun Terbit : 1993

BAB II
ISI BUKU

  1. Dimensi Hukum Alam dan Hak Asasi Manusia

Hukum alam, menurut Marcus G. Singer merupakan satu konsep dari prnsip-prinsip umum moral sistem keadilan, dan berlaku untuk seluruh umat manusia dan umumnya diakui/diyakini oleh umat manusia sendiri. Oleh karena itu, hukum alam berbeda dan mempunyai ukuran yang lain dari hukum positif yang berlak pada suatu masyarakat.
Persoalan antara justice/gerecht/adil, dengan truth/rectig/benar dalam hukum (law, recht) akan dibicarakan sepanjang masa, karena hal ini menyangkut hakikat kemanusiaan dan hakikat manusia sendiri dalam masyarakat. Seperti diketahui, Aristoteles menganggap hukum alam merupakan produk rasio manusia semata-mata demi terciptanya keadilan abadi, sehingga keadilan menurut Aristoteles mempunyai dua makna:
  1. Adil dalam undang-undang bersifat temporer/berubah-ubah sesuai dengan waktu dan tempat, sehingga sifatnya tidak tetap dan keadilannya pun tidak tetap.
  2. Adil menurut alam berlaku umum, sah dan abadi, sehingga terlepas dari kehendak manusia, kadang-kadang bertentangan dengan kehendak manusia sendiri.
Keadilan alam merupakan himpunan norma-norma hukum alam dan memuat prinsip-prinsip umum yang bersumber pada alam budi manusia. Warga Negara Yunani kuno telah memiliki hak yang disebut isogaria (hak bicara) dan isonomia (persamaan di muka hukum). Hukum alam (natural law) salah satu muatannya adanya hak-hak pemberian dari alam (natural rights), karena dalam hukum alam ada system keadilan yang berlaku universal. Adanya hak pada hukum alam memberikan indikasi dan buktibahwa hukum alam memihak kepada kemanusiaan. Lepas dari perdebatan hubungan antara hak, kewajiban dan tanggung jawab dalam diri hukum itu sendiri yang masih terus berlangsung. Satu hal yang pasti, hak mempunyai kedudukan/derajat utama dan pertama dalam konteks hukum dan hak asasi manusia.
Dalam rangka tercapainya keharmonisan hubungan anggota masyarakat, hubungan antara hak, kewajiban, dan tanggung jawab secara proporsional akan mewujudkan hubungan ideal antaranggota masyarakat. Selama ini, hak asasi manusia sering disebut hak kodrat,hak dasar manusia, hak mutlak, atau dalam bahasa Inggris disebut natural rights, human rights, dan fundamental rights. Sedangkan dalam bahasa Belanda dikenal Grond Rechten, Mensen Rechten, Rechten van den mens. Istilah-istilah tersebut menunjuk kepada pengakuan adanya hak manusia. Dalam kehidupan manusiaa bermasyarakat lebih lanjut bergandeng tangan dengan kewajiban asasi dan tanggung jawab asasi. Hak dalam dirinya ada suatu wewenang/tuntutan (claim), karena merupakan wewenangnya, sehingga tuntutan tersebut bagian integral dari hak itu sendiri. Artinya, manakala hak-hak kemanusiaan diinjak-injak, dikesampingkan, disepelekan, dilecehkan, dilanggar sampai dihapus atau dibuang akan timbul tuntutan pemulihannya.
  1. Hak Asasi Manusia Dengan Negara Hukum
Hak asasi manusia dengan negara hukum tidak dapat dipisahkan, justru berpikir secara hukum berkaitan dengan ide bagaimana keadilan dan ketertiban terwujud. Dengan demikian, pengakuan dan pengukuhan negara hukum salah satu tujuannya melindungi hak asasi manusia, berarti hak dan sekaligus kebebasan perseorangan diakui, dihormati dan dijunjung tinggi. Sebagaimana diketahui proses perjuangan menuju negara hukum cukup panjang, dari negara absolut pada zaman kuno, abad pertengahan (500-1500 M) yang diwarnai konflik berkepanjangan antara Paus dengan kerajaan. Sampai tumbuhnya nasionalisme lewat perdamaian West Phalia yang menandai zama baru di Eropa (1500-1789), sifat absolutisme beberapa negara-negara nasional tetap dominan. Hal ini menunjukkan perjuangan dan ide negara hukum, sebagaimana didambakan para filosof, belum berhasil. Masa-masa tersebut merupakan maa perang pena dan perang ide dari beberapa penulis abad pertengahan/abad baru.
Beberapa pemikir, pendukung negara hukum dan hak asasi, antara lain John Locke (1632-1704) yang mempertahankan teori atau aliran perjanjian masyarakat dalam rangka menghormati dan melindungi hak individu, ia berpendapat bahwa indvidu memiliki hak-hak kodrati/asali, antara lain hak hidup, hak kebebasan, hak milik. Dengan demikian, peranan/posisi raja dan pemerintah harus melindungi hak-hak tersebut dan tidak boleh melanggarnya.
Seterusnya Montesquieau (1689-1755), pendukung kebebasan warga negara mengemukakan pandangannya tentang pembagian pemerintah ke dalam tiga kekuasaan terpisah yaitu kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatif. Pemisahan tersebut yang dikenal dengan Trias Politica memisahkan mekanisme, jalan, hubungan antaraparat pemerintahan secara tegas akan menciptakan system pemerintahan yang baik. Hal ini dimungkinkan karena adanya badan lain yang mengawasi atau melakukan kontrol. Ketiga badan yang mempunyai kedudukan sama dengan wewenang yang berbeda, maka eksekutif sekedar menjalankan perintah undang-undang. Dengan demikian, kemungkinan bertindak sewenang-wenang (tyranik) menjadi kecil. Asas le separation des pouvoirs akan menjamin kebebasan politik warga negaranya.
  1. Upaya PBB Dalam Menegakkan Hak Asasi Manusia
Piagam PBB yang disepakati/ditandatangani oleh 50 negara di San Fransisco tanggal 26 Juni 1945 merupakan hasilperjuangan yang cukup panjang. Lewat pengalaman yang lalu, baik oleh para negarawan dunia yang terus menerus melakukan pertemuan/perundingan untuk memperkecil perbedaan-perbedaan yang ada, juga organisasi non pemerintah (swasta) misalnya League of Nations Union (London) dan Commission to study the Organization of Peace ikut member kontribusi pemikiran dalam rangka penyusunan Piagam PBB tersebut.
Masyarakat internasional menjadi dewasa karena pengalaman, khususnya setelah Perang Dunia I, sehingga Presiden Woodrow Wilson (Amerika Serikat) mengambil inisiatif mengorganisasikan pemikiran-pemikiran lama yang sudah ada untuk membantu terciptanya keamanan, perdamaian dan kesejahteraan manusia. Lewat Liga Bangsa- Bangsa (League of Nations) pemikiran tersebut dijalankan, namun Liga Bangsa-Bangsa itu sendiri gagal akibat “…the rise in popularity of anti democratic and nationalistic doctrines, and the unwillingness of peace-loving peoples to assume necessary responsibility for the maintenance of peace resulted in the disintegration and collapse of the League System” (Leland M. Goodrich, et al, 1946: 4).
Upaya untuk menciptakan perdamaian dunia diupayakan beberapa perjanjian/persetujuan diadakan. Beberapa perjanjian penting, antara lain perjanjian yang berisi gagasan menyusun satu organisasi internasional terus-menerus diadakan, terutama kesepakatan tentang Piagam PBB, bermula dari pertemuan Roosevelt dan Churchill di New Foundland Bank di atas kapal USS Agustav dan Price of Walles.
Dengan demikian, langkah-langkah anggota PBB untuk mengkaji Hak Asasi Manusia dalam arti memperkuat posisi Hak Asasi Manusia sangat penting, cara ini menghindari “konfrontasi” dengan kedaulatan yang dimiliki setiap negara merdeka di dalam mengatur dan menyelenggarakan tujuan bernegara. Proklamasi Hak Asasi Manusia PBB 1948 yang disetujui oleh anggota PBB dalam Sidang Umum tanggal 10 Desember 1948, hanya 8 negara abstain yaitu Uni Soviet, Ukraina, Byelorusia, Cheko-Slowakia, Polandia, Yugoslavia dan Saudi Arabia dan tidak ada satu negarapun yang menolak. Menurut Harry S. Truman “…we have good reason to expect the framing of an international life as one own bill of rights is part of one Constitution,” sedangkan Mrs. Eleonar Roosevelt (janda Presiden Amerika Serikat), menyatakan “… Declaration would be “the Magna Charta” of all mankind.”
Di dalam penyusunan deklarasi tersebut, yang sejak awal diwarnai adanya polarisasi pemikiran antara hak asasi manusia dengan kedaulatan, kebebasan individu dengan kepentingan umum, kreativitas dengan keamanan dan lain-lain, sehingga dibutuhkan kearifan pemerintah dan kesepakatan bersama. Timbul pertentangan/perdebatan lebih lanjut berkaitan pula dengan kepentingan ekonomi, sosial, keamanan, stabilitas negara dan lain-lain.
Kalau diperhatikan, mukadimah Piagam PBB beserta tujuannya, para penyusun Piagam PBB menitikberatkan kepada pendekatan sejarah, artinya berdasarkan pengalaman dua perang besar, cukup mengakibatkan kesengsaraan umat manusia tanpa batas, sehingga perlu dibentuk satu organisasi internasional yang menghormati HAM. Segi-segi keamanan dalam arti menempatkan HAM sebagai salah satu anugerah Tuhan tidak disentuh dan disinggung secara langsung. Hal ini merupakan satu kelemahan dilihat dari manusia beragama. Karena itu “celah” tersebut perlu diangkat, diisi dan ditempatkan dalam posisi yang tepat dengan harapan ada dampak positif dalam kehidupan bernegara antarbangsa, khususnya dalam rangka menegakkan HAM.
Pertentangan-pertentangan tersebut diselesaikan dengan penyusunan dua Kovenant, masing-masing mengatur tentang hak politik dan hak-hak sipil, kedua hak ekonomi, sosial, dan kultural. Ratifikasi diserahkan kepada masing-masing negara.
Dengan demikian,bicara tentang Hak Asasi Manusia menurut konsep dasar Hak Asasi Manusia PBB bertumpu pada “…don’t speak merely of biological needs when we talk about human rights. We mean we talk about conditions of life which allow us fully to develop and use our human qualities of intelegence and consciences and to satisfy our spiritual needs” (Un: OPI 1491-0533-June 1973). Karena itu pada garis besarnya aspek perlindungan individu, tidak saja aspek ekonomi, tetapi juga malah yang penting adalah aspek spiritual atau mental
  1. Perkembangan Hak Asasi Manusia di Kawasan Asia
Negara-negara Asia belum mempunyai Piagam hak Asasi Manusia, sebagaimana dimiliki negara-negara Eropa, Amerika maupun Afrika. Hal ini disebabkan karena, kuat dan mendalamnya tradisi dan agama-agama besar di kebanyakan negara-negara Asia. Pengaruh tradisi dan agama pada sebagian besar negara-negara Asia mewarnai pola pikir atau pola tindak dan sikap sebagian besar negara-negara di Asia.
Sejauh mana pengaruh tradisi dan agama tersebut terhadap Negara-negara di Asia, kiranya perlu diketahui beberapa ide yang ada atau hidup di antara Negara Asia, antara lain pandangan atau filsafat Konfusius tentang hubungan antarmanusia dapat digambarkan sebagai berikut:
The fundamental duties stressed in Confucionism involved close and unchangeable relations: (1) Mutual relation of the emperors and people, (2) Of father and children, (3) Of an elder and younger brother, (4) Of husband and wife, (5) Of friend and friend … it may be said that the relationship to be maintained between superior and interior are of a highly moral character in oriented society … (Masani Ito, 1985: 32)
Dari keadaan ini, spirit HAM tidak/kurang dirasakan. Dalam kenyataannya rakyat dapat menikmati kebebasannya, karena konsep HAM berbeda dengan konsep Barat “…oriental society ”freedom” after means the conditions of person who lived beyond the reach of state power … in cottage…”. (1985: 33).
  1. Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Internasional
Hukum internasional, sebagai satu bagian dari ilmu hokum pada umumnya, di dalam dirinya mengalir ide, pemikiran, cita-cita yang sama dengan hukum pada umumnya, sehingga hukum internasional pun mempunyai persamaan fungsi dengan hukum lainnya yang ada.
Kalau selama ini dikenal tujuan hukum dari beberapa ahli hukum berbeda-beda, misalnya Apeldorn menitikberatkan pada pengaturan tata pergaulan hidup yang damai. Subekti menekankan tujuan hukum segi kemakmuran dan kebahagiaan rakyat, Bentham menekankan aspek manfaat atau kebahagiaan sebanyak-banyaknya kepada anggota masyarakat, sedangkan paham (teori) etik menekankan segi-segi keadilan dan lain-lain.
Dari berbagai tujuan hukum tersebut, hukum internasional dapat menerimanya, artinya misis hukum pada umumnya menjadi misi hukum internasional pula, sehingga dituntut tidak hanya sekedar penyalur idealisme hukum dalam bentuk keadilan atau yang dianggap adil (law as a chanelling ideas), tetapi juga dapat merekayasa atau mengubah sikap anggota masyarakat (termasuk masyarakat internasional) sesuai dengan kesepakatan bersama yang mengandung nilai keadilan (yang dianggap adil), sehingga fungsi hukum as a tool of social engineering dapat terlaksana pula. Dengan demikian sesuai dengan posisinya, hukum internasional lebih banyak berorientasi kepada segi yang kedua dalam arti setelah melewati kesepakatan bersama (mutual consent) antarsubjek hukum bersama (A. Mansyur Effendi, 1993: 4).
Aspek kedua tersebut berkaitan atau berhubungan dengan fungsi hukum yang menempatkan hukum sebagai alat/sarana demi terciptanya tujuan hukum itu sendiri.

BAB III
PEMBAHASAN

Menurut Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Sementara, Undang-Undang No. 39/1999 tentang HAM menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Hak Asasi Manusia memiliki beberapa prinsip, yaitu:
  1. Universal
  2. Saling terkait
  3. Tidak terpisahkan
  4. Kesetaraan dan non-diskriminasi
  5. Hak Serta Kewajiban Negara
  6. Tidak dapat diambil oleh siapapun
Berbicara mengenai apa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM, maka akan terjadi banyak perdebatan. Masih dalam konteks ini, HAM perlu dipahami sebagai suatu hal yang terus berkembang seiring dengan jaman. Sejak dideklarasikannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1945 hingga saat ini, pemahaman tentang HAM terus berkembang seiring dengan terjadinya berbagai peristiwa di seluruh belahan dunia. Artinya pemaknaan pelanggaran HAM juga terus berkembang dan terus diperbaharaui untuk melindungi hak-hak asasi manusia seutuhnya.
Kemudian pengalaman praktek penerapan international human rights law (Hukum HAM Internasional) dapat memunculkan konsep-konsep hukum HAM. Pelanggaran HAM yang berat termasuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dikualifkasikan sebagai the most serious crimes (kejahatan yang paling serius) dan merupakan musuh bersama seluruh umat manusia (hostis humanis geneeris), sehingga menjadi kewajiban masyarakat internasional dan menuntut pertanggungjawaban negara untuk mengadili pelakunya (erga omnes obligation). Sehingga dapat tercapai keinginan tiaap-tiap individu untuk terjaminnya hak-hak asasi mereka.
Dalam menegakkan HAM dan keadilan merupakan tujuan yang utama dari tegaknya bangunan peradaban bangsa, sehingga bagi negara yang tidak menegakkan HAM dan keadilan, maka negara tersebut akan menanggung konsekuensi logis yaitu teralienasinya dari komunitas bangsa beradab dunia Internasional. Lebih dari itu, biasanya harus menanggung sanksi politis atau ekonomis sesuai dengan respon negara yang menilainya. Hal ini menunjukkan bahwa nilai kemanusiaan bersifat universal, apalagi era globalisasi dewasa ini. Hukum HAM Internasional yang disepakati dan dijunjung tinggi oleh komunitas negara- negara beradab yang menyangkut nilai-nilai HAM, misalnya undang-undang suatu negara tidak boleh bertentangan dengan larangan hukum Internasional yang melarang perbudakan. Untuk itu menjadi kewajiban moral dan tugas dan perguruan tinggi, LSM, ormas, media massa, dan sejenisnya untuk selalu berteriak dan mengontrol jalannya pemerintahan dan lembaga negara lainnya agar tidak melanggar HAM.
Kemudian dalam konteks tingkah laku hukum (legal behavior) maupun tingkah laku di ruang pengadilan (courtroom behavior) para penegak hukum akan selalu mengundang respon baik secara sosial, moral, maupun yuridis. Menjaga integritas Pengadilan HAM merupakan prasyarat untuk adanya respon positif terhadap penegakan HAM di masa mendatang. Eksistensi peran dan yurisdiksi pengadilan berkorelasi dengan perubahan dan perkembangan ideologi hukum yang hidup dalam masyarakat.
Masalah hak asasi manusia masih tetap diperbincangkan, mungkin karena masih banyak pelanggaran ataupun kepalsuan. Masalah hak asasi memang masalah kemanusiaan, berarti terkait dengan upaya, tidak saja pengakuan harkat kemanusiaan, tapi yang lebih penting sejauh mana harkat kemanusiaan yang dimiliki setiap orang dapat dinikmati oleh setiap individu tanpa melihat perbedaan.
Kenyataan menunjukkan, ada sekelompok individu yang masuk kelompok yang kurang beruntung (the disadvantage peoples), baik dilihat dari segi materi/ekonomi, posisi maupun kesempatan. Di samping itu, ada pula kelompok yang berada pada posisi mapan. Kelompok yang terakhir inilah yang memainkan kartu utama untuk mengangkat dan mengedepankan nasib kelompok pertama.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di depan, PBB telah menggariskan bahwa membicarakan hak asasi manusia berarti tidak saja mengangkat dan memenuhi kebutuhan biologi (papan, sandang, dan pangan) tetapi juga memenuhi kebutuhan dan kebebasan mental spiritualnya (memberi hak, kewajiban, dan tanggung jawab) kepada orang per orang secara merata dan adil.
Masalah hak asasi manusia banyak terkait dengan sistem pemerintahan suatu negara. Di sini dituntut kepedulian dan kepekaan sosial pemegang peran (para pemimpin) sebab masalah kemanusiaan dan hak asasi manusia banyak terkait dengan kesadaran/kemauan pimpinan negara dan kesadaran masyarakat. Dalam negara demokrasi, nilai pemimpin hakikatnya hanya mempunyai kelebihan satu derajat di atas rakyat yang berupa hak memerintah. Kelebihan ini yang kadang-kadang, malah sering disalahgunakan dan dimanfaatkan untuk dirinya sendiri.
Lewat alur pemikiran Donald Black yang dikaitakan dengan sistem hukum dan politik yang berlaku dalam suatu negara, terbukti peranan pimpinan cukup mewarnai dan dominan dalam rangka menegakkan hukum dan hak asasi manusia.

BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dari buku Hak Asasi Manusia (Dalam Hukum Nasional dan Internasional), berikut ini beberapa hal yang dapat disimpulkan:
  1. Kedepan, penanganan terhadap kasus pelanggaran HAM tentu harus lebih ditingkatkan, terutama oleh pemerintah Indonesia pada khususnya sebagai regulator dan sebagai pengelola negara, hal ini diperlukan untuk memberikan rasa keadilan kepada para korban secara khusus, dan kepada masayarakat Indonesia secara umum, hal ini juga diharapkan akan menjadi pelajaran berarti bagi semua masyarakat dan penyelenggara negara, untuk tidak mengulangi pelanggaran-pelanggaran tersebut diatas.
  2. Hak-hak asasi manusia adalah tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila, bahkan kelahiran Republik Indonesia adalah berdasarkan pengakuan Hak-hak Asasi Manusia itu, seperti dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945. Hak-hak asasi manusia adalah tidak terpisahkan (inhaerent) dengan dan merupakan perlindungan terhadap nilai martabat manusia (The dignity of the human person), sehingga oleh sebab itu harus dijunjung tinggi oleh Bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berfalsafah Pancasila. Kemudian perlindungan hak-hak asasi manusia secara materiil hanya dapat terlaksana di dalam negara hukum yang demokratis, dalam arti bahwa the Rule of Law ditegakkan dan hakim (pengadilan) pada taraf terakhir berwenang sebagai instansi tertinggi untuk mengatakan apa yang merupakan hokum, di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar