CURRICULUM
DEVELOPMENT IN THE POSTMODERN ERA
By:
Patrick Slattery
Penerbit:
Garland Publishing, Inc. New York & London 1995
(CHAPTER
REPORT), Disusun Oleh:
MUHAMMAD
MONA ADHA, S.Pd., M.Pd
DENY
SURYA PERMANA, S.Pd., M.Pd
BAB
I
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah usaha pendewasaan manusia, atau dengan bahasa lain
pendidikan adalah usaha untuk memanusiakan manusia yang sesuai dengan
nilai-nilai kemanusiaannya. Perkembangan pendidikan menyesuaikan
dengan perkembangan jaman, dimulai dari periode premodern, periode
modern, hingga sekarang ada sebagian orang yang berpendapat bahwa
kita telah memasuki periode postmodern.
Periode premodern ditandai dengan kehidupan nomaden dan belum adanya
struktur yang tetap terhadap segala sesuatu. Sedangkan periode modern
menurut Alex Inkeles dan David. H Smith (1974) ditandai dengan
ciri-ciri manusianya bersikap terbuka, siap menghadapi perubahan
sosial, berpandangan luas, dorongan dan rasa ingin tahu yang begitu
kuat, berorientasi pada masa sekarang, lebih percaya pada
perencanaan, lebih percaya pada usaha manusia dari pada pada nasib
atau takdir, menghargai keterampilan teknik sebagai dasar pemberi
imbalan, berwawasan maju dalam pendidikan dan pekerjaan, menghargai
kemuliaan orang lemah seperti anak-anak dan wanita, dan perlunya
produktivitas.
Periode posmodernisme menurut Bambang Sugiharto (2002: 52) ditandai
dengan beberapa kecenderungan sebagai berikut: (1) Kecenderungan
menganggap klaim tentang realitas (diri-subyek, sejarah, budaya,
Tuhan, dan lainnya) sebagai konstruksi semiotis, artifisial, dan
ideologis; (2) Skeptis terhadap segala bentuk keyakinan tentang
“substansi” objektif (meski tidak selalu menentang konsep tentang
universalitas); (3) Realitas dapat ditangkap dan dikelola dengan
banyak cara, serta dengan banyak sistem (pluralitas); (4) Paham
tentang “sistem” sendiri dengan konotasi otonom dan tertutupnya
cenderung dianggap kurang relevan, diganti dengan “jaringan”,
“relasionalitas” ataupun “proses” yang senantiasa
saling-silang dan bergerak dinamis; (5) Cara pandang yang melihat
segala sesuatu dari sudut oposisi biner pun (either-or) dianggap tak
lagi memadai. Segala unsur ikut saling menentukan dalam interaksi
jaringan dan proses (maka istilah ‘posmodernisme’ sendiri harus
dimengerti bukan sebagai oposisi, melainkan dalam relasinya dengan
‘modernisme’); (6) Melihat secara holistik berbagai kemampuan
lain selain rasionalitas, misalnya emosi, imajinasi, intuisi,
spiritualitas, dan lainnya; serta; (7) Menghargai segala hal lain
yang lebih luas, yang selama ini tidak dibahas atau bahkan
dipinggirkan oleh wacana modern, misalnya kaum perempuan, tradisi
lokal, agama.
Kurikulum yang merupakan bagian dari pendidikan mendapatkan pengaruh
dari ketiga periode tersebut. Kurikulum yang merupakan alat untuk
mencapai tujuan pendidikan di era postmodern lebih cenderung untuk
melihat ukuran keberhasilan pendidikan berdasar pada narasi yang
open-ended, karena eksistensi manusia tidak dapat direduksi
secara positif-kuantitatif, hitam atau putih (lulus atau tidak
lulus). Ini juga cenderung bersifat desentralistik yang memperhatikan
kenyataan-kenyataan lokal, termasuk di dalamnya nilai dan budaya
lokal-tradisional yang selama ini mengalami marjinalisasi.
Konkretnya, setiap daerah, bahkan setiap sekolah diberi keleluasaan
untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan keadaan daerah
masing-masing dan kemampuan peserta didik yang ada (Suparno: 55).
Dalam proses pembelajarannya, orientasi yang digunakan tidak lagi
teacher-centered learning atau student-centered learning,
tetapi lebih berupa teacher-student learning together. Ini
berarti tidak lagi menggunakan apa yang disebut oleh Paulo Freire
sebagai banking sistem. Kemudian, sama halnya dengan pendidikan yang
memiliki hubungan keharusan dengan filsafat, pengetahuan juga
memiliki hubungan keniscayaan dengan nilai, budaya, dan terus-menerus
mengalami perubahan.
Dalam buku Curriculum Development In The Postmodern Era karya Patrick
Slattery dikaji lebih mendalam tentang perkembangan kurikulum di era
postmodern. Untuk itu kelompok kami akan mengkaji bagian pertama dari
buku tersebut dalam bantuk chapter report. Part One
berbicara tentang postmodern curriculum development as a field of
study, yang terdiri dari empat bahasan yaitu bahasan pertama
introduction to curriculum development and postmodernity,
bahasan kedua historical perspective on curriculum as a field
study, bahasan ketiga the reconceptualization of curriculum
and instruction, dan bahasan keempat postmodern schooling,
curriculum, and the theological text.
B
A B II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengenalan Pengembangan Kurikulum dan Post Modern
Akhir-akhir
ini penggunaan kata postmodern begitu banyak digunakan, ada yang
disebut dengan dekonstruktif postmodern, konstruktif postmodern,
eliminatif post modern, kultural postmodern, seni postmodern,
masyarakat postmodern, teologi post modern, arsitektur postmodern dan
lain sebagainya. Postmodern terbagi atas sebelas
perspektif, dan hal ini dapat dipelajari dari buku ini, dan
postmodern ini pun seiring sejalan dengan masa industri modern dan
teknologi. Sementara gaya estetik dalam seni dan arsitektur antara
lain eklektik, kaleidoskop, ironi dan allegorikal. Kritik sosial juga
terjadi pada sistem ekonomi dan organisasi politik termasuk
liberalisme dan komunisme. Perkembangan filosofi menunjukkan adanya
pertentangan didalamnya dari metanaratif yang dipengaruhi oleh
dekonstruktif modern yang melibatkan kejujuran, bahasa, ilmu
pengetahuan dan kekuatan. Analisis kebudayaan memberikan kritik
terhadap efek negatif dari teknologi modern yang ada pada kehidupan
manusia dan lingkungannya saat dalam dunia global.
Paham eklektisisme radikal
(tidak dapat ditawar-tawar lagi), lalu menghasilkan dua pertentangan
konsep yang diterima dan juga kritikan pada waktu yang sama, karena
baik masa yang lalu dan masa yang akan datang kedua-duanya dihormati
dan tidak dihormati, baik keseluruhan dan keterbatasan, memiliki
konsep dan tidak memiliki konsep. Pergerakan usaha ini lebih
mengarah kepada filsafat materialis modern.
Cynics mengatakan bahwa
sebutan postmodern itu tidak relevan karena pengertian postmodern
sebenarnya sukar untuk dipahami dan saling bertentangan, dan
didefinisikan berbeda-beda oleh tiap-tiap penulis. Para filsuf modern
mendukung beberapa kritikan tadi, sama halnya dengan kembar Cartesian
dan pemikiran dualistik yaitu rasional dan penjelasan struktural atas
kenyataan, postmodern ekletisisme, inklusif dan sayangnya hal ini
tidak dapat dipahami. Bagaimanapun akhirnya menjadi jelas pada tahun
1990an. Kejelasan itu berkembang kearah ilmiah, filosofis, politik,
artistik, kepustakaan, dan lingkaran pendidikan yang saat ini menjadi
konsepsi baru secara global. Seperti yang digambarkan oleh Charles
Jenks (1992):
Pada sepuluh tahun
terakhir ini postmodern menjadi lebih dari sekedar kondisi sosial dan
pergeseran budaya, tapi ini menjadi bahasan dunia. Dan postmodern ini
sendiri menjadi salah satu bahan perdebatan di dunia. Ada dua
argumen akan hal ini, yang disebut Neo dan post modernisme, dimana
kedua hal tersebut menduga bahwa dunia modern akan segera berakhir
dan ada yang harus menggantikannya. Ini tergantung dari sudut pandang
dunia untuk berani mengambil langkah radikal, atau dihubungkan dengan
pendekatan lainnya pada tingkat yang lebih tinggi. Tidak begitu
banyak sekarang orang yang curiga atas kebingungan akan hal ini.
Jencks mengingatkan kepada kita bahwa periode modern dimulai antara
1450an ke 1950an. Dan dari Renaissance ketika Barat menjadi sebuah
kekuasaan dimana kemajuan ini bergabung dengan budaya global yang
lebih besar, dan lama kelamaan menjadi tidak cocok dan harus diganti.
Meskipun postmodern itu berubah pada masa 1875, 1914, 1945 atau 1960.
Jencks menegaskan bahwa periode berakhirnya masa modern harus jelas.
Jencks mengatakan, tekanan pergerakan modern menjadi modernisasi,
kondisi sebuah kemodernan dan budaya modernisme tidak pernah selesai,
bahkan modern itu akan menuju kepada dunia kedua dan ketiga, tapi
bila tidak ada argumen yang kuat tentang sudut pandang modern, jelas
akan berakhir.
Perubahan post modern melibatkan pemikiran kembali beberapa hal yang
diyakini yang benar-benar sudah melekat pada kesadaran makhluk hidup
selama 500 tahun. Hal ini tidak seperti trauma yang muncul pada abad
ke-16 dimana Copernicus dan Galileo adalah sebagai penemunya. Banyak
para astronomi yang diam, terkurung, tidak dapat berkomunikasi karena
teori-teori mereka ditantang oleh sudut pandang Pre Modern, khususnya
ditantang oleh para pemimpin agama dan politik dikalangan masyarakat
eropa saat itu. Post modern sosial, estetik, keagamaan dan ilmiah
terkadang menemui pemberlakuan yang sama.
Para pemikir post modern mengikuti teori Thomas Kuhn (1970) melalui
karyanya Struktur dari Revolusi Ilmiah, dimana teori ini
digunakan untuk mendukung keyakinan bahwa komunitas global akan masuk
kepada pengertian baru yang radikal dari terhadap politik, seni,
ilmu-ilmu, teologi, ekonomi, psikologi, budaya dan pendidikan. Dengan
teori Kuhn ini, penulis post modern menamakannya sebagai perubahan
paradigma karena nilai kemanusiaan itu telah berpindah kepada wilayah
baru dimana mereka mengenal adanya perluasan konsep atas diri mereka
sendiri.
Sebelumnya paling tidak ada dua perubahan paradigma dari sejarah
manusia. Pertama, perpindahan dari keterasingan komunitas
nomadic pemburu dan pengumpul kearah masyarakat feudal dengan
pendukung sistem negara kota dan pertanian. Kedua, perpindahan
dari adanya suku-suku dan masyarakat feudal ke industrial kapitalis
berpegang teguh kepada ekonomi dalam teknologi ilmiah, penggunaan
sumber daya yang berlimpah, perkembangan sosial, pertumbuhan ekonomi
yang pesat dan berpikir rasional. Pertama tadi dinamakan periode Pre
Modern atau revolusi neolitik dari tahun 1000 SM sampai 1450 M. Dan
yang kedua, disebut Periode Modern atau Revolusi Industri sekitar
tahun 1450 M sampai 1960 M. Pada periode Neolitik berkarakter pada
perubahan yang lambat dan konsepnya berakar pada mitos dan budaya
aristokratis dengan gaya yang artistik. Periode Industri berkarakter
pada waktu, yang mendominasi gaya masyarakat borjuis. Pergantian
paradigma postmodern berusaha melakukan perubahan masa lampau, dan
konsep menjadi lebih baik dengan hadirnya beragam budaya dan beragam
ekspresi dan ini disebut Revolusi Informasi Global.
Tentu ada beberapa perpindahan atau perubahan dalam kurun waktu 500
tahun, untuk melihat dan menantang dominasi dari hasil konsep modern
sebuah budaya, waktu dan ekonomi. Pada awal abad ke-19, Romantics dan
Luddities mungkin suatu tipe yang sama. Bagaimanapun, perubahan yang
terjadi, sebelumnya tetap melihat kembali keberadaan masa premodern.
Sudut pandang pemahaman zaman postmodern itu berbeda-beda, karena hal
tersebut lebih dari sekedar perpindahan anti modern. Postmodernisme
melihat secara lebih dari apa-apa saja yang kurang pada modernisasi
sesuai konsep baru kemasyarakatan, dilihat dari budaya, bahasa dan
kekuatan.
Sepertinya para pembelajar postmodern sangat berkomitmen terhadap
konsep baru yang akan dikembangkan dari kurikulum untuk melengkapi
lingkungan pergaulan sosial dan budaya pada era baru sejarah manusia
saat ini.
Sementara itu ada konsep postmodernisme yang pengertiannya
membingungkan , dan disitu ada karakteristik umum yang dijelaskan
oleh David Ray Griffia (1993):
Saat ini post modernisme sudah mulai tersebar dimana-mana, ada
pendapat bahwa anti modern begitu sangat pesismis sebelumnya, dan
dirasakan bahwa hal-hal tersebut juga dinilai bahwa kemodernan dapat
berhasil dengan mengatasi masalah-masalah yang ada pada sekeliling
manusia. Bukan untuk mengarahkan agar kembali ke masa premodern.
Sejauh ini elemen umum ditemukan diberbagai cara berdasarkan
batasan-batasan ini, postmodern menghasilkan banyak sentimen atau
pesimis daripada doktrin-doktrin secara umum. Tapi dilain sisi,
justru pesimistis inilah yang telah memperhatikan nilai kemanusiaan
dan harus sampai kepada masa modern.
Jadi pada hakikatnya nilai kemanusiaan harus lebih penting daripada
kemodernan itu sendiri, melihat kepada pusat dari Dunia postmodern
(1990), ada begitu banyak cara termasuk untuk mengikuti gambaran
seperti : Sudut pandang Post Anthropocetric akan kehidupan yang alami
yang harmonis, bukan memisahkan nilai dasarnya, karena hal ini
nantinya akan sebagai pengontrol dalam penggunaan. Rasa post
kompetitif menekankan akan hubungan kerjasama daripada adanya
keributan dan individualis. Kepercayaan post militeristik bahwa
konflik dapat diselesaikan dengan mengembangkan negosiasi perdamaian.
Visi post patriarkhal kemasyarakatan dimana ada
nilai-nilai agama, sosial, politik dan wanita sebagai pelaku ekonomi
dimana tidak ada perbedaan antara feminin dan maskulin. Sudut pandang
post eurocentric bahwa nilai dan pelaksanaan tradisi Eropa
tidak akan bertahan lebih lama walau mengatakan diri adalah superior,
tapi akan terjadi dimana ada pertemuan dengan tradisi lain yang
saling menghormati kebebasan untuk berbudaya. Keyakinan para ilmuwan
bahwa ilmu-ilmu alam merupakan salah satu metode penting untuk
melakukan penelitian ilmiah, termasuk didalamnya moral, agama,
intuisi estetik yang berisikan pentingnya kejujuran yang akan diatur
oleh aturan-aturan tertinggi, perkembangan pandangan dan
kebijaksanaan publik. Konsep post kedisiplinan dari penelitian
dan pendidikan dengan ekologi yang saling ketergantungan dengan
melihat keseluruhan kosmos daripada dilihat dari perspektif mekanik
seorang insinyur modern dalam mengontrol alam semesta dan
terakhir…Pandangan Post Nasionalisme dimana rasa
nasionalisme individu itu lebih besar dan digantikan dengan rasa yang
lebih luas agar bagaimana caranya tercapai kesejahteraan di bumi
sebagai poin yang pertama dan utama.
Pendek kata, postmodernisme menginginkan dunia menjadi organisme atau
makhluk hidup daripada menjadi mesin, bumi sebagai rumah ketimbang
berfungsi sebagai hak milik atau benda saja, dan setiap orang akan
saling bergantung daripada terkucil dan hidup menyendiri. Konsep
postmodern menyatakan tidak hanya bidang tertentu yang terlibat pada
perpindahan masa ini, tetapi juga ada perubahan dramatis dalam
pemikiran dimana akan memperkaya kesadaran akan postmodernisme.
2.2.
Sudut Pandang Sejarah Kurikulum Sebagai Bahan Pelajaran
Chapter pertama telah memperkenalkan konsep interpretasi sejarah dari
dua perspektif yang berbeda : perspektif pertama berhubungan dengan
analisis objektif dan pengkategorian dari bidang informasi yang
mempunyai nilai tersendiri. Penilaian ini menjadi objek yang bagus
untuk dipelajari, karena untuk melewati berabad-abad, tentunya dalam
masalah ini ada penjelasan secara logis berdasarkan perkembangan
manusianya.
Di lain hal, perspektif kedua berhubungan dengan menginterpretasikan
kembali, keunggulan dari pengalaman manusianya, kekuatan dari
pengertian (arti) dan konteks, pembangunan konstruksi social,
ketergantungan satu dengan yang lain akan waktu dan tempat. Pendek
kata, sejarah memahami juga atas bedanya waktu dan tempat atau adanya
hubungan erat antar relasi yang menyatukan waktu dan tempat.
Logika positivisme dan filsafat analisis pada
umumnya berhubungan dengan perspektif yang pertama tadi. Ada
juga para filosof yang ingin mengingkari analisis sejarah yang sudah
berjalan karena adanya subjektifitas yang melekat yang berhubungan
secara konteks kenyataan.
Kurikulum pendidikan postmodern
akan memberikan argumen atas asumsi bahwa interpretasi secara sejarah
harus diarahkan secara jelas ketepatannya bagi keilmuan dan ada nilai
yang dominan bagi paradigma modern. Postmodernisme bisa dengan bebas
untuk memilih sumber, inovatif, melakukan perbaikan, kritikan,
penilaian subjektif akan interpretasi sejarah. Pengembangan kurikulum
pada era postmodern akan memberikan argumen terhadap pendekatan
tradisional atas logika positivisme modern kepada pelajaran sejarah
sebagai sebuah peristiwa yang perlu dipelajari. Kurikulum postmodern
akan mendorong refleksi autobiograpikhal, menjelaskan pengamatan yang
didapat, memperbaiki hasil interpretasi dan mengerti secara
kontekstual. Pengetahuan dipahami sebagai ketertarikan refleksi
manusia, adanya nilai yang dianut, ada aksi yang dibangun secara
sosial, seperti yang dijelaskan oleh Herbert Kliebard (1992):
Kita selalu menghasilkan keputusan yang setengah sadar dan belum
pasti bisa dikatakan sebagai ilmu pengetahuan karena keputusan yang
tepat akan dimasukkan kedalam kurikulum kemudian sesudah itu
ditemukan keputusan yang masuk akal dan jadi hasil keputusan.
Keputusan setengah sadar akan ikut dalam berbagai contoh termasuk
bahan-bahan keterikatan kelas sosial dan ketertarikan secara umum.
Termasuk sejarah kurikulum tidak begitu terlibat dengan pertanyaan
epistemologi tradisional dimana pertanyaannya itu mendekati gabungan
antara pengetahuan sosiologi. Sejarah kurikulum dengan kata lain,
berkonsentrasi secara kritis dengan apa yang akan diambil untuk
dijadikan pengetahuan tentunya sesudah ada kepastian waktu dan
tempat, daripada hanya membicarakan benar atau valid…. Pertanyaan
fundamental harus ditempatkan dalam sejarah kurikulum, kemudian dalam
hal ini akan tampak perbedaan antara mereka yang pergi ke sekolah dan
yang tidak ke sekolah, lalu perkembangan sosial akan dibangun dalam
pemahaman yang berbeda, kemudian akan ada kepastian dalam
pemahamannya.
Kurikulum juga dipengaruhi oleh kondisi sosial dan
nilai. Hubungan antara sosial kemasyarakatan dan kurikulum
adalah hubungan timbal balik. Pada teks The Post Modern Condition
, Lyotard (1984) menantang apapila ada dugaan secara total dan
argumen mengenai Post Modernisme tidak dapat dipisahkan dari adanya
ketidakpercayaan atau keraguan terhadap metanaratif. Bagi Lyotard,
metanaratif adalah sekumpulan naratif dan sejarah filosofinya.
Lyotard menyimpulkan, metanaratif modern menolak kekhususan,
kemungkinan atau hal yang kebetulan, ironi, dan perbedaan.
Henry
Giroux (1993), meringkaskan pendapat perspektif Lyotard mengenai
postmodern dengan sangat ringkas :
Pendapat Lyotard menghadirkan sebuah alasan dan consensus, ketika
dimasukkan dengan penjelasan yang lengkap yang menyatukan sejarah,
dimasukkan dengan emansipasi dan pengetahuan, dan Lyotard menolak
implikasi mereka sendiri dalam menghasilkan pengetahuan dan kekuatan.
Perbincangan Kurikulum postmodern memahami sejarah secara
kontekstual, multidimensional, ironik. Para pembelajar di postmodern
tidak begitu mudah dalam menyederhanakan bagaimana mengajar sejarah,
fakta bahwa sejarah harus dihafal. Karena hasil karya sendiri, lokal
dan khusus yang begitu diperlukan untuk memahami sejarah, dan
sekarang guru sudah harus mendengarkan para muridnya dan mendengarkan
cerita kehidupan mereka.
Ketika diperkenalkan sejarah kurikulum kemungkinan nampak lebih sulit
dan kontroversial bagi mereka yang baru mengenal mengenai kurikulum
postmodern. Jadi untuk memahami Kurikulum postmodern, maka guru tidak
hanya melihat muridnya dari kejauhan, tetapi guru juga harus masuk ke
dalam proses yang terjadi pada murid-murid itu sendiri. Partisipasi
ini sesuai yang dikemukakan oleh Jonathan Kozol ditujukan untuk
belajar sosial di kelas. Sejarah, bagaimanapun dari perspektif
postmodern tidak harus dilakukan dengan menghafal tetapi lebih dari
itu, kesempatan untuk menginformasikan keadaan sekarang dan
menyediakan jalan menuju masa depan. Transformatif pedagogy ditujukan
untuk terciptanya partisipasi dalam pedidikan sejarah.
Perbedaan lain antara sudut pandang modern dan postmodern dilihat
dari segi fungsi kurikulum studi sosial di sekolah bisa melalui
lukisan pada poster yang dipasang di kelas yang bertema belajar
sejarah pasti menarik. Gambar poster bisa berupa daftar gambar
pekerjaan seorang arkeolog, kurator, penulis, kritikus, pejuang,
antropologis, pustakawan atau guru. Hal ini pasti akan berhasil dan
kemungkinan tujuan akan tercapai memahami sejarah. Yang mencolok,
kurikulum postmodern menantang baik guru dan murid untuk masuk ke
dalam proses sejarah sebagai pelaku di kelas, bukan sebagai pengamat.
Era postmodern pada intinya adalah bagaimana memasukkan lebih dari
berbagai sumber untuk dipilih secara bebas, dan secara subjektif bisa
dimengerti dan ada pemikiran kritis. Siswa jangan dibiarkan begitu
saja dengan pemahaman yang dipunyainya tanpa dibimbing. Maka dari itu
pendekatan modern terhadap ilmu pengetahuan dan sejarah berisikan
informasi yang dibangun siswa itu sendiri. Kemudian siswa harus punya
pengalaman sebelum dia mulai untuk berpikir kritis pada saat belajar.
Kegiatan ini melibatkan kebenaran ilmu yang telah ditemukan pada
waktu yang lalu, dan juga melibatkan analisis sejarah untuk
menghasilkan pengetahuan yang baru.
Albert Einstein adalah salah satu contoh pembelajar yang berpikir
postmodern jauh sebelum apa yang ditemukannya benar-benar sangat
bermanfaat pada pandangan modern saat ini.
Para murid sering mengeluh mengenai pengalaman mereka karena rasa
bosan ketika di kelas belajar mengenai sosial, khususnya sejarah.
Jika ada salah satu disiplin ilmu dalam kurikulum sekolah seperti apa
yang dicontohkan oleh Rorty akan adanya kegagalan behavioristik
modern dan pendekatan analitik terhadap pendidikan, sudah pasti itu
pasti kelas sejarah. Karena memang sejarah hanya terbatas pada
peristiwa yang ada dan harus dihafal. Dalam hal ini kita tidak hanya
mengajar, tapi bagaimana caranya belajar, sehingga siswa dapat
mendemonstrasikan pemahamannya di kelas. Dari standar yang ada, untuk
itulah dapat meyakinkan murid-murid di Amerika agar dapat
menceritakan kembali apa yang telah dipelajarinya.
Schubert memberikan contoh kritikan postmodern terhadap pembelajaran
sejarah tradisional :
Pada awal 1970an, ada beberapa buku yang ditawarkan sebagai arahan
untuk mengatur standar pendidikan, ini adalah teladan yang sempurna
(Cubberly’s Public Education in the United States (1934) dan
The History of Education (1920). Dan historis ini harus
dilakukan perbaikan, dan pembelajaran yang tradisional erat
hubungannya dengan miskinnya ilmu pengetahuan. Bahkan dapat dikatakan
jauh dari apa yang namanya Mimpi Amerika.
Pada intinya Schubert mengatakan bahwa, post modern itu adalah
perubahan dari pendekatan tradisional mengarah kepada analisis yang
berkaitan dengan sejarah. Cain dan Cain memberikan dukungannya untuk
kurikulum postmodern bahwa adanya cakupan kompleksitas, toleran
terhadap perbedaan, menerima ketidakpastian, asli (otentik). Evaluasi
menjadi kontekstual bagi lingkungan pengajaran individual.
2.3.
Pengertian Kurikulum dan Pengajaran
Kurikulum pendidikan postmodern secara kritis menelaah sejarah dari
perkembangan kurikulum yang ada pada konteks ilmu pendidikan
masing-masing dalam rangka membangun perspektif partisipasi. Konsep
sejarah baru dikenal mahasiswa yang lulus dari Teori Kurikulum di
Louisiana State University pada tahun 1980an ini, lalu saya
mengenalkan Post Modernisme dan diberitakan atas apa yang saya
hasilkan secara ethnographic, dan metodologi yang fenomenologikal.
Ini adalah waktu yang menyenangkan bagi saya menjadi Profesor
Kurikulum dan juga sebagai mahasiswa. Professor
William Pinar tiba di LSU sebagai Kepala Departemen Kurikulum dan
Pengajaran dari Universitas of Rochester dimana dia selalu
memperhatikan perubahan kurikulum yang bisa juga disebut dengan
Rekonseptualisasi (pemahaman kembali). Pinar juga banyak membawa
hasil bagian dari ilmu pendidikan yang digabungkan dengan
rekonseptualisasi ke bagian departemen di LSU, termasuk juga Tony
Whitson, seorang sarjana Camron McCarthy, feminis Leslie Roman,
sarjana Post Modern William Doll dan dekonstruksionis asal Canada
Jacques Daignault dan masih ada yang lainnya.
Secara berkala diadakan pertemuan untuk membahas
masalah ini bersama-sama mahasiswa dan fakultas. Banyak alumni dan
juga dari fakultas bersama-sama berkumpul mengikuti konferensi JCT
(Journal of Curriculum Theorizing,
now JCT: An Interdisciplinary Journal of
Curriculum Studies) yang
diselenggarakan di Bergamo Center di Dayton, Ohio setiap Oktober.
Konferensi ini tidak jauh berbeda dengan yang ada
di University of Rochester pada tahun 1973,
dimana Rekonseptualisasi Kurikulum Amerika masih terus berlangsung
dipelajari hingga saat ini. Pada tahun 1978 publikasi dari JCT yang
dimulai oleh Wiliam Pinar dan Janet Miller bertindak sebagai editor
dan manajer editor pada journal tersebut. Pada tahun 1978,
konferensi diadakan di Rochester Institute of Technology yang
dikepalai oleh Professor Ronald Padgham. Lalu konferensi pindah ke
Pusat Konferensi Airlie di Virginia dari tahun 1979 hingga 1982
(karena adanya pengaruh dari pembelajar Canada, maka konferensi pada
tahun 1994 diadakan di Alberta di The Banff Conference Center. Sejak
1978 William Reynold dari Negara Oklahoma dan Joan Pagano dari
Colgate University juga bertindak sebagai editor di JCT.
Lingkungan pergaulan yang diciptakan oleh JCT dan konferensi tahunan
membuat rekonseptualisasi menjadi pengalaman yang tidak terlupakan
bagi penulis, dengan berbagi konsep dari kurikulum itu dan
menghasilkan susunan yang begitu luas dari para pembelajar
internasional. Rekonseptualisasi ini akhirnya berlanjut yang
memberikan pengaruh yang kuat dalam pengembangan kurikulum di tahun
1990an.
Sebagai
mahasiswa baru di tingkat doktoral, saya tidak begitu mengenal dengan
baik banyak ilmu pendidikan dan gabungan teori-teori dengan
rekonseptualisasi. Buktinya, sebelum saya masuk ke dalam program di
LSU, saya tidak pernah mendengar kata rekonseptualisasi digunakan
pada konsep kurikulum. Saya bekerja sebagai guru bahasa Inggris di
sekolah menengah dan berada dalam lingkungan doktoral sebagai pemula.
Saya juga terdaftar sebagai anggota ASCD (Association for
Supervision and Curriculum Development), NASSP (National
Association of Secondary Schools Principals), dan NCEA (National
Catholic Educational Association). Sejak pertengahan tahun 1970an
saya banyak menghadiri konferensi tahunan di banyak organisasi
nasional
Selama masa jabatan sebagai administrator diberbagai sekolah, saya
selalu mendapatkan perubahan inovatif, teknologi baru, program
perwilayah, membuat design materi kurikular, dan kesemuanya menjawab
problem pendidikan yang saya hadapi. Secara intuitif disadari bahwa
konsep perubahan ini tidak dapat selalu memperbaiki permasalahan
sekolah apa yang terjadi di lokal dan nasional pada satu waktu.
Bagaimanapun saya jarang sekali tersesat jauh dari Modelnya Tylerian,
ataupun takut akan perubahan, penolakan alternative, atau jauhnya
kesimpulan akhir dimana hal ini digunakan sebagai kerangka kerja.
Pada prosesnya saya selalu “berburu” (Madeline’s Hunters Master
Learning and Mastery Teaching) and Mengamati (Lee Canter’s
Assertive Discipline). Kemudian saya “kumpulkan” (Alan Bloom’s
Cultural Literacy), kemudian saya “munculkan” (George Bush’s
America 2000). Saya belajar bagaimana caranya membuat sekolah supaya
lebih efektif, sekolah yang amat dibutuhkan, sekolah yang jauh dari
obat-obatan.
Dari segala usaha yang sudah saya lakukan akhirnya terbayarkan dengan
mendapatkan gelar di tahun 1986 ketika saya meraih apa yang telah
saya ajarkan pada saat itu adalah puncak dari perjuangan saya dalam
pendidikan : Sangat Baik dalam Pendidikan. William Bennett, kemudian
sekretaris pendidikan dibawah kepemimpinan Presiden Reagen, telah
menerbitkan buku baru yang berjudul First Lessons, sebuah penjelasan
untuk pengembangan kurikulum sekolah dasar. Sejalan dengan penerbitan
ini, Departemen Pendidikan memprakarsai kompetisi untuk sekolah dasar
yang lebih dulu popular di program sekolah menengah yang dimulai pada
tahun 1983 yang diberi nama Excellence in Education.
Dua ratus sekolah dasar di Amerika yang telah mengirimkan contoh
kurikulum dan pengajaran terbaiknya akan memenangkan hadiah dan akan
diundang dan akan diterima di Gedung Putih oleh Presiden Reagan dan
Sekretaris Bennett. Saya adalah kepala sekolah dari sekolah dasar di
pedesaan saat itu, disaat itulah kompetisi diumumkan, semua pegawai,
semua guru, dan pihak lainnya merasa tertantang untuk ikut serta.
Lalu saya berlibur ke Orlando, Florida, dengan keluarga saya pada
tanggal 4 Juli 1986, ketika para pemenang kompetisi tadi diumumkan,
dan ternyata dari surat kabar yang saya baca, ternyata sekolah kami
jadi pemenangnya.
Ketika saya kembali ke rumah dari berlibur, saya menemukan bahwa
disitu ada kebanggaan yang terdapat pada komunitas tersebut.
Penghargaan tersebut membawa media memberitakan kepada negara dan
nasional sebagaimana para orang tua yang telah sukarela membantu,
guru-guru yang berdedikasi dan khususnya anak-anak. Penghargaan ini
diberikan sebagai promosi juga untuk menghilangkan ketidakyakinan dan
pergesekan. Kemudian aku mempunyai pertanyaan, bagaimana kalau
diadakan kompetisi lagi untuk membandingkan sekolah ditingkat
nasional. Saat itu saya tidak sadar, bahwa pertanyan saya itu
sebenarnya menuju kepada pemikiran postmodern. Kompetisi pada
pencarian model-model baru yang akan menggantikan model lama semakin
ingin diwujudkan.
Pada tahun setelah William Bennett menerima penghargaan, saya
mendapatkan kesempatan untuk mengajar, menjadi pengurus, dan
mengamati banyak kampus. Saya menemukan sebuah sekolah yang luar
biasa dan belum banyak dikenal, tentu sekolah tersebut layak untuk
mendapatkan Excellence Award (Blue Ribbon Schools). Saya juga sebagai
kepala sekolah atau evaluator di sekolah lain yang telah menerima
Blue Ribbon Schools Award, meskipun memang dalam komunitas sekolah
mereka benar-benar merasa tidak enak untuk mengikuti kompetisi
tersebut. Pengalaman saya dengan program ini membawa saya untuk
benar-benar memeriksa dengan seksama bagi mereka yang telah
mengirimkan model kurikulum untuk dikompetiskan dan melihat kebebasan
apa yang menjadi harapan postmodern.
Satu hal dari program pengembangan kurikulum tradisional dan
penyusunan kembali merupakan suatu tujuan yang ingin dicapai.kelak,
objek yang bisa diukur, penguasaan evaluasi dalam rangka untuk
menghasilkan pendidikan yang lebih spesifik.
Rekonseptualisasi
menunjukkan kepada saya untuk melihat secara kritis terhadap teori
perkembangan kurikulum, dan tentunya menyediakan jalan lain bagi
postmodern untuk berbenah diri dan ada program yang paling baik bagi
implementasi pendidikan saat ini.
Salah satu pusat utama dari rekonseptualisasi adalah sangat
memperhatikan hasil karya yang dihasilkan dan pengalaman
fenomenologikal. Hal ini telah digambarkan oleh William Pinar dan
Madeleine Grumet pada sebuah teks Toward a Poor Curriculum
(Kurikulum yang jelek), dimana para pengarang menulis mengenai fokus
perubahan studi tentang kurikulum. Pinar dan Grumet (1976)
tertantang untuk fokus kepada pengalaman internal daripada objek
eksternal. Para penulis Eksistensialis antara lain Jean-Paul Sartre,
Friedrich Nietzshe, Martin Buber dan Soren Kierkegaard, Sigmund
Freud dan Carl Jung juga berhubungan dengan teori kurikulum di atas.
2.4.
Sekolah Post Modern, Kurikulum dan Teks Teologikal
Munculnya visi postmodern konstruktif sekolah dalam komunitas global
termasuk adanya ekletik dan hubungan umum akan spiritualitas dan
teologi yang disusun untuk pendidikan presfektif ini disebut penulis
sebagai ideology modern sebaliknya prespektif yang kembali kepada
tradisional disebut ideology premodern, dan premodern ini menentang
adanya pemisahan antara agama dan pemerintahan.
Paulo Freire (1970) yang menyatakan masalah pendidikan tidak dapat
dipisahkan dari politik, sosial dan ekonomi. Pada intinya teologi dan
pendidikan tidak dapat dipisahkan dari model pengembangan kurikulum.
Kontribusi spiritualitas, teologi dan agama sekarang sudah mulai
dimasukan menjadi sebuah gagasan kedalam perbaikan postmodern yang
baru. Pengembangan spiritualitas, teologi, dan pendidikan agama
kedalam visi postmodern sekolah diterima tanpa kritik.
Pendidikan postmodern belum menemukan jalan keluar dari dilema modern
antar catatan sejarah dan agama di sekolah, dan kemudian presfektif
lain sering memisahkan spiritualitas dan teologi dari kurikulum
mereka. David Ray Griffin (1988) memasukan unsur nilai keagamaan
dalam prespektif postmodern. William Doll menulis kurikulum
postmodern adalah sebuah prakarsa dengan karakter kosmologikal yang
memimpin untuk menjadikan individu secara spiritual. Gabriel Moran
(1981) mengindikasikan bahwa pendapat ini dapat diterima secara
akurat bagi pendidikan walaupun pendidikan agama bersifat universal.
Berikut ini apa yang digambarkan oleh Eliot (1971) untuk keluar dari
lingkaran yang membatasi kemajuan :
- Lingkaran ide dan aksi tidak pernah berakhir.
- Inovasi dan percobaan tidak pernah berakhir.
- Bergerak menemukan pengetahuan, tidak diam.
- Membicarakan pengetahuan, tidak sunyi.
- Kata-kata pengetahuan bukan menolak kata-kata,
- Mendekati mati, tidak dekat pula dengan Tuhan,
- Dimana kehidupan yang selama ini hilang?
- Dimana pengetahuan?
- Lingkaran surga ada di abad dua puluh.
- Jauh kita dari Tuhan, dekat untuk menjadi abu.
BAB
III
ANALISIS
Istilah postmodern muncul dibeberapa bidang, untuk yang pertama kali
istilah postmodernisme muncul dalam bidang seni yang dipakai oleh
Federico de Onis dalam karyanya yang berjudul Antologia de la
Poesia Espanola a Hispanoamericana sekitar tahun 1930. Sedangkan
dalam bidang historiografi istilah postmodernisme pertama kali
digunakan oleh Arnold Toynbee dalam A Studi of History pada
tahun 1974. Postmodernisme sendiri merupakan periode setelah modern,
akan tetapi sampai sekarang ini pengertian tentangnya masih belum
mendapatan kesepakatan. Seperti yang dikemukakan Sugiharto (2002: 50)
bahwa :
Istilah postmodernisme dapat memiliki beberapa pengertian yang
berbeda. Antara lain bisa berarti, aliran
pemikiran filsafat; periodesasi sejarah berikut pergeseran paradigma
di dalamnya; ataupun sikap dasar tertentu. Masing-masing
pengertian tersebut memiliki konsekuensi logis yang berbeda meskipun
saling berhubungan juga. Jika yang kita maksudkan adalah aliran
filsafat, maka ia menunjuk terutama pada gagasan-gagasan Jean. F.
Lyotard, yang paling eksplisit menggunakan istilah posmodernisme.
Namun, jika yang kita maksudkan adalah periode sejarah baru yang
meninggalkan kerangka berpikir modern, maka mereka yang paling sibuk
memetakannya, antara lain, Jencks, Andreas Huysen, dan David Harvey.
Dalam hal ini, orang bisa berdebat dengan sengit tentang waktu persis
terjadinya pergeseran paradigma, serta apa yang sebenarnya bergeser
di dalam perjalanan waktu. Bisa jadi pergeseran itu hanyalah
radikalisasi dari segala kecenderungan modern sendiri. Di sini kita
dapat melihat berbagai wacana para tokoh seperti Jurgen Habermas,
Anthony Giddens, Ernest Gellner, dan lainnya.
Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam bagian pertama buku karya
Slattery, dimana banyak pandangan ahli tentang istilah
postmodernisme, Cynics mengatakan bahwa sebutan post modern itu tidak
relevan karena pengertian postmodern sebenarnya sukar untuk dipahami
dan saling bertentangan, dan didefinisikan berbeda oleh tiap-tiap
penulis. Artinya konsep tentang postmodernisme sendiri masih kabur.
Akan tetapi ada sebagian ahli yang berpendapat bahwa sebenarnya
sekarang ini kita sedang berada di jaman postmodern. Di era
postmodern tidak ada lagi kesepakatan universal, yang ada setiap
orang berhak untuk memberikan dan menafsirkan makna terhadap segala
sesuatu. Postmodernisme bisa dengan bebas untuk memilih, inovatif,
melakukan perbaikan, memberikan kritikan, penilaian subjektif akan
interpretasi.
Termasuk dalam pengembangan kurikulum, sebagaimana dikemukakan
Herbert Kliebard (1992) “bahwa pengembangan kurikulum pada era
postmodern akan memberikan argumen terhadap pendekatan tradisional
atas logika positivisme modern kepada pelajaran sejarah sebagai
sebuah peristiwa yang perlu dipelajari. Kurikulum postmodern akan
mendorong refleksi autobiographikal, menjelaskan pengamatan,
memperbaiki hasil interpretasi dan mengerti secara kontekstual.
Pengetahuan akan dipahami sebagai ketertarikan refleksi manusia,
adanya nilai yang dianut, ada aksi yang dibangun secara sosial”.
Jika kita tarik dalam realitas pendidikan di negara kita, dimana
kurikulum sekarang menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) yang memberikan keleluasaan sekolah untuk mengembangkan
kurikulumnya sendiri. Sekolah bebas menafsirkan standar yang telah
ditetapkan pemerintah pusat. Sebenarnya entah sadar atau tidak dalam
dunia pendidikan kita telah masuk dalam postmodernisme pendidikan,
kalau kita merujuk defenisi Herbert Kliebard tersebut.
Era postmodern bahwa perubahan yang terjadi melibatkan bagaimana
caranya untuk melakukan pemikiran kembali atas apa yang akan menjadi
tujuan utama untuk membentuk opini postmodern secara pasti. Namun
konteks dalam pembahasan ini pada akhirnya tidak terlepas dari
konteks teologikal, spiritualitas dan religius. Dimana ketiga hal ini
(terdapat pada bagian empat) saling berhubungan dan ada yang
mendukung bahwa harus ada pemisahan (sekuler) dan ada pula yang
mendukung bahwa hubungan tadi diintegrasikan dalam pendidikan.
Kemudian timbul sebuah pertanyaan, mengapa justru ketiga hal tersebut
di atas lantas menjadi bahasan utama untuk mendukung argumen-argumen
akan perspektif postmodern yang sebenarnya. Apakah karena korelasi
antara konsep teologikal, spiritualitas dan religius merupakan bahan
perenungan untuk menjadikan individu itu menjadi lebih beradab dalam
lingkungan yang sudah sangat maju sekaligus individu tadi
memperhatikan aspek ekologikalnya. Jika memang demikian adanya,
berarti hubungan antara bahasan utama tersebut jelas mendukung
kekuatan argumen yang mempertahankan nilai konsep dari sebuah
postmodern. Maka sudah bisa dijawab pula bahwa, kekuatan ketiga
konsep tadi merupakan perspektif secara universal yang diyakini.
Perbedaan-perbedaan
yang dihadirkan antara pre modern, modern dan post modern juga sudah
sangat jelas. Nampak perbedaan cara berpikir, melangkah, paradigma
yang tidak sama satu sama lainnya. Semua menjadi satu kesatuan dalam
analisis, yaitu Tuhan sebagai pencipta, manusia sebagai makhluk
ciptaan Tuhan, dan alam semesta beserta segala aspek khususnya yang
disini adalah aspek edukasinya.
Ternyata
dalam konsep postmodernisme, kita sebagai educators atau
pembelajar diharapkan untuk terus mampu bergerak jika memang ingin
dikatakan masuk dalam kategori postmodern. Bagaimana caranya
bergerak, dan bergerak yang seperti apa yang diharapkan oleh
postmodern itu. Tentunya dalam hal ini, bergerak yang bisa dikatakan
dalam menghasilkan konsep-konsep brilian seperti menemukan
metode-metode baru, berpikir secara kritis tidak statis, melakukan
yang tidak lazim dalam artian berbuat diluar aturan yang sebenarnya
(rethinking). Sehingga dia dikatakan sudah melewati era modern
dan bergabung ke dalam keluarga postmodern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar