Pages - Menu

Senin, 06 Mei 2013

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI KONTRIBUSI UNTUK MENGEMBANGKAN KARAKTERISTIK WARGA NEGARA


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI KONTRIBUSI UNTUK MENGEMBANGKAN KARAKTERISTIK WARGA NEGARA
Oleh: Muhammad Mona Adha, S.Pd, M.Pd

Abstract
Cogan (1998: 13) stated that citizenship education is: “... the contribution of education to the development of those characteristics of being a citizen’ and the ‘process of teaching society’s rules, institutions, and organizations, and the role of citizens in the well-functioning of society’. Position of the teacher play an important role to process the content of the material to be delivered to students in the class. The more quality content both in terms of material and strategies used by teachers, the better outcome for students. Similar with that, Banks (1997: 99) teachers, as well as other educators and leaders, must play an important role in educating students from diverse groups to become effective citizens in a democratic society. To become thoughtful and active citizens, students must experience democracy in classrooms and in schools. Action speaks much more cogently than words. Consequently, how teachers respond to marginalized students in classroom will to a great extent determine wheter they will experience democracy or oppression in classrooms and schools.


Membekali Peserta Didik dengan Kecakapan Hidup
Pembelajaran kita selama ini berjalan dengan verbalistik dan berorientasi semata-mata kepada penguasaan isi dari mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Pengamatan terhadap praktek pembelajaran sehari-hari menunjukkan bahwa pembelajaran difokuskan agar siswa menguasai informasi yang terkandung dalam materi pelajaran dan kemudian dievaluasi seberapa jauh penguasaan itu dicapai oleh siswa. Seakan-akan pembelajaran bertujuan untuk menguasai isi dari mata pelajaran tersebut. Bagaimana keterkaitan materi ajar dengan kehidupan sehari-hari dan bagaimana materi tersebut dapat digunakan untuk memecahkan problema kehidupan, kurang mendapat perhatian. Pembelajaran seakan terlepas dari kehidupan sehari-hari, oleh karena itu siswa tidak mengetahui manfaat apa yang dipelajari, seringkali tidak tahu bagaimana menggunakan apa yang telah dipelajari dalam kehidupan siswa.
Berbicara mengenai pendidikan, maka tidak terlepas dari bagiannya yaitu kurikulum. Suryadi dan Budimansyah (2004: 180) mengemukakan bahwa kurikulum sekolah dewasa ini, cenderung menjadi satu-satunya ‘kambing hitam’ yang dituduh sebagai faktor yang mengakibatkan rendahnya mutu pendidikan. Berbagai program peningkatan mutu pendidikan telah dilakukan melalui pembakuan kurikulum sekolah tahun 1975-1976, perubahan kurikulum 1984, dan perubahan kurikulum 1994. Namun sampai saat ini masih terdapat beberapa masalah yang masih menghambat upaya peningkatan mutu, yang sebenarnya boleh jadi bukan disebabkan oleh masalah kurikulum sekolah yang tertulis. Permasalahan-permasalahan itu adalah sebagai berikut:
  1. Proses pembelajaran yang masih terlalu berorientasi terhadap penguasaan teori dan hafalan dalam semua bidang studi menyebabkan pengembangan kemampuan belajar dan penalaran bagi para siswa sebagai inti dari keberhasilan pendidikan menjadi terhambat bahkan cenderung terabaikan.
  2. Kurikulum sekolah yang terlalu terstruktur dan sarat beban mengakibatkan proses pembelajaran di sekolah menjadi steril dengan keadaan dan perubahan lingkungan fisik dan sosial yang terjadi di lingkungan. Keadaan ini menjadikan proses belajar menjadi rutin, tidak menarik, dan tidak mampu memupuk kreatifitas baik untuk murid, guru maupun pengelola pendidikan di sekolah-sekolah untuk mengembangkan pendekatan pembelajaran yang inovatif.
  3. Proses pendidikan dan pembelajaran yang belum dikendalikan oleh suatu sistem penilaian yang terpercaya telah menyebabkan mutu pendidikan belum termonitor secara teratur dan objektif. Sulitnya melakukan perbandingan mutu pendidikan antarwilayah, antardaerah, antarwaktu, antarnegara, dan sebagainya menyebabkan hasil-hasil evaluasi pendidikan tidak bisa berfungsi sebagai sarana umpan balik bagi penyempurnaan pendidikan.
Bertolak dari masalah tersebut, kiranya perlu dilakukan langkah-langkah agar pendidikan dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup, yaitu kemampuan dan keberanian menghadapi problema kehidupan, kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya. Pendidikan yang dapat mensinergikan berbagai mata pelajaran/mata diklat/mata-kuliah menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya. Dengan bekal kecakapan hidup yang baik, diharapkan para lulusan akan mampu memecahkan problema kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan bagi mereka yang tidak melanjutkan pendidikannya. Dan juga dapat “…mendorong keterbukaan intelektual, …” (Jawwad, 2004: 48).
Pembelajaran merupakan bagian atau elemen yang memiliki peran yang sangat dominan untuk mewujudkan kualitas baik proses maupun lulusan (output) pendidikan. Dan hal ini pun sangat tergantung pada guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar di kelas. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Muchith di bawah ini:
Artinya pembelajaran sangat tergantung dari kemampuan guru dalam melaksanakan atau mengemas proses pembelajaran. Pembelajaran yang dilaksanakan secara baik dan tepat akan memberikan kontribusi sangat dominan bagi siswa, sebaliknya pembelajaran yang dilaksanakan dengan cara yang tidak baik akan menyebabkan potensi siswa sulit dikembangkan atau diberdayakan. (Muchith, 2008: 1)
Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa, posisi guru memegang peranan penting untuk mengolah isi materi yang akan disampaikan kepada siswa di kelas. Semakin berkualitas baik itu dari segi isi materi dan strategi yang digunakan oleh guru, maka akan semakin baik hasilnya bagi siswa.
Senada dengan pendapat di atas, Banks (1997: 99) mengemukakan bahwa
Teachers, as well as other educators and leaders, must play an important role in educating students from diverse groups to become effective citizens in a democratic society. To become thoughtful and active citizens, students must experience democracy in classrooms and in schools. Action speaks much more cogently than words. Consequently, how teachers respond to marginalized students in classroom will to a great extent determine wheter they will experience democracy or oppression in classrooms and schools.

Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa guru sebagai pendidik dan pemimpin di kelas, hendaknya mampu memegang peranan penting dalam memberikan pengajaran kepada siswa walaupun mereka datang dari latar belakang yang berbeda untuk menjadikan mereka sebagai warga negara yang baik dan cerdas dalam kehidupan masyarakat yang demokratis, dan untuk menjadikan mereka sebagai siswa yang dapat berperan serta serta memiliki pemikiran yang baik.
Globalisasi
Bangsa Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh global. Hal ini telah kita sadari bahwa dalam era globalisasi, batas-batas wilayah negara bukan lagi hambatan bagi proses hubungan atau interaksi antar umat manusia di segala aspek kehidupan dan kepentingan. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan strategis global disebabkan berbagai alasan yang dipicu oleh perkembangan dan kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi maupun karena perubahan tata nilai dalam kehidupan masyarakat global. Kenichi Ohmae mengatakan bahwa dalam perkembangan masyarakat global, batas-batas wilayah negara dalam arti geografis dan politik relatif tetap. Namun kehidupan dalam suatu negara tidak mungkin dapat membatasi kekuatan global yang berupa informasi, inovasi, dan industri yang membentuk peradaban modern’ (Budimansyah, 2009:2). Sehubungan dengan hal itu Branson, menyatakan bahwa: ‘Globalization and its potential for advancing or inhibiting human rights and democracy is more than a subject for debate among academics. This powerful force is affecting the lives of individuals no matter where in this earth they live’ (Winataputra dan Budimansyah, 2007:1). Globalisasi dengan semua potensi yang memungkinkan berkembangnya atau tertundanya proses demokrasi dan pemajuan hak azasi manusia, lebih dari sekedar sebagai wacana akademik. Kekuatan yang lebih dahsyat adalah bahwa globalisasi itu akan mempengaruhi kehidupan manusia di mana pun ia hidup. Senada dengan pendapat di atas, Kalidjernih (2009:118) menyatakan bahwa:
Globalisasi dapat mendorong terbentuknya suatu budaya global baru yang lebih luas. Hal itu dapat berupa globalisasi budaya, dengan ditandai oleh aliran tanda-tanda, simbol-simbol dan globalisasi informasi diseluruh dunia dan reaksi terhadap aliran ini. Kekuatan ini memungkinkan jangkauan informasi yang luas sehingga dapat dikonsumsi lebih banyak orang. Ini berarti bahwa masyarakat diberbagai pelosok dunia bukan hanya berbagi pengetahuan melainkan juga berbagi masalah, seperti kejahatan lintas negara.

Kita telah memasuki sebuah kenyataan bahwa ekspansi proses transnasional dan fleksibilitas pergerakan populasi, kapital dan teknologi membawa tantangan terhadap kedaulatan dan eksistensi negara bangsa. Di satu pihak, kemajuan teknologi informasi dan pertukaran gagasan secara lintas batas. Di lain pihak, gerakan individu semakin fleksibel dan kurang loyal pada tempat. Kondisi ini lazim dijuluki sebagai krisis batas-batas (crisis boundaries) (Kalidjernih, 2007). Sehubungan dengan pernyataan tersebut, dalam era global ini mau tidak mau diperlukan suatu bentuk program pendidikan yang mampu mengakomodasi segala kecenderungan yang mungkin timbul sebagai akibat dari proses globalisasi. Karena masalah utama yang sangat dirasakan oleh bangsa Indonesia dalam menghadapi era global ini adalah keterbatasan sumber daya manusia yang berkualitas untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pembangunan, baik dalam lingkup nasional ataupun internasional. Untuk mengatasi masalah tersebut Parker, Ninomiya, dan Cogan mengarahkannya dengan membentuk “…a curriculum geared to the development of “word citizens” who are capable of dealing with the crisis, yang diartikan sebagagi sebuah program pendidikan yang mengembangkan warga dunia yang mampu mengelola krisis (Winataputra dan Budimansyah, 2007:1).
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang di harapkan dapat menjadi solusi dalam menghadapi era global, “...output-nya mampu menampilkan sosok pengetahuan warga negara (a body of civic knowledge) yang integratif dari hasil sinergi pengetahuan , keterampilan, dan civic virtue secara fungsional”. Setiawan dalam Zuhud (2010). Pendidikan Kewarganegaraan seharusnya berupaya membantu siswa dalam mengembangkan pengetahuan dan identifikasi yang jelas tentang masyarakat budaya dan negara bangsa mereka. Hal tersebut diperlukan untuk membantu mereka dalam mengembangkan identifikasi global dan pemahaman mendalam tentang peran mereka dalam masyarakat dunia. Para siswa perlu memahami bagaimana hidup di dalam masyarakat budaya mereka dan pengaruh satu negara terhadap negara lain serta keyakinan bahwa kejadian internasional itu berakibat pada hidup mereka, sehingga mereka akan siap terhadap segala kemungkinan yang akan menimpa sebagai konsekuensi dari globalisasi. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Banks (2004:3-15) bahwa:
Citizenship education should help students develop thoughtful and clarified identifications with their cultural communities and their nation-states. It should also help them to develop clarified global identifications and deep understandings of their roles in the world community. Students need to understand how life in their cultural communities and nations influences other nations and the cogent influence that international events have on their daily lives.

Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa pendidikan kewarganegaraan masa depan membutuhkan suatu paradigma baru sebagai konsekuensi tuntutan globalisasi dan proses reformasi ke arah new Indonesian civic education. Menurut Azra dalam Zuhud (2010) “paradigma baru itu mau tidak mau, melibatkan reformasi besar yang mencakup perubahan kebijakan yang lebih terbuka, transparan, dan akuntabel”. Reformasi untuk membangun paradigma baru ini dimulai dari aspek yang mendasar , yaitu reorientasi visi dan misi, revitalisasi fungsi dan peranan, hingga restrukturisasi isi kurikulum dan materi pembelajaran. Menurut Setiawan dalam Zuhud (2010) pendidikan kewarganegaraan dengan paradigma baru mensyaratkan materi pembelajaran yang memuat komponen-komponen pengetahuan , keterampilan, disposisi kepribadian dapat bersinergi secara fungsional, bukan hanya dalam tataran kehidupan berbangsa dan bernegara, melainkan juga dalam masyarakat di era global. Hal tersebut digambarkan oleh Cogan (1998:13) bahwa pendidikan kewarganegaraan sebagai: “... the contribution of education to the development of those characteristics of being a citizen’ and the ‘process of teaching society’s rules, institutions, and organizations, and the role of citizens in the well-functioning of society’. Pendidikan Kewarganegaraan digambarkan sebagai ‘kontribusi pendidikan untuk pengembangan karakteristik-karakteristik warganegara' dan 'proses tentang aturan pengajaran masyarakat, institusi, dan organisasi-organisasi, dan peran warga negara dalam masyarakat yang berfungsi secara baik'.
Menurut Dewey (2004) pendidikan yang ditemukan dalam pengalaman kehidupan pasti menunjukan ketidakmantapan dan kekacauan jika sekolah tidak diarahkan oleh konsepsi tertentu tentang apakah pengalaman itu, pengalaman harus dimanfaatkan untuk mengkaji sisi positif dan negatif dari suatu fenomena, dan ini menjadikan suatu permasalahan yang menjadi bahan kajian. Oleh karena itu perlu dibuat suatu program yang sistematis dan terorganisasi dengan baik sehingga didapat suatu hasil yang maksimal dan memiliki nilai manfaat bagi kita semua. Zamroni dalam Zuhud (2010) mengatakan bahwa pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktifitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru tentang kesadaran bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat, demokrasi adalah suatu learning process yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain; kelangsungan demokrasi tergantung kepada kemampuan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi. Pemahaman lain mengatakan pendidikan adalah suatu proses yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dimana seseorang mempelajari orientasi, sikap dan perilaku politik sehingga yang bersangkutan memiliki political knowledge, awareness, attitude, political efficacy, dan political participation serta mampu mengambil suatu keputusan politik yang rasional.
Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan melalui pendidikan kewarganegaraan berusaha menjadikan dirinya sebagai sebuah lembaga yang mendidik siswa agar menjadi generasi baru masyarakat yang mampu mentransformasi nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan dan memiliki kompetensi kewarganegaraan, diantaranya pengetahuan kewarganegaraan yang dapat diperoleh melalui berbagai sumber, seperti rumah sebagai salah satu lingkungan, partisipasi dalam kelompok, pendidikan umum dan pendidikan kewarganegaraan.
Guna menjawab tantangan ini dan sekaligus menjadikan globalisasi sebagai suatu kesempatan dalam mencari sebuah solusi bagaimana mencari konsepsi kewarganegaraan yang tepat sesuai perkembangan jaman, maka mau tidak mau pendidikan kewarganegaraan harus berkontribusi dalam memainkan peranan penting pembangunan bangsa di era globalisasi. Untuk itu Kalidjernih (2009:123-124) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan perlu menekankan pada dua persoalan yaitu: pertama menstimulir peserta didik untuk terus menerus merefleksi tentang makna dunia sosialnya, mereka perlu didorong untuk melihat bahwa hubungan antara individu dan masyarakat tidak sekedar dimediasi oleh norma-norma yang cenderung mengekang atau mendorong kepada suatu cara tindakan tertentu. Mereka perlu melihat sistem kemasyarakatan sebagai sumber daya atau pengetahuan yang memberdayakan yang diperlukan untuk masuk ke dalam interaksi sosial guna merespons pelbagai keadaan sosial ... Kedua Pendidikan kewarganegaraan perlu menekankan kepada anak didik untuk mempersiapkan diri lebih baik guna merespon terhadap kekuatan global di Indonesia. Yang perlu ditekankan adalah bahwa generasi muda kita tidak sekedar melakukan resistensi (counter culture) belaka tetapi meningkatkan pemahaman mereka terhadap kekuatan–kekuatan tersebut dan merangkul mereka untuk berkompetisi dan menang di tingkat global.
DePorter dalam Zuhud (2010) menjelaskan mengenai kiat, petunjuk, strategi dan seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman dan daya ingat, serta membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Beberapa teknik yang dikemukakan merupakan teknik meningkatkan kemampuan diri yang sudah populer dan umum digunakan. Namun demikian DePorter mengembangkan teknik-teknik yang sasaran akhirnya ditujukan untuk membantu para siswa menjadi responsif dan bergairah dalam menghadapi tantangan dan perubahan realitas, sehingga pada akhirnya diharapkan akan tercapai suatu kecakapan kewarganegaraan (civic skill) yang dikembangkan dari pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), yang memungkinkan masyarakat terutama para siswa mampu mengembangkan diri sebagai warga negara yang tangguh dalam menghadapai dampak globalisasi terhadap kewarganegaraan Indonesia, sehingga kedepan akan terbangun suatu tatanan masyarakat Indonesia yang memiliki kecakapan partisipasi (participation skill) dan kecakapan intelektual (intellectual skill) dalam proses demokrasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adha, M.M. (2010). Model Project Citizen Untuk Meningkatkan Kecakapan Kewarganegaraan Pada Konsep Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat. Tesis Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas PendidikanIndonesia Bandung: tidak diterbitkan.

Banks, J.A. (1997). Educating Citizens in a Multicultural Society. London: Teacher College Press.

Budimansyah, D. (2008). PKN dan Masyarakat Multikultural. Bandung: Program Studi PKn SPs UPI.

Budimansyah, D. (2009) “Substansi Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Global Citizenship Education”, Makalah Seminar dan Workshop Pendidikan Warga Negara Global, di Universitas Negeri Jakarta, 6 Juni 2009.

Cogan, J.J. (1998). Citizenship for the 21st Century: An International Perspective on Education. London: Kogan Page Limited.

Dewey, John (2004). Experience and Education: Pendidikan berbasis Pengalaman. (Alih Bahasa Hani’ah) Taraju: Jakarta.

Jawwad, A.B. (2004). Mengembangkan Inovasi dan Kreatifitas Berpikir Pada Diri dan Organisasi Anda. Bandung: PT. Syaamil Cipta Media.

Kalidjernih, F.K. (2009). Puspa Ragam Konsep dan Isu Kewarganegaraan. Bandung: Widya Aksara Press.

Muchith, S. (2008). Pembelajaran Kontekstual. Semarang: Rasail.

Suryadi, A, Budimansyah, D. (2004). Pendidikan Nasional Menuju Masyarakat Indonesia Baru. Bandung: Genesindo.

Winataputra, U.S. dan Budimansyah, D. (2007) Civic Education, Konteks, Landasan, Bahan Ajar Dan Kultur Kelas. Bandung: Program Pendidikan Kewarganegaraan, Sekolah Pasca Sarjana UPI.

Zuhud, N. (2010). Efektivitas Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Dengan Model Quantum Teaching Dalam Meningkatkan Pengetahuan Kewarganegaraan Siswa SMK Dalam Konsep Globalisasi. Tesis Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: tidak diterbitkan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar