Pages - Menu

Senin, 06 Mei 2013

Curriculum Development in the Postmodern Era (Chapter Report)


CURRICULUM DEVELOPMENT IN THE POSTMODERN ERA
By: Patrick Slattery
Penerbit: Garland Publishing, Inc. New York & London 1995
(CHAPTER REPORT), Disusun Oleh:
MUHAMMAD MONA ADHA, S.Pd., M.Pd
DENY SURYA PERMANA, S.Pd., M.Pd

BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah usaha pendewasaan manusia, atau dengan bahasa lain pendidikan adalah usaha untuk memanusiakan manusia yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaannya. Perkembangan pendidikan menyesuaikan dengan perkembangan jaman, dimulai dari periode premodern, periode modern, hingga sekarang ada sebagian orang yang berpendapat bahwa kita telah memasuki periode postmodern.

Periode premodern ditandai dengan kehidupan nomaden dan belum adanya struktur yang tetap terhadap segala sesuatu. Sedangkan periode modern menurut Alex Inkeles dan David. H Smith (1974) ditandai dengan ciri-ciri manusianya bersikap terbuka, siap menghadapi perubahan sosial, berpandangan luas, dorongan dan rasa ingin tahu yang begitu kuat, berorientasi pada masa sekarang, lebih percaya pada perencanaan, lebih percaya pada usaha manusia dari pada pada nasib atau takdir, menghargai keterampilan teknik sebagai dasar pemberi imbalan, berwawasan maju dalam pendidikan dan pekerjaan, menghargai kemuliaan orang lemah seperti anak-anak dan wanita, dan perlunya produktivitas.
Periode posmodernisme menurut Bambang Sugiharto (2002: 52) ditandai dengan beberapa kecenderungan sebagai berikut: (1) Kecenderungan menganggap klaim tentang realitas (diri-subyek, sejarah, budaya, Tuhan, dan lainnya) sebagai konstruksi semiotis, artifisial, dan ideologis; (2) Skeptis terhadap segala bentuk keyakinan tentang “substansi” objektif (meski tidak selalu menentang konsep tentang universalitas); (3) Realitas dapat ditangkap dan dikelola dengan banyak cara, serta dengan banyak sistem (pluralitas); (4) Paham tentang “sistem” sendiri dengan konotasi otonom dan tertutupnya cenderung dianggap kurang relevan, diganti dengan “jaringan”, “relasionalitas” ataupun “proses” yang senantiasa saling-silang dan bergerak dinamis; (5) Cara pandang yang melihat segala sesuatu dari sudut oposisi biner pun (either-or) dianggap tak lagi memadai. Segala unsur ikut saling menentukan dalam interaksi jaringan dan proses (maka istilah ‘posmodernisme’ sendiri harus dimengerti bukan sebagai oposisi, melainkan dalam relasinya dengan ‘modernisme’); (6) Melihat secara holistik berbagai kemampuan lain selain rasionalitas, misalnya emosi, imajinasi, intuisi, spiritualitas, dan lainnya; serta; (7) Menghargai segala hal lain yang lebih luas, yang selama ini tidak dibahas atau bahkan dipinggirkan oleh wacana modern, misalnya kaum perempuan, tradisi lokal, agama.
Kurikulum yang merupakan bagian dari pendidikan mendapatkan pengaruh dari ketiga periode tersebut. Kurikulum yang merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan di era postmodern lebih cenderung untuk melihat ukuran keberhasilan pendidikan berdasar pada narasi yang open-ended, karena eksistensi manusia tidak dapat direduksi secara positif-kuantitatif, hitam atau putih (lulus atau tidak lulus). Ini juga cenderung bersifat desentralistik yang memperhatikan kenyataan-kenyataan lokal, termasuk di dalamnya nilai dan budaya lokal-tradisional yang selama ini mengalami marjinalisasi. Konkretnya, setiap daerah, bahkan setiap sekolah diberi keleluasaan untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan keadaan daerah masing-masing dan kemampuan peserta didik yang ada (Suparno: 55). Dalam proses pembelajarannya, orientasi yang digunakan tidak lagi teacher-centered learning atau student-centered learning, tetapi lebih berupa teacher-student learning together. Ini berarti tidak lagi menggunakan apa yang disebut oleh Paulo Freire sebagai banking sistem. Kemudian, sama halnya dengan pendidikan yang memiliki hubungan keharusan dengan filsafat, pengetahuan juga memiliki hubungan keniscayaan dengan nilai, budaya, dan terus-menerus mengalami perubahan.
Dalam buku Curriculum Development In The Postmodern Era karya Patrick Slattery dikaji lebih mendalam tentang perkembangan kurikulum di era postmodern. Untuk itu kelompok kami akan mengkaji bagian pertama dari buku tersebut dalam bantuk chapter report. Part One berbicara tentang postmodern curriculum development as a field of study, yang terdiri dari empat bahasan yaitu bahasan pertama introduction to curriculum development and postmodernity, bahasan kedua historical perspective on curriculum as a field study, bahasan ketiga the reconceptualization of curriculum and instruction, dan bahasan keempat postmodern schooling, curriculum, and the theological text.

B A B II
PEMBAHASAN

2.1. Pengenalan Pengembangan Kurikulum dan Post Modern

Akhir-akhir ini penggunaan kata postmodern begitu banyak digunakan, ada yang disebut dengan dekonstruktif postmodern, konstruktif postmodern, eliminatif post modern, kultural postmodern, seni postmodern, masyarakat postmodern, teologi post modern, arsitektur postmodern dan lain sebagainya. Postmodern terbagi atas sebelas perspektif, dan hal ini dapat dipelajari dari buku ini, dan postmodern ini pun seiring sejalan dengan masa industri modern dan teknologi. Sementara gaya estetik dalam seni dan arsitektur antara lain eklektik, kaleidoskop, ironi dan allegorikal. Kritik sosial juga terjadi pada sistem ekonomi dan organisasi politik termasuk liberalisme dan komunisme. Perkembangan filosofi menunjukkan adanya pertentangan didalamnya dari metanaratif yang dipengaruhi oleh dekonstruktif modern yang melibatkan kejujuran, bahasa, ilmu pengetahuan dan kekuatan. Analisis kebudayaan memberikan kritik terhadap efek negatif dari teknologi modern yang ada pada kehidupan manusia dan lingkungannya saat dalam dunia global.
Paham eklektisisme radikal (tidak dapat ditawar-tawar lagi), lalu menghasilkan dua pertentangan konsep yang diterima dan juga kritikan pada waktu yang sama, karena baik masa yang lalu dan masa yang akan datang kedua-duanya dihormati dan tidak dihormati, baik keseluruhan dan keterbatasan, memiliki konsep dan tidak memiliki konsep. Pergerakan usaha ini lebih mengarah kepada filsafat materialis modern.
Cynics mengatakan bahwa sebutan postmodern itu tidak relevan karena pengertian postmodern sebenarnya sukar untuk dipahami dan saling bertentangan, dan didefinisikan berbeda-beda oleh tiap-tiap penulis. Para filsuf modern mendukung beberapa kritikan tadi, sama halnya dengan kembar Cartesian dan pemikiran dualistik yaitu rasional dan penjelasan struktural atas kenyataan, postmodern ekletisisme, inklusif dan sayangnya hal ini tidak dapat dipahami. Bagaimanapun akhirnya menjadi jelas pada tahun 1990an. Kejelasan itu berkembang kearah ilmiah, filosofis, politik, artistik, kepustakaan, dan lingkaran pendidikan yang saat ini menjadi konsepsi baru secara global. Seperti yang digambarkan oleh Charles Jenks (1992):
Pada sepuluh tahun terakhir ini postmodern menjadi lebih dari sekedar kondisi sosial dan pergeseran budaya, tapi ini menjadi bahasan dunia. Dan postmodern ini sendiri menjadi salah satu bahan perdebatan di dunia. Ada dua argumen akan hal ini, yang disebut Neo dan post modernisme, dimana kedua hal tersebut menduga bahwa dunia modern akan segera berakhir dan ada yang harus menggantikannya. Ini tergantung dari sudut pandang dunia untuk berani mengambil langkah radikal, atau dihubungkan dengan pendekatan lainnya pada tingkat yang lebih tinggi. Tidak begitu banyak sekarang orang yang curiga atas kebingungan akan hal ini.

Jencks mengingatkan kepada kita bahwa periode modern dimulai antara 1450an ke 1950an. Dan dari Renaissance ketika Barat menjadi sebuah kekuasaan dimana kemajuan ini bergabung dengan budaya global yang lebih besar, dan lama kelamaan menjadi tidak cocok dan harus diganti. Meskipun postmodern itu berubah pada masa 1875, 1914, 1945 atau 1960. Jencks menegaskan bahwa periode berakhirnya masa modern harus jelas.
Jencks mengatakan, tekanan pergerakan modern menjadi modernisasi, kondisi sebuah kemodernan dan budaya modernisme tidak pernah selesai, bahkan modern itu akan menuju kepada dunia kedua dan ketiga, tapi bila tidak ada argumen yang kuat tentang sudut pandang modern, jelas akan berakhir.
Perubahan post modern melibatkan pemikiran kembali beberapa hal yang diyakini yang benar-benar sudah melekat pada kesadaran makhluk hidup selama 500 tahun. Hal ini tidak seperti trauma yang muncul pada abad ke-16 dimana Copernicus dan Galileo adalah sebagai penemunya. Banyak para astronomi yang diam, terkurung, tidak dapat berkomunikasi karena teori-teori mereka ditantang oleh sudut pandang Pre Modern, khususnya ditantang oleh para pemimpin agama dan politik dikalangan masyarakat eropa saat itu. Post modern sosial, estetik, keagamaan dan ilmiah terkadang menemui pemberlakuan yang sama.
Para pemikir post modern mengikuti teori Thomas Kuhn (1970) melalui karyanya Struktur dari Revolusi Ilmiah, dimana teori ini digunakan untuk mendukung keyakinan bahwa komunitas global akan masuk kepada pengertian baru yang radikal dari terhadap politik, seni, ilmu-ilmu, teologi, ekonomi, psikologi, budaya dan pendidikan. Dengan teori Kuhn ini, penulis post modern menamakannya sebagai perubahan paradigma karena nilai kemanusiaan itu telah berpindah kepada wilayah baru dimana mereka mengenal adanya perluasan konsep atas diri mereka sendiri.
Sebelumnya paling tidak ada dua perubahan paradigma dari sejarah manusia. Pertama, perpindahan dari keterasingan komunitas nomadic pemburu dan pengumpul kearah masyarakat feudal dengan pendukung sistem negara kota dan pertanian. Kedua, perpindahan dari adanya suku-suku dan masyarakat feudal ke industrial kapitalis berpegang teguh kepada ekonomi dalam teknologi ilmiah, penggunaan sumber daya yang berlimpah, perkembangan sosial, pertumbuhan ekonomi yang pesat dan berpikir rasional. Pertama tadi dinamakan periode Pre Modern atau revolusi neolitik dari tahun 1000 SM sampai 1450 M. Dan yang kedua, disebut Periode Modern atau Revolusi Industri sekitar tahun 1450 M sampai 1960 M. Pada periode Neolitik berkarakter pada perubahan yang lambat dan konsepnya berakar pada mitos dan budaya aristokratis dengan gaya yang artistik. Periode Industri berkarakter pada waktu, yang mendominasi gaya masyarakat borjuis. Pergantian paradigma postmodern berusaha melakukan perubahan masa lampau, dan konsep menjadi lebih baik dengan hadirnya beragam budaya dan beragam ekspresi dan ini disebut Revolusi Informasi Global.
Tentu ada beberapa perpindahan atau perubahan dalam kurun waktu 500 tahun, untuk melihat dan menantang dominasi dari hasil konsep modern sebuah budaya, waktu dan ekonomi. Pada awal abad ke-19, Romantics dan Luddities mungkin suatu tipe yang sama. Bagaimanapun, perubahan yang terjadi, sebelumnya tetap melihat kembali keberadaan masa premodern. Sudut pandang pemahaman zaman postmodern itu berbeda-beda, karena hal tersebut lebih dari sekedar perpindahan anti modern. Postmodernisme melihat secara lebih dari apa-apa saja yang kurang pada modernisasi sesuai konsep baru kemasyarakatan, dilihat dari budaya, bahasa dan kekuatan.
Sepertinya para pembelajar postmodern sangat berkomitmen terhadap konsep baru yang akan dikembangkan dari kurikulum untuk melengkapi lingkungan pergaulan sosial dan budaya pada era baru sejarah manusia saat ini.
Sementara itu ada konsep postmodernisme yang pengertiannya membingungkan , dan disitu ada karakteristik umum yang dijelaskan oleh David Ray Griffia (1993):
        Saat ini post modernisme sudah mulai tersebar dimana-mana, ada pendapat bahwa anti modern begitu sangat pesismis sebelumnya, dan dirasakan bahwa hal-hal tersebut juga dinilai bahwa kemodernan dapat berhasil dengan mengatasi masalah-masalah yang ada pada sekeliling manusia. Bukan untuk mengarahkan agar kembali ke masa premodern. Sejauh ini elemen umum ditemukan diberbagai cara berdasarkan batasan-batasan ini, postmodern menghasilkan banyak sentimen atau pesimis daripada doktrin-doktrin secara umum. Tapi dilain sisi, justru pesimistis inilah yang telah memperhatikan nilai kemanusiaan dan harus sampai kepada masa modern.

Jadi pada hakikatnya nilai kemanusiaan harus lebih penting daripada kemodernan itu sendiri, melihat kepada pusat dari Dunia postmodern (1990), ada begitu banyak cara termasuk untuk mengikuti gambaran seperti : Sudut pandang Post Anthropocetric akan kehidupan yang alami yang harmonis, bukan memisahkan nilai dasarnya, karena hal ini nantinya akan sebagai pengontrol dalam penggunaan. Rasa post kompetitif menekankan akan hubungan kerjasama daripada adanya keributan dan individualis. Kepercayaan post militeristik bahwa konflik dapat diselesaikan dengan mengembangkan negosiasi perdamaian. Visi post patriarkhal kemasyarakatan dimana ada nilai-nilai agama, sosial, politik dan wanita sebagai pelaku ekonomi dimana tidak ada perbedaan antara feminin dan maskulin. Sudut pandang post eurocentric bahwa nilai dan pelaksanaan tradisi Eropa tidak akan bertahan lebih lama walau mengatakan diri adalah superior, tapi akan terjadi dimana ada pertemuan dengan tradisi lain yang saling menghormati kebebasan untuk berbudaya. Keyakinan para ilmuwan bahwa ilmu-ilmu alam merupakan salah satu metode penting untuk melakukan penelitian ilmiah, termasuk didalamnya moral, agama, intuisi estetik yang berisikan pentingnya kejujuran yang akan diatur oleh aturan-aturan tertinggi, perkembangan pandangan dan kebijaksanaan publik. Konsep post kedisiplinan dari penelitian dan pendidikan dengan ekologi yang saling ketergantungan dengan melihat keseluruhan kosmos daripada dilihat dari perspektif mekanik seorang insinyur modern dalam mengontrol alam semesta dan terakhir…Pandangan Post Nasionalisme dimana rasa nasionalisme individu itu lebih besar dan digantikan dengan rasa yang lebih luas agar bagaimana caranya tercapai kesejahteraan di bumi sebagai poin yang pertama dan utama.
Pendek kata, postmodernisme menginginkan dunia menjadi organisme atau makhluk hidup daripada menjadi mesin, bumi sebagai rumah ketimbang berfungsi sebagai hak milik atau benda saja, dan setiap orang akan saling bergantung daripada terkucil dan hidup menyendiri. Konsep postmodern menyatakan tidak hanya bidang tertentu yang terlibat pada perpindahan masa ini, tetapi juga ada perubahan dramatis dalam pemikiran dimana akan memperkaya kesadaran akan postmodernisme.
2.2. Sudut Pandang Sejarah Kurikulum Sebagai Bahan Pelajaran
Chapter pertama telah memperkenalkan konsep interpretasi sejarah dari dua perspektif yang berbeda : perspektif pertama berhubungan dengan analisis objektif dan pengkategorian dari bidang informasi yang mempunyai nilai tersendiri. Penilaian ini menjadi objek yang bagus untuk dipelajari, karena untuk melewati berabad-abad, tentunya dalam masalah ini ada penjelasan secara logis berdasarkan perkembangan manusianya.
Di lain hal, perspektif kedua berhubungan dengan menginterpretasikan kembali, keunggulan dari pengalaman manusianya, kekuatan dari pengertian (arti) dan konteks, pembangunan konstruksi social, ketergantungan satu dengan yang lain akan waktu dan tempat. Pendek kata, sejarah memahami juga atas bedanya waktu dan tempat atau adanya hubungan erat antar relasi yang menyatukan waktu dan tempat.
Logika positivisme dan filsafat analisis pada umumnya berhubungan dengan perspektif yang pertama tadi. Ada juga para filosof yang ingin mengingkari analisis sejarah yang sudah berjalan karena adanya subjektifitas yang melekat yang berhubungan secara konteks kenyataan.
Kurikulum pendidikan postmodern akan memberikan argumen atas asumsi bahwa interpretasi secara sejarah harus diarahkan secara jelas ketepatannya bagi keilmuan dan ada nilai yang dominan bagi paradigma modern. Postmodernisme bisa dengan bebas untuk memilih sumber, inovatif, melakukan perbaikan, kritikan, penilaian subjektif akan interpretasi sejarah. Pengembangan kurikulum pada era postmodern akan memberikan argumen terhadap pendekatan tradisional atas logika positivisme modern kepada pelajaran sejarah sebagai sebuah peristiwa yang perlu dipelajari. Kurikulum postmodern akan mendorong refleksi autobiograpikhal, menjelaskan pengamatan yang didapat, memperbaiki hasil interpretasi dan mengerti secara kontekstual. Pengetahuan dipahami sebagai ketertarikan refleksi manusia, adanya nilai yang dianut, ada aksi yang dibangun secara sosial, seperti yang dijelaskan oleh Herbert Kliebard (1992):
          Kita selalu menghasilkan keputusan yang setengah sadar dan belum pasti bisa dikatakan sebagai ilmu pengetahuan karena keputusan yang tepat akan dimasukkan kedalam kurikulum kemudian sesudah itu ditemukan keputusan yang masuk akal dan jadi hasil keputusan. Keputusan setengah sadar akan ikut dalam berbagai contoh termasuk bahan-bahan keterikatan kelas sosial dan ketertarikan secara umum. Termasuk sejarah kurikulum tidak begitu terlibat dengan pertanyaan epistemologi tradisional dimana pertanyaannya itu mendekati gabungan antara pengetahuan sosiologi. Sejarah kurikulum dengan kata lain, berkonsentrasi secara kritis dengan apa yang akan diambil untuk dijadikan pengetahuan tentunya sesudah ada kepastian waktu dan tempat, daripada hanya membicarakan benar atau valid…. Pertanyaan fundamental harus ditempatkan dalam sejarah kurikulum, kemudian dalam hal ini akan tampak perbedaan antara mereka yang pergi ke sekolah dan yang tidak ke sekolah, lalu perkembangan sosial akan dibangun dalam pemahaman yang berbeda, kemudian akan ada kepastian dalam pemahamannya.

Kurikulum juga dipengaruhi oleh kondisi sosial dan nilai. Hubungan antara sosial kemasyarakatan dan kurikulum adalah hubungan timbal balik. Pada teks The Post Modern Condition , Lyotard (1984) menantang apapila ada dugaan secara total dan argumen mengenai Post Modernisme tidak dapat dipisahkan dari adanya ketidakpercayaan atau keraguan terhadap metanaratif. Bagi Lyotard, metanaratif adalah sekumpulan naratif dan sejarah filosofinya. Lyotard menyimpulkan, metanaratif modern menolak kekhususan, kemungkinan atau hal yang kebetulan, ironi, dan perbedaan.
Henry Giroux (1993), meringkaskan pendapat perspektif Lyotard mengenai postmodern dengan sangat ringkas :
      Pendapat Lyotard menghadirkan sebuah alasan dan consensus, ketika dimasukkan dengan penjelasan yang lengkap yang menyatukan sejarah, dimasukkan dengan emansipasi dan pengetahuan, dan Lyotard menolak implikasi mereka sendiri dalam menghasilkan pengetahuan dan kekuatan.

Perbincangan Kurikulum postmodern memahami sejarah secara kontekstual, multidimensional, ironik. Para pembelajar di postmodern tidak begitu mudah dalam menyederhanakan bagaimana mengajar sejarah, fakta bahwa sejarah harus dihafal. Karena hasil karya sendiri, lokal dan khusus yang begitu diperlukan untuk memahami sejarah, dan sekarang guru sudah harus mendengarkan para muridnya dan mendengarkan cerita kehidupan mereka.
Ketika diperkenalkan sejarah kurikulum kemungkinan nampak lebih sulit dan kontroversial bagi mereka yang baru mengenal mengenai kurikulum postmodern. Jadi untuk memahami Kurikulum postmodern, maka guru tidak hanya melihat muridnya dari kejauhan, tetapi guru juga harus masuk ke dalam proses yang terjadi pada murid-murid itu sendiri. Partisipasi ini sesuai yang dikemukakan oleh Jonathan Kozol ditujukan untuk belajar sosial di kelas. Sejarah, bagaimanapun dari perspektif postmodern tidak harus dilakukan dengan menghafal tetapi lebih dari itu, kesempatan untuk menginformasikan keadaan sekarang dan menyediakan jalan menuju masa depan. Transformatif pedagogy ditujukan untuk terciptanya partisipasi dalam pedidikan sejarah.
Perbedaan lain antara sudut pandang modern dan postmodern dilihat dari segi fungsi kurikulum studi sosial di sekolah bisa melalui lukisan pada poster yang dipasang di kelas yang bertema belajar sejarah pasti menarik. Gambar poster bisa berupa daftar gambar pekerjaan seorang arkeolog, kurator, penulis, kritikus, pejuang, antropologis, pustakawan atau guru. Hal ini pasti akan berhasil dan kemungkinan tujuan akan tercapai memahami sejarah. Yang mencolok, kurikulum postmodern menantang baik guru dan murid untuk masuk ke dalam proses sejarah sebagai pelaku di kelas, bukan sebagai pengamat.
Era postmodern pada intinya adalah bagaimana memasukkan lebih dari berbagai sumber untuk dipilih secara bebas, dan secara subjektif bisa dimengerti dan ada pemikiran kritis. Siswa jangan dibiarkan begitu saja dengan pemahaman yang dipunyainya tanpa dibimbing. Maka dari itu pendekatan modern terhadap ilmu pengetahuan dan sejarah berisikan informasi yang dibangun siswa itu sendiri. Kemudian siswa harus punya pengalaman sebelum dia mulai untuk berpikir kritis pada saat belajar. Kegiatan ini melibatkan kebenaran ilmu yang telah ditemukan pada waktu yang lalu, dan juga melibatkan analisis sejarah untuk menghasilkan pengetahuan yang baru.
Albert Einstein adalah salah satu contoh pembelajar yang berpikir postmodern jauh sebelum apa yang ditemukannya benar-benar sangat bermanfaat pada pandangan modern saat ini.
Para murid sering mengeluh mengenai pengalaman mereka karena rasa bosan ketika di kelas belajar mengenai sosial, khususnya sejarah. Jika ada salah satu disiplin ilmu dalam kurikulum sekolah seperti apa yang dicontohkan oleh Rorty akan adanya kegagalan behavioristik modern dan pendekatan analitik terhadap pendidikan, sudah pasti itu pasti kelas sejarah. Karena memang sejarah hanya terbatas pada peristiwa yang ada dan harus dihafal. Dalam hal ini kita tidak hanya mengajar, tapi bagaimana caranya belajar, sehingga siswa dapat mendemonstrasikan pemahamannya di kelas. Dari standar yang ada, untuk itulah dapat meyakinkan murid-murid di Amerika agar dapat menceritakan kembali apa yang telah dipelajarinya.
Schubert memberikan contoh kritikan postmodern terhadap pembelajaran sejarah tradisional :
           Pada awal 1970an, ada beberapa buku yang ditawarkan sebagai arahan untuk mengatur standar pendidikan, ini adalah teladan yang sempurna (Cubberly’s Public Education in the United States (1934) dan The History of Education (1920). Dan historis ini harus dilakukan perbaikan, dan pembelajaran yang tradisional erat hubungannya dengan miskinnya ilmu pengetahuan. Bahkan dapat dikatakan jauh dari apa yang namanya Mimpi Amerika.

Pada intinya Schubert mengatakan bahwa, post modern itu adalah perubahan dari pendekatan tradisional mengarah kepada analisis yang berkaitan dengan sejarah. Cain dan Cain memberikan dukungannya untuk kurikulum postmodern bahwa adanya cakupan kompleksitas, toleran terhadap perbedaan, menerima ketidakpastian, asli (otentik). Evaluasi menjadi kontekstual bagi lingkungan pengajaran individual.

2.3. Pengertian Kurikulum dan Pengajaran
Kurikulum pendidikan postmodern secara kritis menelaah sejarah dari perkembangan kurikulum yang ada pada konteks ilmu pendidikan masing-masing dalam rangka membangun perspektif partisipasi. Konsep sejarah baru dikenal mahasiswa yang lulus dari Teori Kurikulum di Louisiana State University pada tahun 1980an ini, lalu saya mengenalkan Post Modernisme dan diberitakan atas apa yang saya hasilkan secara ethnographic, dan metodologi yang fenomenologikal. Ini adalah waktu yang menyenangkan bagi saya menjadi Profesor Kurikulum dan juga sebagai mahasiswa. Professor William Pinar tiba di LSU sebagai Kepala Departemen Kurikulum dan Pengajaran dari Universitas of Rochester dimana dia selalu memperhatikan perubahan kurikulum yang bisa juga disebut dengan Rekonseptualisasi (pemahaman kembali). Pinar juga banyak membawa hasil bagian dari ilmu pendidikan yang digabungkan dengan rekonseptualisasi ke bagian departemen di LSU, termasuk juga Tony Whitson, seorang sarjana Camron McCarthy, feminis Leslie Roman, sarjana Post Modern William Doll dan dekonstruksionis asal Canada Jacques Daignault dan masih ada yang lainnya.
Secara berkala diadakan pertemuan untuk membahas masalah ini bersama-sama mahasiswa dan fakultas. Banyak alumni dan juga dari fakultas bersama-sama berkumpul mengikuti konferensi JCT (Journal of Curriculum Theorizing, now JCT: An Interdisciplinary Journal of Curriculum Studies) yang diselenggarakan di Bergamo Center di Dayton, Ohio setiap Oktober.
Konferensi ini tidak jauh berbeda dengan yang ada di University of Rochester pada tahun 1973, dimana Rekonseptualisasi Kurikulum Amerika masih terus berlangsung dipelajari hingga saat ini. Pada tahun 1978 publikasi dari JCT yang dimulai oleh Wiliam Pinar dan Janet Miller bertindak sebagai editor dan manajer editor pada journal tersebut. Pada tahun 1978, konferensi diadakan di Rochester Institute of Technology yang dikepalai oleh Professor Ronald Padgham. Lalu konferensi pindah ke Pusat Konferensi Airlie di Virginia dari tahun 1979 hingga 1982 (karena adanya pengaruh dari pembelajar Canada, maka konferensi pada tahun 1994 diadakan di Alberta di The Banff Conference Center. Sejak 1978 William Reynold dari Negara Oklahoma dan Joan Pagano dari Colgate University juga bertindak sebagai editor di JCT.
Lingkungan pergaulan yang diciptakan oleh JCT dan konferensi tahunan membuat rekonseptualisasi menjadi pengalaman yang tidak terlupakan bagi penulis, dengan berbagi konsep dari kurikulum itu dan menghasilkan susunan yang begitu luas dari para pembelajar internasional. Rekonseptualisasi ini akhirnya berlanjut yang memberikan pengaruh yang kuat dalam pengembangan kurikulum di tahun 1990an.
Sebagai mahasiswa baru di tingkat doktoral, saya tidak begitu mengenal dengan baik banyak ilmu pendidikan dan gabungan teori-teori dengan rekonseptualisasi. Buktinya, sebelum saya masuk ke dalam program di LSU, saya tidak pernah mendengar kata rekonseptualisasi digunakan pada konsep kurikulum. Saya bekerja sebagai guru bahasa Inggris di sekolah menengah dan berada dalam lingkungan doktoral sebagai pemula. Saya juga terdaftar sebagai anggota ASCD (Association for Supervision and Curriculum Development), NASSP (National Association of Secondary Schools Principals), dan NCEA (National Catholic Educational Association). Sejak pertengahan tahun 1970an saya banyak menghadiri konferensi tahunan di banyak organisasi nasional
Selama masa jabatan sebagai administrator diberbagai sekolah, saya selalu mendapatkan perubahan inovatif, teknologi baru, program perwilayah, membuat design materi kurikular, dan kesemuanya menjawab problem pendidikan yang saya hadapi. Secara intuitif disadari bahwa konsep perubahan ini tidak dapat selalu memperbaiki permasalahan sekolah apa yang terjadi di lokal dan nasional pada satu waktu. Bagaimanapun saya jarang sekali tersesat jauh dari Modelnya Tylerian, ataupun takut akan perubahan, penolakan alternative, atau jauhnya kesimpulan akhir dimana hal ini digunakan sebagai kerangka kerja. Pada prosesnya saya selalu “berburu” (Madeline’s Hunters Master Learning and Mastery Teaching) and Mengamati (Lee Canter’s Assertive Discipline). Kemudian saya “kumpulkan” (Alan Bloom’s Cultural Literacy), kemudian saya “munculkan” (George Bush’s America 2000). Saya belajar bagaimana caranya membuat sekolah supaya lebih efektif, sekolah yang amat dibutuhkan, sekolah yang jauh dari obat-obatan.
Dari segala usaha yang sudah saya lakukan akhirnya terbayarkan dengan mendapatkan gelar di tahun 1986 ketika saya meraih apa yang telah saya ajarkan pada saat itu adalah puncak dari perjuangan saya dalam pendidikan : Sangat Baik dalam Pendidikan. William Bennett, kemudian sekretaris pendidikan dibawah kepemimpinan Presiden Reagen, telah menerbitkan buku baru yang berjudul First Lessons, sebuah penjelasan untuk pengembangan kurikulum sekolah dasar. Sejalan dengan penerbitan ini, Departemen Pendidikan memprakarsai kompetisi untuk sekolah dasar yang lebih dulu popular di program sekolah menengah yang dimulai pada tahun 1983 yang diberi nama Excellence in Education.
Dua ratus sekolah dasar di Amerika yang telah mengirimkan contoh kurikulum dan pengajaran terbaiknya akan memenangkan hadiah dan akan diundang dan akan diterima di Gedung Putih oleh Presiden Reagan dan Sekretaris Bennett. Saya adalah kepala sekolah dari sekolah dasar di pedesaan saat itu, disaat itulah kompetisi diumumkan, semua pegawai, semua guru, dan pihak lainnya merasa tertantang untuk ikut serta. Lalu saya berlibur ke Orlando, Florida, dengan keluarga saya pada tanggal 4 Juli 1986, ketika para pemenang kompetisi tadi diumumkan, dan ternyata dari surat kabar yang saya baca, ternyata sekolah kami jadi pemenangnya.
Ketika saya kembali ke rumah dari berlibur, saya menemukan bahwa disitu ada kebanggaan yang terdapat pada komunitas tersebut. Penghargaan tersebut membawa media memberitakan kepada negara dan nasional sebagaimana para orang tua yang telah sukarela membantu, guru-guru yang berdedikasi dan khususnya anak-anak. Penghargaan ini diberikan sebagai promosi juga untuk menghilangkan ketidakyakinan dan pergesekan. Kemudian aku mempunyai pertanyaan, bagaimana kalau diadakan kompetisi lagi untuk membandingkan sekolah ditingkat nasional. Saat itu saya tidak sadar, bahwa pertanyan saya itu sebenarnya menuju kepada pemikiran postmodern. Kompetisi pada pencarian model-model baru yang akan menggantikan model lama semakin ingin diwujudkan.
Pada tahun setelah William Bennett menerima penghargaan, saya mendapatkan kesempatan untuk mengajar, menjadi pengurus, dan mengamati banyak kampus. Saya menemukan sebuah sekolah yang luar biasa dan belum banyak dikenal, tentu sekolah tersebut layak untuk mendapatkan Excellence Award (Blue Ribbon Schools). Saya juga sebagai kepala sekolah atau evaluator di sekolah lain yang telah menerima Blue Ribbon Schools Award, meskipun memang dalam komunitas sekolah mereka benar-benar merasa tidak enak untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pengalaman saya dengan program ini membawa saya untuk benar-benar memeriksa dengan seksama bagi mereka yang telah mengirimkan model kurikulum untuk dikompetiskan dan melihat kebebasan apa yang menjadi harapan postmodern.
Satu hal dari program pengembangan kurikulum tradisional dan penyusunan kembali merupakan suatu tujuan yang ingin dicapai.kelak, objek yang bisa diukur, penguasaan evaluasi dalam rangka untuk menghasilkan pendidikan yang lebih spesifik.
Rekonseptualisasi menunjukkan kepada saya untuk melihat secara kritis terhadap teori perkembangan kurikulum, dan tentunya menyediakan jalan lain bagi postmodern untuk berbenah diri dan ada program yang paling baik bagi implementasi pendidikan saat ini.
Salah satu pusat utama dari rekonseptualisasi adalah sangat memperhatikan hasil karya yang dihasilkan dan pengalaman fenomenologikal. Hal ini telah digambarkan oleh William Pinar dan Madeleine Grumet pada sebuah teks Toward a Poor Curriculum (Kurikulum yang jelek), dimana para pengarang menulis mengenai fokus perubahan studi tentang kurikulum. Pinar dan Grumet (1976) tertantang untuk fokus kepada pengalaman internal daripada objek eksternal. Para penulis Eksistensialis antara lain Jean-Paul Sartre, Friedrich Nietzshe, Martin Buber dan Soren Kierkegaard, Sigmund Freud dan Carl Jung juga berhubungan dengan teori kurikulum di atas.

2.4. Sekolah Post Modern, Kurikulum dan Teks Teologikal
Munculnya visi postmodern konstruktif sekolah dalam komunitas global termasuk adanya ekletik dan hubungan umum akan spiritualitas dan teologi yang disusun untuk pendidikan presfektif ini disebut penulis sebagai ideology modern sebaliknya prespektif yang kembali kepada tradisional disebut ideology premodern, dan premodern ini menentang adanya pemisahan antara agama dan pemerintahan.
Paulo Freire (1970) yang menyatakan masalah pendidikan tidak dapat dipisahkan dari politik, sosial dan ekonomi. Pada intinya teologi dan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari model pengembangan kurikulum. Kontribusi spiritualitas, teologi dan agama sekarang sudah mulai dimasukan menjadi sebuah gagasan kedalam perbaikan postmodern yang baru. Pengembangan spiritualitas, teologi, dan pendidikan agama kedalam visi postmodern sekolah diterima tanpa kritik.
Pendidikan postmodern belum menemukan jalan keluar dari dilema modern antar catatan sejarah dan agama di sekolah, dan kemudian presfektif lain sering memisahkan spiritualitas dan teologi dari kurikulum mereka. David Ray Griffin (1988) memasukan unsur nilai keagamaan dalam prespektif postmodern. William Doll menulis kurikulum postmodern adalah sebuah prakarsa dengan karakter kosmologikal yang memimpin untuk menjadikan individu secara spiritual. Gabriel Moran (1981) mengindikasikan bahwa pendapat ini dapat diterima secara akurat bagi pendidikan walaupun pendidikan agama bersifat universal. Berikut ini apa yang digambarkan oleh Eliot (1971) untuk keluar dari lingkaran yang membatasi kemajuan :
  • Lingkaran ide dan aksi tidak pernah berakhir.
  • Inovasi dan percobaan tidak pernah berakhir.
  • Bergerak menemukan pengetahuan, tidak diam.
  • Membicarakan pengetahuan, tidak sunyi.
  • Kata-kata pengetahuan bukan menolak kata-kata,
  • Mendekati mati, tidak dekat pula dengan Tuhan,
  • Dimana kehidupan yang selama ini hilang?
  • Dimana pengetahuan?
  • Lingkaran surga ada di abad dua puluh.
  • Jauh kita dari Tuhan, dekat untuk menjadi abu.

BAB III
ANALISIS
Istilah postmodern muncul dibeberapa bidang, untuk yang pertama kali istilah postmodernisme muncul dalam bidang seni yang dipakai oleh Federico de Onis dalam karyanya yang berjudul Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoamericana sekitar tahun 1930. Sedangkan dalam bidang historiografi istilah postmodernisme pertama kali digunakan oleh Arnold Toynbee dalam A Studi of History pada tahun 1974. Postmodernisme sendiri merupakan periode setelah modern, akan tetapi sampai sekarang ini pengertian tentangnya masih belum mendapatan kesepakatan. Seperti yang dikemukakan Sugiharto (2002: 50) bahwa :
Istilah postmodernisme dapat memiliki beberapa pengertian yang berbeda. Antara lain bisa berarti, aliran pemikiran filsafat; periodesasi sejarah berikut pergeseran paradigma di dalamnya; ataupun sikap dasar tertentu. Masing-masing pengertian tersebut memiliki konsekuensi logis yang berbeda meskipun saling berhubungan juga. Jika yang kita maksudkan adalah aliran filsafat, maka ia menunjuk terutama pada gagasan-gagasan Jean. F. Lyotard, yang paling eksplisit menggunakan istilah posmodernisme. Namun, jika yang kita maksudkan adalah periode sejarah baru yang meninggalkan kerangka berpikir modern, maka mereka yang paling sibuk memetakannya, antara lain, Jencks, Andreas Huysen, dan David Harvey. Dalam hal ini, orang bisa berdebat dengan sengit tentang waktu persis terjadinya pergeseran paradigma, serta apa yang sebenarnya bergeser di dalam perjalanan waktu. Bisa jadi pergeseran itu hanyalah radikalisasi dari segala kecenderungan modern sendiri. Di sini kita dapat melihat berbagai wacana para tokoh seperti Jurgen Habermas, Anthony Giddens, Ernest Gellner, dan lainnya.
Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam bagian pertama buku karya Slattery, dimana banyak pandangan ahli tentang istilah postmodernisme, Cynics mengatakan bahwa sebutan post modern itu tidak relevan karena pengertian postmodern sebenarnya sukar untuk dipahami dan saling bertentangan, dan didefinisikan berbeda oleh tiap-tiap penulis. Artinya konsep tentang postmodernisme sendiri masih kabur. Akan tetapi ada sebagian ahli yang berpendapat bahwa sebenarnya sekarang ini kita sedang berada di jaman postmodern. Di era postmodern tidak ada lagi kesepakatan universal, yang ada setiap orang berhak untuk memberikan dan menafsirkan makna terhadap segala sesuatu. Postmodernisme bisa dengan bebas untuk memilih, inovatif, melakukan perbaikan, memberikan kritikan, penilaian subjektif akan interpretasi.
Termasuk dalam pengembangan kurikulum, sebagaimana dikemukakan Herbert Kliebard (1992) “bahwa pengembangan kurikulum pada era postmodern akan memberikan argumen terhadap pendekatan tradisional atas logika positivisme modern kepada pelajaran sejarah sebagai sebuah peristiwa yang perlu dipelajari. Kurikulum postmodern akan mendorong refleksi autobiographikal, menjelaskan pengamatan, memperbaiki hasil interpretasi dan mengerti secara kontekstual. Pengetahuan akan dipahami sebagai ketertarikan refleksi manusia, adanya nilai yang dianut, ada aksi yang dibangun secara sosial”. Jika kita tarik dalam realitas pendidikan di negara kita, dimana kurikulum sekarang menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang memberikan keleluasaan sekolah untuk mengembangkan kurikulumnya sendiri. Sekolah bebas menafsirkan standar yang telah ditetapkan pemerintah pusat. Sebenarnya entah sadar atau tidak dalam dunia pendidikan kita telah masuk dalam postmodernisme pendidikan, kalau kita merujuk defenisi Herbert Kliebard tersebut.
Era postmodern bahwa perubahan yang terjadi melibatkan bagaimana caranya untuk melakukan pemikiran kembali atas apa yang akan menjadi tujuan utama untuk membentuk opini postmodern secara pasti. Namun konteks dalam pembahasan ini pada akhirnya tidak terlepas dari konteks teologikal, spiritualitas dan religius. Dimana ketiga hal ini (terdapat pada bagian empat) saling berhubungan dan ada yang mendukung bahwa harus ada pemisahan (sekuler) dan ada pula yang mendukung bahwa hubungan tadi diintegrasikan dalam pendidikan.
Kemudian timbul sebuah pertanyaan, mengapa justru ketiga hal tersebut di atas lantas menjadi bahasan utama untuk mendukung argumen-argumen akan perspektif postmodern yang sebenarnya. Apakah karena korelasi antara konsep teologikal, spiritualitas dan religius merupakan bahan perenungan untuk menjadikan individu itu menjadi lebih beradab dalam lingkungan yang sudah sangat maju sekaligus individu tadi memperhatikan aspek ekologikalnya. Jika memang demikian adanya, berarti hubungan antara bahasan utama tersebut jelas mendukung kekuatan argumen yang mempertahankan nilai konsep dari sebuah postmodern. Maka sudah bisa dijawab pula bahwa, kekuatan ketiga konsep tadi merupakan perspektif secara universal yang diyakini.
Perbedaan-perbedaan yang dihadirkan antara pre modern, modern dan post modern juga sudah sangat jelas. Nampak perbedaan cara berpikir, melangkah, paradigma yang tidak sama satu sama lainnya. Semua menjadi satu kesatuan dalam analisis, yaitu Tuhan sebagai pencipta, manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan alam semesta beserta segala aspek khususnya yang disini adalah aspek edukasinya.
Ternyata dalam konsep postmodernisme, kita sebagai educators atau pembelajar diharapkan untuk terus mampu bergerak jika memang ingin dikatakan masuk dalam kategori postmodern. Bagaimana caranya bergerak, dan bergerak yang seperti apa yang diharapkan oleh postmodern itu. Tentunya dalam hal ini, bergerak yang bisa dikatakan dalam menghasilkan konsep-konsep brilian seperti menemukan metode-metode baru, berpikir secara kritis tidak statis, melakukan yang tidak lazim dalam artian berbuat diluar aturan yang sebenarnya (rethinking). Sehingga dia dikatakan sudah melewati era modern dan bergabung ke dalam keluarga postmodern.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar