KOMPETENSI KEWARGANEGARAAN UNTUK PENGEMBANGAN MASYARAKAT MULTIKULTURAL INDONESIA
Dikdik Baehaqi Arif
Abstract
“Indonesia
as a multicultural nation” should be understood as a social
construction based on the pluralistic nature of the people and
cultures in the Indonesian archipelago. This national imagination
ushering the spirit of peaceful coexistence is reflected in the motto
Bhinneka Tunggal Ika. Therefore, this paper argues that any
Indonesian should possess a set of civic competencies to enhance
their roles of citizens in a well-functioning society. These
competencies, being the nation’s social and cultural capitals, can
be developed either as school curricular programs, social and
cultural programs or academic programs.
Kata kunci : citizenship, multiculturalism, civic education,
civic competence
Pengantar
Negara
bangsa Indonesia terdiri atas sejumlah besar kelompok-kelompok etnis,
budaya, agama dan lain-lain yang masing-masing plural (jamak) dan
sekaligus juga heterogen (aneka ragam) (Kusumohamidjojo, 2000:45).
Realitas pluralitas dan heterogenitas tersebut tergambar dalam
prinsip Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti meskipun Indonesia adalah
berbhinneka, tetapi terintegrasi dalam kesatuan. Hefner (2007:16)
mengilustrasikan Indonesia sebagaimana juga Malaysia memiliki warisan
dan tantangan pluralisme budaya (cultural pluralism) secara
lebih mencolok, sehingga dipandang sebagai “lokus klasik” bagi
bentukan baru “masyarakat majemuk” (plural society).
Kemajemukan masyarakat Indonesia paling tidak dapat dilihat dari dua
cirinya yang unik, pertama secara horizontal, ia ditandai oleh
kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku
bangsa, agama, adat, serta perbedaan kedaerahan, dan kedua secara
vertikal ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara
lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam (Nasikun, 2007:33).
Dalam
pandangan Clifford Geertz (Hardiman, 2002:4), Indonesia ini
sedemikian kompleksnya, sehingga sulit melukiskan anatominya secara
persis. Negeri ini bukan hanya multietnis (Jawa, Batak, Bugis, Aceh,
Flores, Bali, dan seterusnya), melainkan juga menjadi arena pengaruh
multimental (India, Cina, Belanda, Portugis, Hindhuisme, Buddhisme,
Konfusianisme, Islam, Kristen, Kapitalis, dan seterusnya).
“Indonesia” demikian tulisnya, adalah sejumlah ‘bangsa’
dengan ukuran, makna dan karakter yang berbeda-beda yang melalui
sebuah narasi agung yang bersifat historis, ideologis, religious atau
semacam itu disambung-sambung menjadi sebuah struktur ekonomis dan
politis bersama.
Namun
demikian, pengalaman Indonesia sejak masa awal kemerdekaan, khususnya
pada masa demokrasi terpimpin Presiden Soekarno dan masa Orde Baru
Presiden Soeharto memperlihatkan kecenderungan kuat pada politik
monokulturalisme (Azra, 2006:152). Lebih lanjut Azra (2006:152)
mengemukakan bahwa dalam politik ini, yang diberlakukan bukannya
penghormatan terhadap keragaman (kebhinnekaan atau
multikulturalisme), tetapi sebaliknya adalah keseragaman
(monokulturalisme) atas nama stabilitas untuk pembangunan.
Berakhirnya
sentralisasi Orde Baru yang memaksakan monokulturalisme, pada
gilirannya telah memunculkan kesadaran akan pentingnya memahami
kembali kebhinnekaan, multikulturalisme Indonesia. Bangunan Indonesia
Baru dari hasil reformasi adalah sebuah “masyarakat multikultural
Indonesia”. Berbeda dengan masyarakat majemuk yang menunjukkan
keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaan suku bangsa, masyarakat
multikultural dikembangkan dari konsep pluralisme budaya dengan
menekankan pada kesederajatan kebudayaan yang ada dalam sebuah
masyarakat (Suparlan, 2005:98). Masyarakat multikultural ini
mengusung semangat untuk hidup berdampingan secara damai (peaceful
coexistence) dalam perbedaan kultur yang ada baik secara
individual maupun secara kelompok dan masyarakat (Azra, 2006:154,
Suparlan 2005). Individu dalam hal ini dilihat sebagai refleksi dari
kesatuan sosial dan budaya di mana mereka menjadi bagian darinya.
Dengan demikian, corak masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika
bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya tetapi
keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Multikulturalisme,
Pendidikan Kewarganegaraan, dan Pendidikan Multikultural
Lawrence
A Blum (2001:16), seorang profesor filsafat di University of
Massachusetts di Amherst menawarkan definisi multikulturalisme
sebagai dasar berkembangnya masyarakat multikultural berikut ini:
Multikulturalisme meliputi
sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang,
serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis
orang lain. Ia meliputi sebuah penilaian terhadap budaya-budaya orang
lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari budaya-budaya
tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana sebuah budaya yang asli
dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri.
Dalam
konsep multikulturalisme tercakup tiga sub nilai, masing-masing
adalah:
Pertama,
menegaskan identitas kultural seseorang, mempelajari dan menilai
warisan budaya seseorang; Kedua, menghormati dan
berkeinginan untuk memahami dan belajar tentang (dan dari)
kebudayaan-kebudayaan selain kebudayaannya; Ketiga, menilai
dan merasa senang dengan perbedaan-perbedaan kebudayaan itu sendiri,
yaitu memandang keberadaan dari kelompok-kelompok budaya yang berbeda
dalam masyarakat seseorang sebagai kebaikan yang positif untuk
dihargai dan dipelihara.
Senada
dengan pendapat di atas, Parekh (1997:2001) sebagaimana dikemukakan
oleh Saifuddin (2006:139) mengemukakan tiga unsur yang tercakup dalam
multikulturalisme, yaitu (1) terkait dengan kebudayaan, (2) merujuk
kepada pluralitas kebudayaan, dan (3) cara tertentu untuk merespon
pluralitas tersebut. Dengan demikian, maka multikulturalisme adalah
cara pandang kebudayaan yang diwujudkan secara konkret dalam
kehidupan yang nyata. Terminologi multikulturalisme menurut
Stavenhagen (1996) (Supardan, 2004:8) mengandung dua pengertian.
Pertama, ia merupakan realitas sosial dalam masyarakat yang
majemuk dan kedua; multikulturalisme berarti keyakinan atau
kebijakan yang menghargai pluralisme budaya sebagai khasanah
kebudayaan yang diakui dan dihormati keberadaannya (Suparlan,
2003:31). Sejalan dengan terminologi di atas, Supardan (2004:8)
mengemukakan bahwa kata kunci dalam multikulturalisme ini adalah
“perbedaan” dan “penghargaan”, dua kata yang selama ini
sering dikonfrontasikan.
Multikulturalisme
adalah landasan budaya yang terkait dengan pencapaian civility
(keadaban), yang amat esensial bagi terwujudnya demokrasi yang
berkeadaban, dan keadaban yang demokratis (Azra, 2004). Negara-negara
yang menganut sistem demokrasi, pada umumnya mempunyai kesadaran yang
tinggi perihal pentingnya multikulturalisme untuk membangun
toleransi, asimilasi, dan persamaan hak di antara warga negara
(Misrawi, 2007:217). Berbagai studi kasus dan analisis yang menjadi
laporan UNDP 2004 (Azra, 2004) menunjukkan bahwa demokrasi yang
bertahan dan berkelanjutan umumnya terdapat di negara-negara yang
memiliki pandangan multikultural dan kemudian menerapkan
multikulturalisme dalam berbagai kebijakan.
Kebijakan-kebijakan
responsif dan afirmatif sebagai bentuk “politics of
recognition” yang menjadi dasar multikulturalisme memberikan
insentif dalam penumbuhan dan penguatan perasaan “kesatuan dalam
keragaman” (Hefner, 2007; Azra, 2006). Lebih jauh, dalam kerangka
itu, seluruh warga negara dapat menemukan ruang politik dan
institusional untuk mengidentifikasi diri mereka dengan negara-bangsa
mereka sekaligus dengan identitas-identitas kultural lainnya. Semua
ini mendorong tumbuhnya “trust” secara bersama-sama dalam diri
warganegara, sehingga memperkuat partisipasi mereka dalam
proses-proses politik demokratis.
Semua
ini merupakan faktor-faktor kunci dalam konsolidasi dan pendalaman
demokrasi sehingga negara-bangsa mampu bertahan dan berkelanjutan.
Yang tidak kurang pentingnya dalam membangun demokrasi multikultural
adalah pengakuan atas kekurangan dan kelemahan yang pernah terjadi
dalam upaya-upaya penguatan nation-building, seperti
misalnya monokulturalisme. Kesalahan dan kelemahan itu pada
gilirannya justru menjadi dasar dan justifikasi untuk membangun
demokrasi multikultural yang dapat merupakan solusi efektif bagi
penciptaan stabilitas politik dan harmoni sosial.
Terkait
dengan pengembangan masyarakat multikultural di atas, peran penting
pendidikan menjadi tak terelakan. Dalam pandangan Azra (2006:153)
pembentukan masyarakat multikultural Indonesia yang sehat tidak bisa
secara taken for granted atau trial and error.
Sebaliknya harus diupayakan secara sistematis, programatis,
integrated dan berkesinambungan. Salah satu strategi penting itu
adalah pendidikan multikultural (multicultural education)
yang dapat berlangsung dalam setting pendidikan formal atau informal,
langsung atau tidak langsung. Pendidikan multikultural menurut Banks
(Tilaar, 2004:181) adalah konsep atau ide sebagai suatu rangkaian
kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui
dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam membentuk
gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi dan
kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun
negara. Pendidikan multikultural ini diarahkan untuk mewujudkan
kesadaran, toleransi, pemahaman, dan pengetahuan yang
mempertimbangkan perbedaan kultural, dan juga perbedaan dan persamaan
antar budaya dan kaitannya dengan pandangan dunia, konsep, nilai,
keyakinan, dan sikap (Lawrence J. Saha, 1997, dalam Aly, 2005).
Sekaitan
dengan hal di atas, pendidikan kewarganegaraan memiliki peranan
penting dalam upaya pengembangan masyarakat multikultural. Dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas), pendidikan kewarganegaraan merupakan nama mata pelajaran
wajib untuk kurikulum pendidikan dasar dan menengah dan mata kuliah
wajib untuk kurikulum pendidikan tinggi (Pasal 37). Ketentuan ini
lebih jelas dan diperkuat lagi pada Pasal 37 bagian Penjelasan dari
Undang-Undang tersebut bahwa “Pendidikan kewarganegaraan
dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang
memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”. Pendidikan
Kewarganegaraan yang berperan penting dalam pendidikan multikultural
mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang memiliki
komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan negara kesatuan
Republik Indonesia.
Terdapat lima
dimensi pendidikan multikultural sebagaimana dikemukakan oleh Banks
(1997:69), yaitu:
- content integration, mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu.
- the knowledge construction process, membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin).
- an equity paedagogy, menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial.
- prejudice reduction, mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.
- empowering school culture, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.
Pengembangan
kompetensi kewarganegaraan yang bercirikan multikultural menjadi
bagian tak terpisahkan dalam upaya pengembangan warga negara
multikultural. Kompetensi kewarganegaraan multikultural adalah
seperangkat pengetahuan, nilai, dan sikap, serta keterampilan siswa
yang mendukung menjadi warga negara multikultural yang partisipatif
dan bertanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Kompetensi
kewarganegaraan multikultural yang dimaksud sebagaimana dikemukakan
Branson (1998), yaitu: 1) Civic knowledge (pengetahuan
kewarganegaraan), berkaitan dengan kandungan atau apa yang seharusnya
diketahui oleh warga negara; 2) Civic skill (kecakapan
kewarganegaraan), adalah kecakapan intelektual dan partisipatoris
warga negara yang relevan; dan 3) Civic disposition (watak
kewarganegaraan) yang mengisyaratkan pada karakter publik maupun
privat yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi
konstitusional Branson (1998:16).
Pengetahuan
Kewarganegaraan (Civic knowledge) berkaitan dengan materi
substansi yang seharusnya diketahui oleh warga negara berkaitan
dengan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Pengetahuan ini
bersifat mendasar tentang struktur dan sistem politik, pemerintah dan
sistem sosial yang ideal sebagaimana terdokumentasi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara serta nilai-nilai universal dalam masyarakat
demokratis serta cara-cara kerjasama untuk mewujudkan kemajuan
bersama dan hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat global.
Komponen
pengetahuan kewarganegaraan ini diwujudkan dalam bentuk lima
pertanyaan penting yang secara terus menerus harus diajukan sebagai
sumber belajar PKn (Branson, 1998:9). Lima pertanyaan dimaksud
adalah: (1) Apa kehidupan kewarganegaraan, politik, dan
pemerintahan?; (2) Apa dasar-dasar sistem politik?; (3) Bagaimana
pemerintahan yang dibentuk oleh konstitusi mengejawantahkan
tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip demokrasi?; (4)
Bagaimana hubungan antara suatu negara dengan negara-negara lain dan
posisinya dalam masalah-masalah internasional?; dan (5) Apa peran
warga negara dalam demokrasi?
Kecakapan
Kewarganegaraan (Civic skill) merupakan kecakapan yang
dikembangkan dari pengetahuan kewarganegaraan, yang dimaksudkan agar
pengetahuan yang diperoleh menjadi sesuatu yang bermakna, karena
dapat dimanfaatkan dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan
berbangsa dan bernegara. Kecakapan kewarganegaraan meliputi
kecakapan-kecakapan intelektual (intellectual skills) dan
kecakapan partisipasi (participation skills).
Kecakapan-kecakapan
kewarganegaraan sekalipun dapat dibedakan namun satu sama lain tidak
dapat dipisahkan. Kecakapan-kecakapan intelektual yang penting untuk
seorang warga negara yang berpengetahuan, efektif, dan bertanggung
jawab, disebut sebagai kemampuan berpikir kritis. The National
Standards of Civic and Government dan The Civic Framework
for 1998 National Assessment of Educational Progress (NAEPP)
membuat kategori mengenai kecakapan-kecakapan ini adalah “identifying
and describing; explaining and analyzing; and evaluating, taking, and
defending positions on publik issues” (Branson, 1998:8). Civic
Education yang bermutu memberdayakan seseorang untuk
mengidentifikasi atau memberi makna yang berarti pada sesuatu yang
berwujud seperti bendera, lambang negara, lagu kebangsaan, monument
nasional, atau peristiwa-peristiwa politik dan kenegaraan seperti
hari kemerdekaan. Civic Education juga memberdayakan
seseorang untuk memberi makna atau arti penting pada sesuatu yang
tidak berwujud seperti nilai-nilai ideal bangsa, cita-cita dan tujuan
negara, hak-hak mayoritas dan minoritas, civil society, dan
konstitusionalisme. Kemampuan untuk mengidentifikasi bahasa dan
simbol-simbol emosional juga sangat penting bagi seorang warga
negara. Mereka harus mampu menangkap dengan jelas maksud-maksud
hakiki dari bahasa dan simbol-simbol emosional yang digunakan.
Kecakapan
intelektual lain yang dipupuk oleh Civic Education yang
bermutu adalah kemampuan mendeskripsikan. Kemampuan untuk
mendeskripsikan fungsi-fungsi dan proses-proses seperti sistem checks
and balances atau judicial review menunjukan adanya
pemahaman. Melihat dengan jelas dan mendeskripsikan
kecenderungan-kecenderungan seperti berpartisipasi dalam kehidupan
kewarganegaraan, imigrasi, atau pekerjaan, membantu warga negara
untuk selalu menyesuaikan diri dengan peristiwa-peristiwa yang sedang
aktual dalam pola jangka waktu yang lama.
Civic
Education yang bermutu berusaha mengembangkan kompetensi dalam
menjelaskan dan menganalisis. Bila warga negara dapat menjelaskan
sebagaimana sesuatu seharusnya berjalan, misalnya sistem pemerintahan
presidensial, sistem checks and balances, dan sistem hukum,
maka mereka akan memiliki kemampuan yang lebih baik untuk mencari dan
mengkoreksi fungsi-fungsi yang tidak beres. Warga negara juga perlu
memiliki kemampuan untuk menganalisis hal-hal tertentu sebagai
komponen-komponen dan konsekuensi cita-cita, proses-proses sosial,
ekonomi, atau politik, dan lembaga-lembaga. Kemampuan dalam
menganalisis ini akan memungkinkan seseorang untuk membedakan antara
fakta dengan opini atau antara cara dengan tujuan. Hal ini juga
membantu warga negara dalam mengklarifikasi berbagai macam tanggung
jawab seperti misalnya antara tanggung jawab publik dan privat, atau
antara tanggung jawab para pejabat – baik yang dipilih atau
diangkat – dengan warga negara biasa.
Dalam
masyarakat yang otonom, warga negara adalah pembuat keputusan. Oleh
karena itu, mereka perlu mengembangkan dan terus mengasah kemampuan
mengevaluasi, mengambil, dan mempertahankan pendapat. Kemampuan itu
sangat penting jika nanti mereka diminta menilai isu-isu yang ada
dalam agenda publik, dan mendiskusikan penilaian mereka dengan orang
lain dalam masalah privat dan publik.
Disamping
mengisyaratkan pengetahuan dan kemampuan intelektual, pendidikan
untuk warga negara dan masyarakat demokratis harus difokuskan pada
kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan untuk partisipasi yang
bertanggung jawab, efektif, dan ilmiah, dalam proses politik dalam
civil society. Kecakapan-kecakapan tersebut jika meminjam
istilah Branson (1998: 9) dapat dikategorikan sebagai interacting,
monitoring, and influencing. Interaksi (interacting)
berkaitan dengan kecakapan-kecakapan warga negara dalam berkomunikasi
dan bekerja sama dengan orang lain. Berinterkasi adalah menjadi
tanggap terhadap warga negara yang lain. Interkasi berarti bertanya,
menjawab, dan berunding dengan santun, demikian juga membangun
koalisi-koalisi dan mengelola konflik dengan cara yang damai dan
jujur. Memonitor (monitoring) sistem politik dan
pemerintahan, mengisyaratkan pada kemampuan yang dibutuhkan warga
negara untuk terlibat dalam proses politik dan pemerintahan.
Monitoring juga berarti fungsi pengawasan atau watchdog warga negara.
Akhirnya, kecakapan partisipatoris dalam hal mempengaruhi,
mengisyaratkan pada kemampuan proses-proses politik dan pemerintahan
– baik proses-proses formal maupun informal – dalam masyarakat.
Rincian
kecakapan kewarganegaraan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel
Kecakapan Kewarganegaraan
Kecakapan intelektual
|
Kecakapan partisipasi
|
|
|
Sumber: Diolah dari
Center for Civic Education (1994:127-135), National Standard for
Civics and Government.
Pengembangan
dimensi civic skills dilandasi oleh civic knowledge.
Dimensi civic skills ini dikembangkan dengan tujuan untuk
memberikan “…the knowledge and skills required to participate
effectively, practical experience in participation design to foster
among students a sense of competence and efficay”, dan
mengembangkan “…an understanding fo the importance of citizen
participation” (Quigley, dkk, 1991:39), yakni pengetahuan dan
keterampilan yang diperlukan untuk berperanserta secara efektif dalam
masyarakat, pengalaman berperanserta yang dirancang untuk memperkuat
kesadaran berkemampuan dan berprestasi unggul dari siswa, dan
mengembangkan pengertian tentang pentingnya peran serta aktif warga
negara. Untuk dapat berperan serta secara aktif tersebut diperlukan
“a knowledge of the fundamental concepts, history, contemporary
events, issues, and facts related to the matter and capacity to apply
this knowledge to the situation; a disposition to act in accord with
the traits of civic characters; and a commitment to the realization
of the fundamental values and principles” (Quigley, dkk:
1991:39). Yang dimaksud adalah pengetahuan tentang konsep
fundamental, sejarah, isu dan peristiwa aktual, dan fakta yang
berkaitan dengan substansi dan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan
itu secara kontekstual, dan kecenderungan untuk bertindak sesuai
dengan watak dari warga negara.
Watak
Kewarganegaraan (civic disposition) dimaksud oleh Quigley,
dkk (1991:11) adalah “…those attitudes and habit of mind of
the citizen that are conducive to the healthy functioning and common
good of the democratic system” atau sikap dan kebiasaan
berpikir warga negara yang menopang berkembangnya fungsi sosial yang
sehat dan jaminan kepentingan umum dari sistem demokrasi. Secara
konseptual, civic dipsosition mencakup sejumlah
karakteristik kepribadian, yakni “civility (respect and civil
discourse), individual responsibility, self-discipline,
civic-mindedness, open-mindedness (openness, skepticism, recognition
of ambigity), compromise (conflict of principles, compassion,
generosity, and loyalty to the nation and its principles”
(Quigley, dkk, 1991:13-14). Maksud semua itu adalah kesopanan yang
mencakup penghormatan dan interaksi manusiawi, tanggung jawab
individual, disiplin diri, kepeduliant terhadap masyarakat,
keterbukaan pikiran yang mencakup keterbukaan, skeptisisme,
pengenalan terhadap kemenduaan, sikap kompromi yang mencakup
prinsip-prinsip konflik dan batas-batas kompromi, toleransi pada
keragaman, kesabaran dan keajekan, keharuan, kemurahan hati, dan
kesetiaan terhadap bangsa dan segala prinsipnya.
Branson
(1998:23) menegaskan bahwa civic disposition mengisyaratkan
pada karakter publik maupun privat yang penting bagi pemeliharaan dan
pengembangan demokrasi konstitusional. Watak kewarganegaraan
sebagaimana kecakapan kewarganegaraan, berkembang secara perlahan
sebagai akibat dari apa yang telah dipelajari dan dialami oleh
seseorang di rumah, sekolah, komunitas, dan organisasi-organisasi
civil society. Pengalaman-pengalaman demikian hendaknya
membangkitkan pemahaman bahwasanya demokrasi mensyaratkan adanya
pemerintahan mandiri yang bertanggung jawab dari tiap individu.
Karakter privat seperti bertanggung jawab moral, disiplin diri dan
penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu
adalah wajib. Karakter publik juga tidak kalah penting. Kepedulian
sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule
of law), berfikir kritis, dan kemauan untuk mendengar,
bernegosiasi dan berkompromi merupakan karakter yang sangat
diperlukan agar demokrasi berjalan sukses.
Secara singkat
karakter publik dan privat itu dapat dideskripsikan sebagai berikut
(Branson, 1998:23-25).
a. Menjadi anggota masyarakat yang indevenden.
b. Memenuhi tanggung jawab personal kewarganegaraan di bidang ekonomi dan politik.
c. Menghormati harkat dan martabat kemanusiaan tiap individu.
d. Berpartisipasi dalam urusan-urusan kewarganegaraan secara efektif dan bijaksana.
e. Mengembangkan berfungsinya demokrasi konstitusional secara sehat.
a. Menjadi anggota masyarakat yang indevenden.
b. Memenuhi tanggung jawab personal kewarganegaraan di bidang ekonomi dan politik.
c. Menghormati harkat dan martabat kemanusiaan tiap individu.
d. Berpartisipasi dalam urusan-urusan kewarganegaraan secara efektif dan bijaksana.
e. Mengembangkan berfungsinya demokrasi konstitusional secara sehat.
Pentingnya
watak kewarganegaraan ini jarang sekali ditegaskan. Karakter publik
dan privat yang mendasari demokrasi, dalam jangka panjang, mungkin
lebih merupakan dampak dari pengetahuan atau kecakapan yang dikuasai
warga negara. Hakim Learned Hand dalam pidatonya di New York pada
tahun 1994 mengungkapkan pentingnya watak kewarganegaraan dalam
kata-kata yang sekarang menjadi amat popular “Liberty lies in
the hearts of men and women; when it dies there, no constitution, no
law, no court can save it; no constitution, no law, no court can even
do much to help it. While it lies there, it needs no constitution, no
law, no court to save it” (Branson, 1998:12). Artinya,
kebebasan terletak pada hati manusia, baik pria maupun wanita. Bila
ia sirna maka tak ada konstitusi, hukum, dan pengadilan yang dapat
menyelamatkan. Bahkan konstitusi, hukum, dan pengadilan tak dapat
berbuat apa-apa. Namun bila ia masih di sana, maka tak diperlukan
lagi konstitusi, hukum, dan pengadilan untuk menjaganya.
Realitas
Kebhinnekaan Indonesia dalam Konteks Kewarganegaraan
Realitas
kebhinnekaan Indonesia sebagaimana tergambar dalam semboyan Bhinneka
Tunggal Ika merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
meniscayakan pentingnya sebuah pemahaman bahwa sekalipun satu, tidak
boleh dilupakan bahwa sesungguhnya bangsa ini berbeda-beda dalam
suatu keragaman. Secara historis, kesatuan dan persatuan bangsa
Indonesia yang kuat tidaklah lahir semata-mata dari semangat
kemanunggalan atau ketunggalan (tunggal-ika), melainkan pengakuan
adanya pluralitas (kemajemukan) dan heterogenitas (keanekaragaman)
sekaligus kesediaan untuk menghormati pluralitas dan heterogenitas
itu. Karena itu, kebhinnekaan ini perlu dipahami oleh warga negara
sebagai suatu konstruksi sosial bangsa Indonesia yang dicita-citakan
(imagined community) sebab para anggota bangsa terkecil
sekalipun tidak akan tahu dan tidak kenal sebagian besar anggota
lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin
tidak pula pernah mendengar tentang mereka.
Semuanya
menjadi konsep komunitas politik ketika ditiupkan konsep sebuah
bayangan tentang kebersamaan mereka yang pada saat yang sama
komunitas itu berubah menjadi sesuatu yang terbayang berada dalam
bangunan bayang-bayang citra sebagai komunitas politik dan ingin
menyatukan semua yang berada dalam batas-batas kesamaan itu. Namun,
pada sisi yang lain, ia juga menimbulkan dampak negatif, karena pada
saat masyarakat Indonesia tidak saling mengenal sebagian besar
anggota lain, tidak bertatap muka dengan mereka, bahkan mungkin tidak
pula pernah mendengar tentang mereka justru seringkali menjadi pemicu
timbulnya konflik antarkelompok masyarakat, yang pada gilirannya,
konflik-¬konflik antarkelompok masyarakat tersebut akan melahirkan
distabilitas keamanan, sosio-ekonomi, dan ketidakharmonisan sosial
(social disharmony).
Konstruksi
Kompetensi Kewarganegaraan Multikultural yang Dibutuhkan bagi
Pengembangan Masyarakat Multikultural Indonesia
Bangunan
Indonesia Baru hasil reformasi adalah sebuah masyarakat multikultural
Indonesia yang bukan hanya dimaksudkan pada keanekaragaman suku
bangsa semata tetapi juga keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam
masyarakat Indonesia secara keseluruhan yang mengacu pada Bhinneka
Tunggal Ika. Masyarakat multikultural Indonesia ini meniscayakan
perlunya penyebaran dan pemahaman konsep dan urgensi
multikulturalisme bagi bangsa Indonesia yang multikultural melalui
sebuah pendidikan multikultural (multicultural education)
yang dikembangkan baik dalam konteks pendidikan formal, nonformal,
maupun informal.
Pendidikan
dan masyarakat multikultural memiliki hubungan timbal balik
(reciprocal relationship) yang kuat, bila pada satu sisi
pendidikan memiliki peran signifikan guna membangun masyarakat
multikultural, di sisi lain masyarakat multikultural dengan segala
karakternya memiliki potensi signifikan untuk mensukseskan fungsi dan
peran pendidikan. Penguatan di satu sisi, langsung atau tidak
langsung, akan memberi penguatan pada sisi lain.
Pengembangan
dan penerapan pendidikan multikultural di Indonesia mendapatkan
tempat dan memiliki signifikansi yang kuat sebagai sarana alternatif
pemecahan konflik sosial; pembinaan warga negara agar tidak
tercerabut dari akar budayanya; sebagai landasan pengembangan
kurikulum pendidikan nasional; dan untuk membangun kewarganegaraan
multikultural bagi terciptanya masyarakat multikultural Indonesia.
Dalam
kerangka membangun warga negara dan masyarakat multikultural
Indonesia, setiap warga negara perlu memiliki sejumlah kompetensi
kewarganegaraan yang merupakan modal sosial dan budaya (social
and cultural capital) yang didasarkan atas pengetahuan dan
pemamahaman tentang realitas kebhinnekaan masyarakat Indonesia untuk
memunculkan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap kebhinnekaan.
Kompetensi kewarganegaraan multikultural ini merupakan budaya
kewarganegaraan (civic culture) yang dikemas dalam tiga
komponen kompetensi kewarganegaraan, yaitu civic knowledge,
civic skills, dan civic disposition.
Pertama,
dari segi komponen pengetahuan kewarganegaraan multikultural, warga
negara perlu memahami seperangkat pengetahuan dan mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan tema-tema toleransi;
tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama; bahaya
diskriminasi; penyelesaian konflik dan mediasi; hak azasi manusia;
demokrasi dan kebhinnekaan; kemanusiaan universal, politik dan
pemerintah; prinsip-prinsip rule of law; separation of power;
checks and balances; dan subyek-subyek lain yang relevan.
Kedua,
dari segi komponen kecakapan kewarganegaraan multikultural, setiap
warga negara perlu dibekali dengan kecakapan yang berkaitan dengan
kemampuan untuk mengidentifikasi (menandai/menunjukkan);
menggambarkan (memberikan uraian/ilustrasi); menjelaskan
(mengklarifikasi/menafsirkan), menganalisis; mengevaluasi
pendapat/posisi (menggunakan kriteria/standar untuk membuat
keputusan); mengambil pendapat/posisi; mempertahankan pendapat/posisi
terhadap tema-tema toleransi; tema-tema tentang perbedaan
ethno-kultural dan agama; bahaya diskriminasi; penyelesaian konflik
dan mediasi; hak azasi manusia; demokrasi dan kebhinnekaan;
kemanusiaan universal, politik dan pemerintah; prinsip-prinsip rule
of law; separation of power; checks and balances;
dan subyek-subyek lain yang relevan.
Dari
segi kecakapan partisipasi, kewarganegaraan multikultural akan
ditandai oleh kemampuan untuk: 1) berinteraksi dalam masyarakat dan
kebudayaan yang memiliki latar belakang berbeda dengan masyayarakat
dan kebudayaan yang dimilikinya dengan mengedepankan prinsip
toleransi, saling menghormati, dan saling menghargai dalam
kesederajatan; 2) memantau/memonitor masalah-masalah publik terutama
dalam penanganan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hubungan
antara individu (warga negara) dengan sesama individu (warga negara),
hubungan antara kelompok sosial yang berbeda, dan antara warga negara
dengan negara; dan 3) mempengaruhi proses politik pemerintahan baik
secara formal maupun informal untuk menegakan prinsip-prinsip
multikulturalisme.
Ketiga,
dari segi komponen watak kewarganegaraan multikultural, setiap warga
negara perlu mengembangkan dan mempraktikkan jalinan kerjasama dengan
orang/kelompok dari berbagai latar belakang; berperilaku mengutamakan
kepentingan umum dalam konteks publik; mempromosikan hak individu,
keanekaragaman dan kesetaraan; menjunjung kebenaran, cinta tanah air;
tidak larut dalam pengkultusan tokoh, kelompok dan partai, ras,
etnik, bahasa dan agama/keyakinan; mau mengakui kekurangan dan
kesalahan, mau belajar dari kekurangan dan kesalahan, tidak mudah
dihegemoni dan mudah mencari kambing hitam atau memanipulasi sesuatu
yang merugikan orang lain, tidak mudah berprasangka buruk kepada
individu atau kelompok lain; dan kritis sesuai konteks ruang dan
waktu.
Tiga
komponen kompetensi kewarganegaraan di atas harus berjalan
berkelindan sebagai modal sosial (social capital) bangsa.
Kompetensi kewarganegaraan ini juga berimplikasi pada perlunya
interaksi yang bermakna antar anggota kelompok masyarakat yang
berbeda.
Penutup
Pendidikan
Kewarganegaraan (civic education), baik sebagai program
kurikuler, program sosial kultural, maupun program akademik/kajian
ilmiah dapat menjadi wahana pendidikan multikultural Indonesia.
Melalui pendidikan kewarganegaraan ini, ditumbuhkan tidak hanya
pemahaman tentang demokrasi, hak azasi manusia, kebhinnekaan, respek
dan toleransi di antara berbagai kelompok masyarakat, tetapi juga
pengalaman berdemokrasi keadaban dan multikultural.
Karena
itu, dalam kerangka membangun masyarakat multikultural Indonesia,
maka secara praxis-pedagogis, budaya kewarganegaraan sebagai sistem
nilai yang terkandung dalam pendidikan kewarganegaraan sebagai
pendidikan multikultural harus diwujudkan sebagai proses belajar
sepanjang hayat melalui proses belajar yang bersifat konsentris
tentang multikulturalisme (knowing multiculturalism),
belajar melalui proses yang mencerminkan jiwa dan aktualisasi
nilai-nilai multikulturalisme (doing multiculturalism), dan
belajar untuk membangun tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara Indonesia yang religius, beradab, bersatu, demokratis, dan
berkeadilan (building multiculturalism).
Disamping
itu, diperlukan keteladanan perilaku yang ditampilkan oleh pebelajar,
baik guru, dosen, tokoh masyarakat, maupun orang tua sebab tanpa
keteladanan perilaku, sikap dan karakteristik masyarakat
multikultural Indonesia tidak akan mendapatkan tempat yang bermakna
dalam masyarakat Indonesia.
Daftar
Pustaka
Aly,
A. (2005). “Pendidikan Multikultural dalam Tinjauan Pedagogik”.
Makalah dipresentasikan pada Seminar Pendidikan Multikultural
sebagai Seni Mengelola Keragaman, yang diselenggarakan oleh Pusat
Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSB-PS) Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Sabtu, 8 Januari 2005.
Azra,
A. (2004). “Demokrasi Multikultural”. Harian Republika, 12
Agustus 2004.
Azra,
A. (2006). “Pancasila dan Identitas Nasional Indonesia: Perspektif
Multikulturalisme”. Dalam Restorasi Pancasila: Mendamaikan
Politik Identitas dan Modernitas. Bogor: Brighten Press.
Banks,
J.A. (1997). Educating Citizens in a Multicultural Society.
New York and London: Teachers College Columbia University.
Blum,
L.A. (2001). “Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas
Antar-Ras: Tiga Nilai yang Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat
Multikultural”. Dalam May, Larry, Shari Collins-Chobanian, and Kai
Wong (Eds). Etika Terapan I: Sebuah Pendekatan Multikultural.
Terjemahan oleh Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro. Yogyakarta: PT
Tiara Wacana.
Branson,
M.S. (1998). The Role of Civic Education. Calabasas: CCE.
Hardiman,
F. B. (2002). Belajar dari Politik Multikulturalisme. Pengantar dalam
Kymlicka. (2002). Kewargaan Multikultur: Teori Liberal mengenai
Hak- hak Minoritas. Terjemahan oleh Edlina Afmini Eddin dari
judul Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority.
Jakarta: LP3ES.
Hefner,
R.W. (2007). Politik Multikulturalisme: Menggugat Realitas
Kebangsaan. Terjemahan oleh Bernardus Hidayat dari judul asli
“The Politics of Multiculturalism, Pluralism and Citizenship in
Malaysia, Singapore, and Indonesia”. Yogyakarta: Kanisius.
Kusumohamidjojo,
B. (2000). Kebhinnekaan Masyarakat Indonesia: Suatu Problematik
Filsafat Kebudayaan. Jakarta: Grasindo.
Misrawi,
Z. (2007). Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme
dan Multikulturalisme. Jakarta: Fitrah.
Nasikun.
(2007). Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: pt. RajaGrafindo
Persada.
Quigley,
C.N., Buchanan, Jr. J. H., Bahmueller, C.F. (1991). Civitas: A
Frame Work for Civic Education. Calabasas: Center for Civic
Education.
Saifuddin,
A.F. (2006). “Reposisi Pandangan mengenai Pancasila: Dari
Pluralisme ke Multikulturalisme”. dalam Restorasi Pancasila:
Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas. Bogor: Brighten
Press.
Supardan,
D. (2004). Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendekatan Multikultural
dan Perspektif Sejarah Lokal, Nasional, Global, untuk Integrasi
Bangsa (Studi Kuasi Eksperimental Terhadap Siswa Sekolah Menengan
Umum di Kota Bandung). Disertasi PPS UPI: tidak diterbitkan.
Suparlan,
P. (2003) “Bhineka Tunggal Ika: Keanekaragaman Sukubangsa atau
Kebudayaan”, Jurnal Antropologi Indonesia, Tahun XXVII, No.72.
Suparlan,
P. (2005). Sukubangsa dan Hubungan Antar Sukubangsa.
Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
Tilaar,
H.A.R. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa
Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta:
Grasindo.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Tulisan
ini dimuat di Acta
Civicus: Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Volume
2, No. 1, Oktober 2008
0 comments:
Posting Komentar