Pages - Menu

Rabu, 19 Juni 2013

Pendidikan Kewarganegaraan, Pembangunan Civil-Society, dan Kebijakan Publik



PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN, PEMBANGUNAN CIVIL –SOCIETY, DAN KEBIJAKAN PUBLIK
Oleh
Muhammad Mona Adha

ABSTRAK
Bangsa Indonesia pada saat ini sedang mengalami transisi demokrasi, oleh karena itulah dibutuhkan perluasan pemahaman dan pemaknaan secara lugas mengenai konsep-konsep dasar politik dan kebijakan publik yang dibutuhkan pada zaman yang terus berkembang ini. Kebijakan publik diupayakan sebagai wahana untuk menciptakan kesetimbangan antara state, market, dan civil-society. Kemudian bagaimana juga keterkaitan antara konsep politik dengan kebijakan publik, keterkaitan antara kekuasaan politik dan proses pengambilan keputusan, peran partai politik dan kelompok kepentingan dalam memformulasikan kebijakan publik dan implementasi dari kebijakan publik, evaluasi dan dampaknya, serta bagaimana seharusnya kebijakan publik itu berfungsi.

Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan kewarganegaraan saat ini tengah berupaya mengembangkan paradigma baru pendidikan kewarganegaraan (PKn/Civic or Citizenship Education). Dalam paradigm baru PKn tersebut dijelaskan bahwa visi PKn ke depan adalah sebagai education about, through, and for citizenship (CICED, 2000; QCA, 1999 dalam Winataputra, 2002).
Sejalan dengan visi tersebut dalam paradigma baru Pkn abad XXI itu juga disebutkan bahwa ke depan Pkn memiliki misi sosio-pedagogis, sosio-akademis, dan sosio-kultural yang memungkinkan pengembangan dan pembinaan civic knowledge, civic virtue, dan civic culture secara terpadu dan berkesinambungan (Winataputra, 2001). Di samping itu, relevan dengan upaya demokratisasi di Indonesia, PKn juga mengemban misi learning democracy, in democracy, and for democracy (Winataputra, 2001). Kesemua misi PKn di atas pada dasarnya bertujuan untuk mengembangkan civic intelligence dan civic participation setiap warga negara Indonesia ke depan (Cogan, 1999).
Pembelajaran kita selama ini berjalan dengan verbalistik dan berorientasi semata-mata kepada penguasaan isi dari mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Pengamatan terhadap praktek pendidikan sehari-hari menunjukkan bahwa pembelajaran difokuskan agar siswa menguasai informasi yang terkandung dalam materi pelajaran dan kemudian dievaluasi dari seberapa jauh penguasaan itu dicapai oleh siswa. Seakan-akan pembelajaran bertujuan untuk menguasai isi dari mata pelajaran tersebut. Bagaimana keterkaitan materi ajar dengan kehidupan sehari-hari dan bagaimana materi tersebut dapat digunakan untuk memecahkan problema kehidupan, kurang mendapat perhatian. Pendidikan seakan terlepas dari kehidupan keseharian, seakan-akan pendidikan untuk pendidikan atau pendidikan tidak terkait dengan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu siswa tidak mengetahui manfaat apa yang dipelajari, seringkali tidak tahu bagaimana menggunakan apa yang telah dipelajari dalam kehidupan siswa.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Sukadi (2007: 739), bahwa pendidikan kewarganegaraan selama ini hanya menekankan pentingnya pengetahuan kewarganegaraan tanpa mempunyai implikasi sosial budaya yang positif kepada kehidupan sosial bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Dengan demikian konsekuensinya, banyak warga negara yang telah memahami konsep, sikap, nilai, norma, dan nilai-nilai luhur lainnya, hubungan warga negara dengan negara, hak dan kewajiban warga negara, dan pendidikan awal bela negara, tetapi itu baru hanya sebatas pengetahuan hafalan yang bersifat teoritis saja. Itupun sebatas pengetahuan level rendah. Sementara itu, pemahaman dan wawasan, sikap, rasa percaya diri, komitmen, dan perilaku bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara masih jauh dari pencerminan karakter warga negara yang baik, yang dapat diandalkan untuk kepentingan bangsa dan negara.
Berbicara mengenai pendidikan, maka tidak terlepas dari bagiannya yaitu kurikulum. Suryadi dan Budimansyah (2004: 180) mengemukakan bahwa kurikulum sekolah dewasa ini, cenderung menjadi satu-satunya ‘kambing hitam’ yang dituduh seolah-olah sebagai faktor yang mengakibatkan rendahnya mutu pendidikan. Berbagai program peningkatan mutu pendidikan telah dilakukan melalui pembakuan kurikulum sekolah tahun 1975-1976, perubahan kurikulum 1984, dan perubahan kurikulum 1994. Namun sampai saat ini masih terdapat beberapa masalah yang masih menghambat upaya peningkatan mutu, yang sebenarnya boleh jadi bukan disebabkan oleh masalah kurikulum sekolah yang tertulis. Permasalahan-permasalahan itu adalah sebagai berikut:
  1. Proses pembelajaran yang masih terlalu berorientasi terhadap penguasaan teori dan hafalan dalam semua bidang studi menyebabkan pengembangan kemampuan belajar dan penalaran bagi para siswa sebagai inti dari keberhasilan pendidikan menjadi terhambat bahkan cenderung terabaikan.
  2. Kurikulum sekolah yang terlalu terstruktur dan sarat beban mengakibatkan proses pembelajaran di sekolah menjadi steril dengan keadaan dan perubahan lingkungan fisik dan sosial yang terjadi di lingkungan. Keadaan ini menjadikan proses belajar menjadi rutin, tidak menarik, dan tidak mampu memupuk kreatifitas baik untuk murid, guru maupun pengelola pendidikan di sekolah-sekolah untuk mengembangkan pendekatan pembelajaran yang inovatif.
  3. Proses pendidikan dan pembelajaran yang belum dikendalikan oleh suatu sistem penilaian yang terpercaya telah menyebabkan mutu pendidikan belum termonitor secara teratur dan objektif. Sulitnya melakukan perbandingan mutu pendidikan antarwilayah, antardaerah, antarwaktu, antarnegara, dan sebagainya menyebabkan hasil-hasil evaluasi pendidikan tidak bisa berfungsi sebagai sarana umpan balik bagi penyempurnaan pendidikan.
Bertolak dari masalah tersebut, kiranya perlu dilakukan langkah-langkah agar pendidikan dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup, yaitu kemampuan dan keberanian menghadapi problema kehidupan, kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya. Pendidikan yang dapat mensinergikan berbagai mata pelajaran/mata diklat/mata-kuliah menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya. Dengan bekal kecakapan hidup yang baik, diharapkan para lulusan akan mampu memecahkan problema kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan bagi mereka yang tidak melanjutkan pendidikannya. Dan juga dapat “…mendorong keterbukaan intelektual, …” (Jawwad, 2004: 48).
Pembelajaran merupakan bagian atau elemen yang memiliki peran yang sangat dominan untuk mewujudkan kualitas baik proses maupun lulusan (output) pendidikan. Dan hal ini pun sangat tergantung pada guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar di kelas. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Muchith di bawah ini:
Artinya pembelajaran sangat tergantung dari kemampuan guru dalam melaksanakan atau mengemas proses pembelajaran. Pembelajaran yang dilaksanakan secara baik dan tepat akan memberikan kontribusi sangat dominan bagi siswa, sebaliknya pembelajaran yang dilaksanakan dengan cara yang tidak baik akan menyebabkan potensi siswa sulit dikembangkan atau diberdayakan. (Muchith, 2008: 1)
Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa, posisi guru memegang peranan penting untuk mengolah isi materi yang akan disampaikan kepada siswa di kelas. Semakin berkualitas baik itu dari segi isi materi dan strategi yang digunakan oleh guru, maka akan semakin baik hasilnya bagi siswa.
Pendidikan sebagai salah satu langkah mencerdaskan kehidupan bangsa dan menimbulkan potensi anak didik sesuai dengan apa yang termaktub dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 1 dan 2 yakni:
Pasal 1:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Pasal 2:
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Berdasarkan undang-undang di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang diselenggarakan tidak lain adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik kita sesuai dengan minat dan bakatnya. Kemudian menjadikan peserta didik lebih terampil dan tentunya berkepribadian dan juga memiliki spiritual yang baik kepada Sang Pencipta-Nya. Dimana pendidikan yang diselenggarakan berdasar kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pendidikan juga berlaku bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali. Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Crowly (1998: 169) bahwa “… all who possess the status are equal with respect to the rights and duties with which the status is endowed”. Dengan demikian bahwa warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama keberadaannya dalam negara. Siapapun berhak untuk mendapatkan pendidikan di negara Indonesia ini. Dan juga “citizenship concerns the rights and duties of a member of a country”, yakni sebagai warga negara tidak lupa untuk memperhatikan hak dan kewajibannya.

Pembangunan Civil-society
Keberadaan suatu masyarakat mana pun, selain terikat oleh teritorial di mana mereka hidup, secara sosiologis selalu membentuk diri untuk memiliki identitas kolektif yang mengikat kehidupan bersama. Dalam pandangan Giddens (1990: 32) masyarakat dapat dikatakan sebagai “ a social system of interrelationships which connects individuals together”. Masyarakat sebagai suatu system interaksi dari kesatuan hidup bersama senantiasa terstruktur (berpola) yang diikat sistem pengetahuan kolektif yang menjadi pola bagi tingkah laku bersama dalam menanggapi lingkungan kehidupannya, yang kemudian dikenal sebagai kebudayaan. Kebudayaan terdiri atas seperangkat nilai dan norma yang menjadi pedoman bertingkah laku bagi setiap anggota mayarakat, bahkan lebih konkrit lagi berupa hal-hal fisik yang dibangun secara bersama yang dikenal sebagai wujud kebudayaan fisik yang memiliki makna-makna simbolik. Masyarakat tidak mungkin eksis tanpa kebudayaan, dan kebudayaan juga tidak mungkin tumbuh tanpa masyarakat. Kebudayaan berfungsi sebagai suatu system kesatuan makna, pendidikan, integrasi sosial, identitas diri, dan hidup beradab yang bersemi dalam seluruh alam pikiran kolektif anggota masyarakat. Dengan kebudayaan, manusia memiliki memori kolektif dalam menanggapi lingkungan yang tetap maupun berubah, sehingga manusia tidak bertindak berdasarkan naluri (animal instinctual) yang primitif, seperti halnya hewan, namun berdasarkan nalar dan kesadaran rasional yang penuh simbol dan makna (animal cultural).
Istilah civil-society sering diartikan dengan masyarakat sipil atau masyarakat madani. Masyarakat sipil dalam konteks negara yang demokratis meliputi pelbagai pranata, seperti: pers yang bebas dan bertanggung jawab, berkembangnya organisasi non pemerintah (ornop) atau non governmental organizations (NGO’s) yang beroposisi secara loyal kepada pemerintah, merdekanya kelompok-kelompok agama dan adat, dan lain sebagainya. Dalam iklim demokrasi yang sedang tumbuh seperti di Indonesia, kelompok-kelompok ini dapat bahkan wajib memainkan peran vital baik untuk mengawasi (counter balancing the state) dan mengimbangi (check and balance) kekuasaan negara dan ikut bekerja sama mewujudkan perubahan ke arah yang lebih demokratis.
Sejak berakhirnya kekuasaan Soeharto, masyarakat sipil kian tubuh subur, beragam, dan merdeka, mulai dari: serikat pekerja, kelompok-kelompok etnis, perkumpulan-perkumpulan masyarakat, hingga kelompok-kelompok kampanye. Kelompok-kelompok ini kerapkali didominasi oleh orang-orang berpendidikan di perkotaan, dan biasanya tak selalu mencapai masyarakat bawah (grassroots). Dalam mengatur dan memajukan demokratisasi dalam masa reformasi, organisasi-organisasi sipil tersebut perlu dibantu untuk membangun pilar dan kerangka negara demokratis dengan mengikutsertakan seluruh warga masyarakat termasuk di dalamnya kelompok masyarakat “akar rumput” tadi, artinya dialog vertikal dan dialog horizontal menjadi syarat utama dalam membangun pilar tersebut. Guna membangun (saling) hubungan tersebut pemberdayaan dan penguatan (empowering and strengthening) antara partai politik dan konstituennya perlu dikembangkan dan digalakkan. Karena saat ini hubungan antara partai politik yang ada di Indonesia dengan massa pendukungnya yang berada di grassroots masih sangat lemah. Organisasi masyarakat sipil seperti: serikat-serikat pekerja, kelompok-kelompok etnis, perkumpulan-perkumpulan masyarakat, hingga kelompok-kelompok kampanye pada konteks membangun demokrasi yang kuat, bisa memainkan peran dalam menjembatani jarak ini. Di desa-desa, di Indonesia misalnya, masih ada banyak kelompok informal seperti masyarakat Banjar, masyarakat lumbung desa, dan lain sebagainya yang harus dibantu agar bias mewakili kepentingan-kepentingan rakyat setempat. Pada saat yang sama, organisasi masyarakat sipil harus didorong menuju efektivitas dan transparan, yang mempercayakan segala mekanisme bukan pada charismatic leadership tapi pada orang-orang yang professional atau kompeten dibidangnya masing-masing. Melalui kerangka tersebut di atas maka mereka perlu menjelaskan kepada public apa tujuan mereka bersama, siapa yang menjalankan, dan dimana posisi mereka berada menurut Barber dalam Saefullah (2006: 6). Oleh karena, dalam masyarakat sipil yang berkembang, peran ornop amat penting artinya.
Hadiwinata dalam Saefullah (2006: 6), bahwa ada tiga peran atau pendekatan yang dapat dilakukan oleh ornop dalam membangun masyarakat sipil daam kerangka transisi menuju demokrasi. Pertama, memfokuskan pada penyedia layanan dan dana pada kelompok masyarakat tertentu (welfare approach); kedua, memfokuskan pada peningkatan kapasitas masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka (developmental approach), dan terakhir, pembangunan (community development) dan pemberdayaan masyarakat (empowering approach). Sedangkan Barber dalam Saefullah (2006: 7) membagi masyarakat sipil dalam tiga jenis: (1) libertarian civil society; (2) communication civil society; dan (3) strong democratic civil society yang intinya relatif sama dengan apa yang diutarakan oleh Giddens (1998) dalam the Third Way-nya. Namun yang terpenting dalam memahami masyarakat sipil adalah ornop yang merupakan salah satu dari elemen masyarakat harus memberikan dorongan, daya, dan pelatihan bagi warga agar mereka tidak terlampau tergantung pada (belas kasihan) negara.
Proyeksi ke depan, semangat membangun masyarakat sipil atau civil-society sebagai suatu model masyarakat yang demokratik yang religious dan berkeadaban memiliki koherensi dengan apa yang oleh Hesselbein dalam Diktilitbang PP Muhammadiyah (2003: 69) disebut sebagai kualitas masyarakat ideal masa depan (the ideal community of the future), yakni masyarakat yang terdiri atas empat elemen pokok, yaitu:
  1. one standard: prinsip mengutamakan kebajikan untuk hidup baik dan menjunjung tinggi hukum serta keteraturan; (2) one heart: visi dan arahan untuk menempatkan nilai luhur yang menyatu dalam hati nurani dan mementingkan kepatuhan dan kemampuan membawa diri dalam hidup; (3) one mind: yang mengarah pada tujuan, misi, dan kesatuan; bukan uniformitas, keberagaman dan bukan keseragaman; (4) economic equality: tidak adanya kemiskinan dalam kehidupan manusia.

Masyarakat sipil atau civil-society sebagai suatu format masyarakat yang diidam-idamkan memerlukan sosialisasi nilai dalam kehidupan masyarakat luas, selain sebagai upaya politik melalui perubahan-perubahan struktural di tingkat negara. Agenda sosialisasi nilai-nilai yang dimaksudkan adalah nilai-nilai kewargaan sebagaimana kandungan dari konsep dan prasyarat masyarakat madani atau civil-society. Sosialisasi nilai tersebut dimaksudkan agar setiap anggota masyarakat selaku warga negara benar-benar menyadari hak dan kewajibannya secara otonom dan penuh tanggung jawab demi terciptanya tatanan masyarakat sipil dalam keseluruhan struktur kehidupan baik pada negara maupun masyarakat.

Keterkaitan Antara Pendidikan Kewarganegaraan dengan Kebijakan Publik
Proses pembuatan kebijakan apa pun pada umumnya berawal dari adanya awareness of a problem (kesadaran akan adanya masalah tertentu). Misalnya, gagalnya kebijakan tertentu dalam upayanya mengatasi suatu masalah pada suatu tingkat yang dianggap memuaskan. Tapi pada situasi lain, awal diulainya proses pembuatan kebijakan publik juga bisa berlangsung karena adanya masalah tertentu yang sudah sekian lama dipersepsikan sebagai sesuatu hal yang belum pernah tersentuh atau dengan kata lain belum ditanggulangi lewat kebijakan pemerintah. Pada titik ini kemudian mulai membangkitkan perhatian tertentu.
Thomas R Dye dan James Anderson dalam Saefullah (2006: 38), ada tiga alasan yang melatarbelakangi mengapa kebijakan publik perlu untuk dipelajari. Pertama, pertimbangan ilmiah (scientific reason). Kebijakan publik dipelajari dalam rangka untuk menambah pengetahuan yang lebih mendalam, mulai dari prosesnya, perkembangannya, serta akibat-akibat yang ditimbulkannya bagi masyarakat. Pada gilirannya hal ini akan meningkatkan pemahaman kita mengenai sistem politik dan masyarakat pada umumnya. Untuk tujuan ilmiah, kebijakan publik dapat dipandang baik sebagai variabel dependen maupun variabel independen. Dikatakan sebagai variabel dependen manakala perhatiannya tertuju pada faktor politik lingkungannya yang mempengaruhi atau menentukan konten kebijakan. Misalnya, bagaimana kebijakan dapat dipengaruhi oleh distribusi kekuasaan antara kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat dan instansi pemerintah? Bagaimana juga, misalnya militerisme dan bubarnya departemen dapat mempengaruhi isi kebijakan? Jika kebijakan publik dipandang sebagai variabel independen, maka sebaliknya, perhatian kita beralih pada dampak kebijakan pada sistem politik dan lingkungannya. Sebagai contoh, misalnya bagaimana kebijakan publik mempengaruhi dukungan terhadap sistem politik atau sistem kepartaian yang tengah berwujud dimasa datang? Apakah dampak kebijakan publik atas kesejahteraan sosial warga?
Kedua, pertimbangan professional (professional reason). Don K Price dalam Saefullah (2006: 39) memberikan pemisahan antara scientific-estate yang hanya mencari untuk kepentingan ilmu pengetahuan dengan professional estate atau professional reasons yang berusaha menerapkan ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah sosial secara praktis. Dalam bahasa sederhana bahwa studi kebijakan digunakan sebagai alat untuk menerapkan pengetahuan ilmiah dalam rangka menyelesaikan masalah sehari-hari.
Ketiga, pertimbangan politis (political reasons). Kebijakan public dipelajari pada dasarnya agar setiap perundangan dan regulasi yang dihasilkan dapat tepat guna mencapai tujuan yang sesuai dengan target, bahwa pemerintah menggunakan kebijakan yang cocok untuk mencapai tujuan yang benar.
Berdasarkan penjelasan di atas, oleh karena itulah dibutuhkan pendekatan yang inovatif yang memungkinkan perwujudan visi dan misi PKn itu sendiri. Untuk memahami dan membelajarkan mengenai kebijakan publik, maka peserta didik hendaknya juga diberikan bagaimana proses awal yang dimulai dari pemahaman siswa hingga kepada bagaimana langkah-langkah mewujudkan kebijakan public yang nantinya akan diimplementasikan kepada masyarakat. Dalam pembelajaran PKn/Kewiraan melalui penerapan model praktik belajar kewarganegaraan berbasis kebijakan publik (Budimansyah, 2008: 41 ), dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan keterampilan intelektual dan akademis serta keterampilan sosial kewarganegaraan mahasiswa.
Budimansyah (2007: 34) menjelaskan bahwa Civic Education dikembangkan sebagai central goal dari sistem pendidikan, dipersyaratkan untuk seluruh tingkatan sekolah yang menerapkan pembelajaran yang “of high quality and sufficient quantity,” menggunakan pendekatan yang bersifat “interdisciplinary” dan metode pembelajaran yang bersifat “interactive”.
Desain kurikulum yang menitikberatkan pada “how to think rather than what to think” merefleksikan “community realities” yang mencakup materi “historical” dan contemporary, memperlakukan kelas sebagai “democratic laboratory.” Kontribusi masyarakat dalam “civic education” dan perlibatan siswa dalam masyarakat untuk mendapatkan “civic experiences in the community. Paradigma ini tampaknya merupakan pengembangan secara sinergistik dari tradisi “citizenship transmission, social science dan reflective inquiry dalam social studies.
Citizenship transmission yang dikembangkan adalah pemahaman, penghayatan, dan pelaksanaan hak dan kewajiban sebagai warga negara dalam proses demokrasi konstitusional negaranya, sedangkan dimensi social science yang dikembangkan adalah cara berpikir “interdisciplinary dan inquiry” yang bertolak dari ilmu politik, dan dimensi “reflective inquiry” yang dikembangkan adalah kemampuan dalam “decision making process” mengenai dan dalam praksis demokrasi konstitusional negaranya.
Diharapkan melalui konsep-konsep di atas agar nantinya pembelajaran pendidikan kewarganegaraan di masa mendatang akan lebih baik sehingga dapat menghasilkan warga negara yang baik dan cerdas untuk membangun bangsa ini dan memiliki daya saing atau kompetisi secara global.

Apa dan Bagaimana Mengenai Kebijakan Publik
Literatur ilmu politik tradisional dipenuhi oleh definisi-definisi mengenai kebijakan publik. Cepat atau lambat kelihatanya hampir setiap scholar ilmu politik merasa perlu untuk mendefinisikan sarana komunikasi bagi para perumus dan analis kebijakan publik di kemudian hari manakala mereka melakukan diskusi dalam ruang politis. Selain itu, pendefinisian ini diperlukan dalam rangka menentukan definisi operasional ketika para scholars melakukan penelitian lapangan yang membutuhkan definisi secara tepat.
Robert Eyestone dalam Saefullah (The Threads of Public Policy) (2006: 40) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “hubungan antara unit pemerintah dengan lingkungannya”. Definisi lain menurut Thomas R Dye dalam Saefullah (2006: 41) mengatakan bahwa,”kebijakan publik adalah apa yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan. Melalui definisi Thomas R Dye ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara apa yang akan dikerjakan pemerintah dan apa yang sesungguhnya harus dikerjakan oleh pemerintah.
Definisi lain mengenai kebijakan publik pun ditawarkan oleh Carl Friedrich dalam Saefullah (2006: 41) yang mengatakan bahwa kebijakan adalah,”serangkaian tindakan atau kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan-kemngkinan (kesempatan-kesempatan) dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud.
Dalam kaitannya dengan definisi-definisi tersebut maka dapat disimpulkan beberapa karakteristik utama dari suatu definisi kebijakan publik. Pertama, pada umumnya kebijakan public perhatiannya ditujukan pada tindakan yang mempunyai maksud atau tujuan tertentu daripada perilaku yang berubah atau acak. Kedua, kebijakan publik pada dasarnya mengandung bagian atau pola kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah daripada keputusan yang terpisah-pisah. Misalnya suatu kebijakan tidak hanya meliputi keputusan untuk mengeluarkan peraturan tertentu tetapi juga keputusan berikutnya yang berhubungan dengan penerapan dan pelaksanaannya. Ketiga, kebijakan publik merupakan apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh pemerintah dalam mengatur perdagangan, mengontrol inflasi, atau menawarkan perumahan rakyat, bukan apa maksud yang dikerjakan atau yang akan dikerjakan. Ini artinya kebijakan publik pun memperhatikan apa yang kemudian akan dapat terjadi setelah kebijakan itu diimplementasikan. Keempat, kebijakan publik dapat berbentuk positif maupun negatif. Secara positif, kebijakan publik melibatkan beberapa tindakan pemerintah yang jelas dalam menangani suatu permasalahan. Kelima, kebijakan publik, paling tidak secara positif, didasarkan atas hukum dan merupakan tindakan yang bersifat memerintah. Anggota masyarakat dapat menerima sebagai sesuatu yang sah bahwa pajak haruslah dibayar, pengontrolan import harus dipatuhi, dan peraturan antimonopoli harus diikuti, bila tidak menginginkan adanya resiko didenda, hukuman penjara, atau sanksi legal lainnya yang dapat dijatuhkan.
DAFTAR PUSTAKA


Cogan, J, J. (1998). Citizenship for the 21st Century. An International Perspective on Education. London: Kogan Page.

Crowly, J. (1998). The National Dimension of Citizenship in T.H. Marshall. Citizenship Studies, Vol. 2 No. 2, 1998, 169.

Gidden, A. (1993). Sociology. Cambridge: Polity Press

Jawwad, A,B. (2004). Mengembangkan Inovasi dan Kreatifitas Berpikir Pada Diri dan Organisasi Anda. Bandung: PT. Syamiil Cipta Media.

Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah. (2003). Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Diktilitbang PP Muhammadiyah

Muchith, S. (2008). Pembelajaran Kontekstual. Semarang: Rasail.

Saefullah, D. (2006). Politik dan Kebijakan Publik. Bandung: Aifi Bandung.

Sukadi, (2007). Praktik Belajar Kewarganegaraan Berbasis Kebijakan Publik dan Peningkatan Kecakapan Kewarganegaraan Mahasiswa. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 3 TH XXXX Juli 2007.

Suryadi, Budimansyah, D. (2004). Pendidikan Nasional Menuju Masyarakat Indonesia Baru. Bandung; Genesindo.

Winataputra dan Budimansyah, D. (2007). Civic Education: Konteks, Landasan, Bahan Ajar, dan Kultur Kelas. Bandung: UPI Bandung




Tidak ada komentar:

Posting Komentar