PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN SEBAGAI KONTRIBUSI UNTUK MENGEMBANGKAN KARAKTERISTIK
WARGA NEGARA
Oleh: Muhammad Mona Adha, S.Pd, M.Pd
Abstract
Cogan
(1998: 13) stated that citizenship education is:
“...
the contribution of education to the development of those
characteristics of being a citizen’ and the ‘process of teaching
society’s rules, institutions, and organizations, and the role of
citizens in the well-functioning of society’. Position of the
teacher play an important role to process the content of the material
to be delivered to students in the class. The more quality content
both in terms of material and strategies used by teachers, the better
outcome for students. Similar with that, Banks (1997: 99) teachers,
as well as other educators and leaders, must play an important role
in educating students from diverse groups to become effective
citizens in a democratic society. To become thoughtful and active
citizens, students must experience democracy in classrooms and in
schools. Action speaks much more cogently than words. Consequently,
how teachers respond to marginalized students in classroom will to a
great extent determine wheter they will experience democracy or
oppression in classrooms and schools.
Membekali Peserta Didik dengan
Kecakapan Hidup
Pembelajaran kita selama ini berjalan dengan
verbalistik dan berorientasi semata-mata kepada penguasaan isi dari
mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Pengamatan terhadap
praktek pembelajaran sehari-hari menunjukkan bahwa pembelajaran
difokuskan agar siswa menguasai informasi yang terkandung dalam
materi pelajaran dan kemudian dievaluasi seberapa jauh penguasaan itu
dicapai oleh siswa. Seakan-akan pembelajaran bertujuan untuk
menguasai isi dari mata pelajaran tersebut. Bagaimana keterkaitan
materi ajar dengan kehidupan sehari-hari dan bagaimana materi
tersebut dapat digunakan untuk memecahkan problema kehidupan, kurang
mendapat perhatian. Pembelajaran seakan terlepas dari kehidupan
sehari-hari, oleh karena itu siswa tidak mengetahui manfaat apa yang
dipelajari, seringkali tidak tahu bagaimana menggunakan apa yang
telah dipelajari dalam kehidupan siswa.
Berbicara mengenai pendidikan, maka tidak
terlepas dari bagiannya yaitu kurikulum. Suryadi dan Budimansyah
(2004: 180) mengemukakan bahwa kurikulum sekolah dewasa ini,
cenderung menjadi satu-satunya ‘kambing hitam’ yang dituduh
sebagai faktor yang mengakibatkan rendahnya mutu pendidikan. Berbagai
program peningkatan mutu pendidikan telah dilakukan melalui pembakuan
kurikulum sekolah tahun 1975-1976, perubahan kurikulum 1984, dan
perubahan kurikulum 1994. Namun sampai saat ini masih terdapat
beberapa masalah yang masih menghambat upaya peningkatan mutu, yang
sebenarnya boleh jadi bukan disebabkan oleh masalah kurikulum sekolah
yang tertulis. Permasalahan-permasalahan itu adalah sebagai berikut:
- Proses pembelajaran yang masih terlalu berorientasi terhadap penguasaan teori dan hafalan dalam semua bidang studi menyebabkan pengembangan kemampuan belajar dan penalaran bagi para siswa sebagai inti dari keberhasilan pendidikan menjadi terhambat bahkan cenderung terabaikan.
- Kurikulum sekolah yang terlalu terstruktur dan sarat beban mengakibatkan proses pembelajaran di sekolah menjadi steril dengan keadaan dan perubahan lingkungan fisik dan sosial yang terjadi di lingkungan. Keadaan ini menjadikan proses belajar menjadi rutin, tidak menarik, dan tidak mampu memupuk kreatifitas baik untuk murid, guru maupun pengelola pendidikan di sekolah-sekolah untuk mengembangkan pendekatan pembelajaran yang inovatif.
- Proses pendidikan dan pembelajaran yang belum dikendalikan oleh suatu sistem penilaian yang terpercaya telah menyebabkan mutu pendidikan belum termonitor secara teratur dan objektif. Sulitnya melakukan perbandingan mutu pendidikan antarwilayah, antardaerah, antarwaktu, antarnegara, dan sebagainya menyebabkan hasil-hasil evaluasi pendidikan tidak bisa berfungsi sebagai sarana umpan balik bagi penyempurnaan pendidikan.
Bertolak dari masalah tersebut, kiranya perlu
dilakukan langkah-langkah agar pendidikan dapat membekali peserta
didik dengan kecakapan hidup, yaitu kemampuan dan keberanian
menghadapi problema kehidupan, kemudian secara kreatif menemukan
solusi serta mampu mengatasinya. Pendidikan yang dapat mensinergikan
berbagai mata pelajaran/mata diklat/mata-kuliah menjadi kecakapan
hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia berada, bekerja atau
tidak bekerja, apapun profesinya. Dengan bekal kecakapan hidup yang
baik, diharapkan para lulusan akan mampu memecahkan problema
kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan
bagi mereka yang tidak melanjutkan pendidikannya. Dan juga dapat
“…mendorong keterbukaan intelektual, …” (Jawwad, 2004: 48).
Pembelajaran merupakan bagian atau elemen yang
memiliki peran yang sangat dominan untuk mewujudkan kualitas baik
proses maupun lulusan (output)
pendidikan. Dan hal ini pun sangat tergantung pada guru dalam
melaksanakan proses belajar mengajar di kelas. Hal ini senada dengan
apa yang dikemukakan oleh Muchith di bawah ini:
Artinya pembelajaran sangat tergantung dari
kemampuan guru dalam melaksanakan atau mengemas proses pembelajaran.
Pembelajaran yang dilaksanakan secara baik dan tepat akan memberikan
kontribusi sangat dominan bagi siswa, sebaliknya pembelajaran yang
dilaksanakan dengan cara yang tidak baik akan menyebabkan potensi
siswa sulit dikembangkan atau diberdayakan. (Muchith, 2008: 1)
Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan
bahwa, posisi guru memegang peranan penting untuk mengolah isi materi
yang akan disampaikan kepada siswa di kelas. Semakin berkualitas baik
itu dari segi isi materi dan strategi yang digunakan oleh guru, maka
akan semakin baik hasilnya bagi siswa.
Senada dengan pendapat di atas, Banks (1997:
99) mengemukakan bahwa
Teachers, as well as other educators and
leaders, must play an important role in educating students from
diverse groups to become effective citizens in a democratic society.
To become thoughtful and active citizens, students must experience
democracy in classrooms and in schools. Action speaks much more
cogently than words. Consequently, how teachers respond to
marginalized students in classroom will to a great extent determine
wheter they will experience democracy or oppression in classrooms and
schools.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan
bahwa guru sebagai pendidik dan pemimpin di kelas, hendaknya mampu
memegang peranan penting dalam memberikan pengajaran kepada siswa
walaupun mereka datang dari latar belakang yang berbeda untuk
menjadikan mereka sebagai warga negara yang baik dan cerdas dalam
kehidupan masyarakat yang demokratis, dan untuk menjadikan mereka
sebagai siswa yang dapat berperan serta serta memiliki pemikiran
yang baik.
Globalisasi
Bangsa Indonesia
tidak dapat
melepaskan
diri
dari pengaruh global. Hal ini telah kita sadari bahwa dalam era
globalisasi, batas-batas wilayah negara bukan lagi hambatan
bagi proses hubungan atau interaksi antar umat manusia di segala
aspek kehidupan dan kepentingan.
Perubahan-perubahan
yang terjadi pada
lingkungan strategis global disebabkan berbagai alasan yang dipicu
oleh perkembangan dan kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan
teknologi maupun karena perubahan tata nilai dalam kehidupan
masyarakat global. Kenichi
Ohmae mengatakan
bahwa ‘dalam
perkembangan masyarakat global, batas-batas wilayah negara dalam
arti geografis dan politik relatif tetap. Namun kehidupan dalam
suatu negara tidak mungkin dapat membatasi kekuatan global yang
berupa informasi, inovasi, dan industri yang membentuk peradaban
modern’ (Budimansyah, 2009:2).
Sehubungan
dengan hal itu Branson,
menyatakan
bahwa: ‘Globalization
and its potential for advancing or inhibiting human rights and
democracy is more than a subject for debate among academics. This
powerful force is affecting the lives of individuals no matter where
in this earth they live’ (Winataputra
dan Budimansyah,
2007:1).
Globalisasi
dengan semua potensi yang memungkinkan berkembangnya atau
tertundanya proses demokrasi dan pemajuan hak azasi manusia, lebih
dari sekedar sebagai wacana akademik. Kekuatan yang lebih dahsyat
adalah bahwa globalisasi itu akan mempengaruhi kehidupan manusia di
mana pun ia hidup.
Senada dengan pendapat di atas, Kalidjernih (2009:118) menyatakan
bahwa:
Globalisasi dapat
mendorong terbentuknya suatu budaya
global baru
yang lebih luas. Hal itu dapat berupa
globalisasi budaya, dengan
ditandai oleh aliran tanda-tanda, simbol-simbol dan globalisasi
informasi diseluruh dunia dan reaksi terhadap aliran ini. Kekuatan
ini memungkinkan jangkauan informasi yang luas sehingga dapat
dikonsumsi lebih banyak orang. Ini
berarti bahwa masyarakat diberbagai
pelosok dunia bukan hanya
berbagi pengetahuan melainkan juga berbagi
masalah, seperti kejahatan lintas negara.
Kita telah
memasuki sebuah kenyataan bahwa ekspansi proses transnasional dan
fleksibilitas
pergerakan populasi, kapital dan teknologi membawa tantangan
terhadap kedaulatan dan eksistensi negara bangsa.
Di satu
pihak, kemajuan teknologi informasi dan pertukaran gagasan secara
lintas batas. Di lain pihak, gerakan individu semakin fleksibel
dan kurang loyal pada tempat. Kondisi ini lazim dijuluki sebagai
krisis batas-batas (crisis
boundaries)
(Kalidjernih, 2007). Sehubungan dengan pernyataan tersebut,
dalam era global ini mau tidak mau diperlukan suatu bentuk program
pendidikan yang mampu mengakomodasi segala kecenderungan yang
mungkin timbul sebagai akibat dari proses globalisasi.
Karena masalah utama yang
sangat dirasakan oleh bangsa Indonesia dalam menghadapi era global
ini adalah keterbatasan sumber daya manusia yang berkualitas untuk
berpartisipasi dalam penyelenggaraan pembangunan, baik dalam lingkup
nasional ataupun internasional.
Untuk mengatasi masalah tersebut Parker,
Ninomiya, dan Cogan mengarahkannya
dengan membentuk “…a
curriculum geared to the development of “word citizens” who are
capable of dealing with the crisis, yang
diartikan sebagagi sebuah
program pendidikan yang mengembangkan warga dunia yang mampu
mengelola krisis”
(Winataputra dan Budimansyah, 2007:1).
Pendidikan
Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang di harapkan dapat
menjadi solusi dalam menghadapi era global, “...output-nya
mampu menampilkan sosok pengetahuan warga negara (a
body
of civic knowledge)
yang integratif dari hasil sinergi pengetahuan , keterampilan, dan
civic
virtue
secara fungsional”. Setiawan dalam Zuhud (2010). Pendidikan
Kewarganegaraan seharusnya berupaya membantu siswa dalam
mengembangkan pengetahuan dan identifikasi yang jelas tentang
masyarakat budaya dan negara bangsa mereka. Hal tersebut diperlukan
untuk membantu mereka dalam mengembangkan identifikasi global dan
pemahaman mendalam tentang peran mereka dalam masyarakat dunia. Para
siswa perlu memahami bagaimana hidup di dalam masyarakat budaya
mereka dan pengaruh satu negara terhadap negara lain serta keyakinan
bahwa kejadian internasional itu berakibat pada hidup mereka,
sehingga mereka akan siap terhadap segala kemungkinan yang akan
menimpa sebagai konsekuensi dari globalisasi. Hal tersebut sesuai
dengan apa yang dikemukakan oleh Banks
(2004:3-15)
bahwa:
Citizenship education should help students develop
thoughtful and clarified identifications with their cultural
communities and their nation-states. It should also help them to
develop clarified global identifications and deep understandings of
their roles in the world community. Students need to understand how
life in their cultural communities and nations influences other
nations and the cogent influence that international events have on
their daily lives.
Berdasarkan
pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa pendidikan kewarganegaraan
masa depan membutuhkan suatu paradigma baru sebagai konsekuensi
tuntutan globalisasi dan proses reformasi ke arah new
Indonesian civic education.
Menurut Azra dalam Zuhud (2010) “paradigma baru itu mau tidak
mau, melibatkan reformasi besar yang mencakup perubahan kebijakan
yang lebih terbuka, transparan, dan akuntabel”. Reformasi untuk
membangun paradigma baru ini dimulai dari aspek yang mendasar ,
yaitu reorientasi visi dan misi, revitalisasi fungsi dan peranan,
hingga restrukturisasi isi kurikulum dan materi pembelajaran.
Menurut Setiawan dalam Zuhud (2010) pendidikan kewarganegaraan dengan
paradigma baru mensyaratkan materi pembelajaran yang memuat
komponen-komponen pengetahuan , keterampilan, disposisi kepribadian
dapat bersinergi secara fungsional, bukan hanya dalam tataran
kehidupan berbangsa dan bernegara, melainkan juga dalam masyarakat
di era global. Hal tersebut digambarkan oleh Cogan (1998:13) bahwa
pendidikan kewarganegaraan sebagai: “...
the contribution of education to the development of those
characteristics of being a citizen’ and the ‘process of teaching
society’s rules, institutions, and organizations, and the role of
citizens in the well-functioning of society’. Pendidikan
Kewarganegaraan
digambarkan
sebagai ‘kontribusi pendidikan untuk pengembangan
karakteristik-karakteristik warganegara' dan 'proses tentang aturan
pengajaran masyarakat, institusi, dan organisasi-organisasi, dan
peran warga negara dalam masyarakat yang berfungsi secara baik'.
Menurut Dewey (2004) pendidikan yang
ditemukan dalam pengalaman kehidupan pasti menunjukan ketidakmantapan
dan kekacauan jika sekolah tidak diarahkan oleh konsepsi tertentu
tentang apakah pengalaman itu, pengalaman harus dimanfaatkan untuk
mengkaji sisi positif dan negatif dari suatu fenomena, dan ini
menjadikan suatu permasalahan yang menjadi bahan kajian. Oleh karena
itu perlu dibuat suatu program yang sistematis dan terorganisasi
dengan baik sehingga didapat suatu hasil yang maksimal dan memiliki
nilai manfaat bagi kita semua.
Zamroni dalam Zuhud
(2010) mengatakan bahwa
pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang
bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan
bertindak demokratis, melalui aktifitas menanamkan kesadaran kepada
generasi baru tentang kesadaran bahwa demokrasi adalah bentuk
kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga
masyarakat, demokrasi adalah suatu learning
process yang tidak
dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain; kelangsungan demokrasi
tergantung kepada kemampuan mentransformasikan nilai-nilai
demokrasi. Pemahaman lain mengatakan pendidikan adalah suatu
proses yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dimana seseorang
mempelajari orientasi, sikap dan perilaku politik sehingga yang
bersangkutan memiliki political
knowledge, awareness, attitude, political efficacy, dan political
participation
serta mampu mengambil suatu keputusan politik yang rasional.
Sekolah sebagai suatu lembaga
pendidikan melalui pendidikan kewarganegaraan berusaha menjadikan
dirinya sebagai sebuah lembaga yang mendidik siswa agar menjadi
generasi baru masyarakat yang mampu mentransformasi nilai-nilai
demokrasi dalam kehidupan dan memiliki kompetensi kewarganegaraan,
diantaranya pengetahuan kewarganegaraan yang dapat diperoleh melalui
berbagai sumber, seperti rumah sebagai salah satu lingkungan,
partisipasi dalam kelompok, pendidikan umum dan pendidikan
kewarganegaraan.
Guna menjawab tantangan ini dan
sekaligus menjadikan globalisasi sebagai suatu kesempatan dalam
mencari sebuah solusi bagaimana mencari konsepsi kewarganegaraan
yang tepat sesuai perkembangan jaman, maka mau tidak mau pendidikan
kewarganegaraan harus berkontribusi dalam memainkan peranan penting
pembangunan bangsa di era globalisasi.
Untuk itu Kalidjernih
(2009:123-124) mengemukakan bahwa
dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan perlu menekankan pada
dua persoalan yaitu: pertama
menstimulir peserta didik untuk terus menerus merefleksi tentang
makna dunia sosialnya, mereka perlu didorong untuk melihat bahwa
hubungan antara individu dan masyarakat tidak sekedar dimediasi
oleh norma-norma yang cenderung mengekang atau mendorong kepada
suatu cara tindakan tertentu. Mereka perlu melihat sistem
kemasyarakatan sebagai sumber daya atau pengetahuan yang
memberdayakan yang diperlukan untuk masuk ke dalam interaksi
sosial guna merespons pelbagai keadaan sosial ... Kedua
Pendidikan kewarganegaraan perlu menekankan kepada anak didik untuk
mempersiapkan diri lebih baik guna merespon terhadap kekuatan
global di Indonesia. Yang perlu ditekankan adalah bahwa generasi muda
kita tidak sekedar melakukan resistensi (counter
culture) belaka
tetapi meningkatkan pemahaman mereka terhadap kekuatan–kekuatan
tersebut dan merangkul mereka untuk berkompetisi dan menang di
tingkat global.
DePorter dalam Zuhud (2010) menjelaskan mengenai kiat, petunjuk,
strategi dan seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman
dan daya ingat, serta membuat belajar sebagai suatu proses yang
menyenangkan dan bermanfaat. Beberapa teknik yang dikemukakan
merupakan teknik meningkatkan kemampuan diri yang sudah populer
dan umum digunakan. Namun demikian DePorter mengembangkan
teknik-teknik yang sasaran akhirnya ditujukan untuk membantu para
siswa menjadi responsif dan bergairah dalam menghadapi tantangan
dan perubahan realitas, sehingga pada akhirnya diharapkan akan
tercapai suatu kecakapan kewarganegaraan (civic
skill)
yang dikembangkan dari pengetahuan kewarganegaraan (civic
knowledge),
yang memungkinkan masyarakat terutama para siswa mampu mengembangkan
diri sebagai warga negara yang tangguh dalam menghadapai dampak
globalisasi terhadap kewarganegaraan Indonesia, sehingga kedepan
akan terbangun suatu tatanan masyarakat Indonesia yang memiliki
kecakapan partisipasi (participation
skill)
dan kecakapan intelektual (intellectual
skill)
dalam proses demokrasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adha, M.M.
(2010). Model Project
Citizen
Untuk Meningkatkan Kecakapan Kewarganegaraan Pada Konsep Kemerdekaan
Mengemukakan Pendapat.
Tesis Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas
PendidikanIndonesia Bandung: tidak diterbitkan.
Banks, J.A.
(1997). Educating
Citizens in a Multicultural Society.
London: Teacher College Press.
Budimansyah, D.
(2008). PKN
dan Masyarakat Multikultural.
Bandung: Program Studi PKn SPs UPI.
Budimansyah, D. (2009) “Substansi
Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Global Citizenship Education”,
Makalah Seminar dan Workshop Pendidikan Warga Negara Global, di
Universitas Negeri Jakarta, 6 Juni 2009.
Cogan, J.J.
(1998). Citizenship
for the 21st
Century: An International Perspective on Education.
London: Kogan Page Limited.
Dewey, John
(2004). Experience
and Education: Pendidikan berbasis Pengalaman.
(Alih Bahasa Hani’ah) Taraju: Jakarta.
Jawwad, A.B.
(2004). Mengembangkan
Inovasi dan Kreatifitas Berpikir Pada Diri dan Organisasi Anda.
Bandung: PT. Syaamil Cipta Media.
Kalidjernih,
F.K. (2009). Puspa
Ragam Konsep dan Isu Kewarganegaraan.
Bandung: Widya Aksara Press.
Muchith, S.
(2008). Pembelajaran
Kontekstual.
Semarang: Rasail.
Suryadi, A,
Budimansyah, D. (2004). Pendidikan
Nasional Menuju Masyarakat Indonesia Baru.
Bandung: Genesindo.
Winataputra,
U.S. dan Budimansyah, D. (2007) Civic Education, Konteks, Landasan,
Bahan Ajar Dan Kultur Kelas. Bandung: Program Pendidikan
Kewarganegaraan, Sekolah Pasca Sarjana UPI.
Zuhud, N.
(2010). Efektivitas
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Dengan Model Quantum Teaching
Dalam Meningkatkan Pengetahuan Kewarganegaraan Siswa SMK Dalam Konsep
Globalisasi.
Tesis Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan
Indonesia Bandung: tidak diterbitkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar