Narita International Airport,Japan

Preparing for departure

East West Center, University of Hawaii

All of the participants for Civic Education short course, University Of Hawaii

Davi and Haris

Happy family of my little sister

Elementary School in Hawai'i

Fun learning and school visit

Project Citizen SMP Negeri 16 Bandar Lampung

Implementasi model Project Citizen di SMPN 16 Bandar Lampung

Narita International Airport

Funny and new experience

Jumat, 29 November 2013

ITEC 2013 - Teaching and Learning Strategies


Changes necessary in teaching and learning strategies
The article was taken from Rosnani Hashim (ITEC 2013, University of Lampung, Indonesia)
Institute of Education, International Islamic University Malaysia

In the past our learning and teaching strategies were basically concerned on cognitive understanding and retention of facts or content. At most we would like our students to be able to apply these facts in solving some problems in their daily lives, in examinations and in most cases as foundations for further higher learning. Basically it is the lower order of the Bloom’s taxonomy i.e. knowledge, understanding and application. It rarely attempts to do much analysis, evaluation and synthesis which are the higher order of the Bloom’s taxonomy that are crucial for critical and creative thinking, for proper judgement and good decision making. This are only provided at the end of high school or in the university. This was alright for a system of education that desires to sort out students based on grades to fit into the available occupational positions. Moreover the system was elitist then and meant to choose the best brains.

But today with technological changes and innovation, where information is accessible to all and the world grows more competitive, leading to a different kind of worker i.e the knowledge worker, the focus on education is not only on the products or the contents but more importantly on the process or the skills necessary to enable the formulation of a solution. As educators, we need to adapt our lesson presentations to these digitally “programmed” students. There is little hope that these digital natives will “power down” their minds to become more engaged with traditional learning styles (Pensky, 2001).
It is interesting how the changes of the present era was envisaged as early as 1916 when Dewey published his seminal work "Democracy and Education", which acknowledged that learners should become active participants in the educational process. The idea is that in learning from their own experience, students become, in a sense, their own teachers. The changed role of the learner has, in turn, implications for that of the teacher. Instead of the source of knowledge, teachers become facilitators of the learning process; that is, their role is to create the set of conditions under which students can best learn from their experiences. Moreover, teachers can fulfill this role only by becoming learners themselves, and a primary source of their learning must be their students. In a nutshell, teachers who learn become better teachers, and learners who teach become better learners. Although this idea seems straightforward enough, educators have been very slow to put it into practice. However, the rapid technological changes of the last few decades may well provide the catalyst that finally brings about these needed reforms in the field of education (Florin, L.& S. Sugioka, 2007).

Teaching and learning strategies today have to foster communication skills which in this century would mean proficiency in the English language, critical and creative thinking skills, and inter-personal and collaborative skills. The issue is how to foster these skills through teaching and learning. Good communication skills require the students to speak up and not just to listen and digest all that the lecturer informs them. Thus, a lecture is not suitable all the times. There ought to be discussion where students can express their ideas and also their views – however sloppy it might seems at first. The conversation should also be between students and students and not only between teacher and students. Only when the proper language is used will it be alive. Discussion can also be taken up into small group.

To foster critical thinking skills, students ought to be trained to reason well and be analytical. They must be able to give reasons for their belief. They must be able to provide evidence for their argument, give examples to illustrate, identify fallacies in reasoning, to think logically, through induction or deduction and to recognize valid and sound arguments. This can be done through analytical written exercises or in classroom discussion. To foster creative thinking, students have to be taught to sometimes think outside of the box or to be imaginative.

To foster collaborative skills and work as a team, students need to be encouraged to do some form of group or project work where each member is given a task to be worthy.  

Kamis, 28 November 2013

The great learning


The Great Learning

“If there is righteousness in the heart,
there will be beauty in the character,
If there is beauty in the character,
there will be harmony in the home,
If there is harmony in the home,
there will be order in the nation,
If there is order in the nation,
there will be peace in the world”

(The Great Learning dalam Phillips, 2000: 11)

Terbentuknya karakter manusia


Terbentuknya Karakter Manusia

Terbentuknya karakter manusia ditentukan oleh dua faktor, yaitu nature (faktor alami atau fitrah) dan nurture (melalui sosialisasi dan pendidikan). Faktor lingkungan yaitu usaha memberikan pendidikan dan sosialisasi dapat menentukan “hasil” seperti apa nanti yang dihasilkannya dari seorang anak. Jadi karakter seseorang dapat dibentuk dari pengasuhan, pendidikan, dan sosialisasi positif dari lingkungannya. Setiap individu memiliki ciri dan sifat atau karakteristik bawaan (heredity) dan karakteristik dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial psikologis. Setiap individu tentunya memiliki karakter yang berbeda-beda. Perbedaan karakter individu tersebut disebabkan oleh banyak hal, seperti lingkungan, biologis individu, pola asuh, budaya, dan lain sebagainya. Nurture dan nature merupakan istilah yang biasa digunakan untuk menjelaskan karakteristik individu dalam hal fisik, mental, emosional pada setiap tingkat perkembangan.

Karakter terbentuk dengan dipengaruhi oleh paling sedikit 5 faktor, yaitu temperamen dasar kita (domain, intim, stabil, cermat), keyakinan (apa yang kita percayai, paradigma), pendidikan (apa yang kita ketahui, wawasan kita), motivasi hidup (apa yang kita rasakan, semangat hidup), dan perjalanan (apa yang telah kita alami, masa lalu kita, pola asuh dan lingkungan).

Helen Keller (1904) mengungkapkan ”Character cannot be develop in ease and quite. Only through experience of trial and sufferingcan the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved.”
Sehingga dengan karakter yang telah dibangun dengan kokoh, bisa menjadikan seseorang individu tidak mudah dikuasai oleh seseorang ataupun kondisi tertentu. Apabila orang-orang yang dikenal cerdas dan berpengetahuan tidak menunjukkan karakter (terpuji), maka tiak diragukan lagi bahwa dunia akan menjadi lebih semakin buruk. Dengan kata lain ungkapan knowledge is power akan menjadi lebih sempurna jika ditambahkan menjadi knowledge is power, but character is more.

Karakter tidak hanya dimiliki oleh seseorang individu, namun suatu komunitas atau kelompok pun memiliki karakter kelompok yang diperoleh melalui proses yang berkelanjutan. Karakter merupakan unsur individu yang dan lahir dari pemikiran individu. Namun pemikiran individu dapat dipadukan dengan individu yang lain menghasilkan suatu ide baru, menghasilkan suatu karakter baru, yang dapat disebut sebagai identitas kelompok, karakter kelompok. Karakter kelompok pada dasarnya dibentuk dari berbagai karakter individu di dalamnya melalui proses kesepakatan visi dan misi yang telah dihayati bersama.




(Artikel diambil dari tulisan Dr. Ir. Mubiar Purwasasmita pada prosiding seminar berjudul Memaknai konsep alam cerdas dan kearifan nilai budaya lokal (cekungan Bandung, tatarsunda, nusantara, dan dunia) peran local genius dalam pendidikan karakter bangsa, Universitas Pendidikan Indonesia, 2010)

Ayo... Berwisata ke Provinsi Lampung


Ayo... Berwisata ke Provinsi Lampung
By: Mohammad Mona Adha

Banyak tempat-tempat yang menjadi pilihan bagi anda untuk berlibur atau berekreasi bersama teman-teman anda atau keluarga. Salah satunya yang bisa menjadi referensi anda untuk berlibur kali ini adalah berwisata ke Provinsi Bandar Lampung. Untuk anda yang ingin berwisata ke Provinsi Lampung sangatlah mudah. Untuk mencapainya, anda dapat menempuh melalui jalur darat atau udara.

Dengan perjalanan darat akan menempuh waktu kurang lebih 8 jam dari Kota Jakarta. Melalui darat, di tengah perjalanan, anda akan dihubungkan dengan transportasi laut yaitu dengan kapal fery. Dimana anda akan terhubung melalui Pelabuhan Merak (Banten) dan Pelabuhan Bakauheni (Lampung). Dari Jakarta menuju Pelabuhan Merak anda dapat langsung mengakses tol Jakarta Merak, tetapi beda halnya setelah anda sampai di Pelabuhan Bakauheni (Lampung), dijalur ini belum tersedia jalan tol. Waktu tempuh dari Pelabuhan Bakauheni menuju pusat kota kurang lebih dapat ditempuh selama 2 jam saja.

Bagi anda yang sedang berlibur atau berkunjung ke Provinsi Bandar Lampung tepatnya di Pulau Sumatera Indonesia. Jangan melewatkan objek-objek wisata yang ada di Provinsi Lampung.

Berikut ini objek-objek wisata yang bisa anda datangi di Provinsi Lampung:

  1. Wisata pantai Teluk Kiluan (lumba-lumba)
  2. Pantai Pasir Putih
  3. Pantai Slaki
  4. Pantai Mutun
  5. Pantai Kelapa Rapat
  6. Pantai Duta Wisata
  7. Pantai Tirtayasa
  8. Pantai Puri Gading
  9. Museum Lampung
  10. Kalianda Resort
  11. Gunung Anak Krakatau
  12. Festival Krakatau (acara tahunan)
  13. Pusat Pelatihan Gajah Way Kambas
  14. Air terjun Way Lalaan
  15. Pantai Tanjung Setia
  16. Danau Ranau
  17. Gunung Tanggamus
  18. Sentra keripik pisang
  19. Situs Pugung Raharjo
  20. Pasar Seni Enggal Bandar Lampung

Memahami pendidikan kewarganegaraan


Memahami Pendidikan kewarganegaraan
By: Mohammad Mona Adha

Pendidikan kewarganegaraan memegang peranan yang cukup penting untuk memberikan arahan dan pemahaman kepada warga negara agar dapat bertindak dan berperilaku yang baik kapanpun dan dimanapun mereka berada. Sebagai warga negara yang mengerti akan keberadaan diri pribadi mereka, diharapkan mereka mampu untuk memposisikan diri mereka sebagai individu yang terbaik dalam kehidupannya sehari-hari. Pendidikan kewarganegaraan pula memberikan pemahaman kepada setiap warga negara agar dapat berbuat yang positif untuk orang banyak. Dalam artian, setiap individu agar mampu melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan manfaat bagi orang-orang yang terlibat didalam aktivitas tersebut dan juga bermanfaat bagi mereka yang tidak terlibat secara langsung. Dengan melakukan kegiatan-kegiatan atau program-program yang nyata dan bermanfaat akan memberikan kontribusi yang signifikan untuk perkembangan dan pembangunan diri warga negara itu sendiri. Dengan hanya terinspirasi oleh kegiatan-kegiatan yang bermanfaat tadi, paling tidak terbentuk adanya warga negara yang baik dan sekaligus berpotensi baik bagi dirinya sendiri dan untuk kemajuan bangsa dan negara Indonesia yang kita cintai.

Pendidikan kewarganegaraan juga memberikan arti penting untuk menjaga hubungan antar personal, personal dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Sehingga dengan demikian hubungan baik dan kekuatan hubungan itu sendiri dapat berjalan sesuai dengan yang kita harapkan, kemudian yang pada akhirnya menciptakan keharmonisan, kerukunan, persahabatan, kasih sayang antar sesama, kebaikan, dan kebersamaan.

Satu hal lagi yang perlu dicermati adalah bahwa pendidikan kewarganegaraan tidaklah terbatas oleh dinding-dinding kelas semata. Tetapi pendidikan kewarganegaraan lebih luas cakupannya saat ini seiring dengan era globalisasi. Sehingga skala pendidikan kewarganegaraan dapat digolongkan dalam skala lokal, skala nasional, dan skala global atau internasional. Perlu kiranya hal ini dipahami oleh setiap orang bahwa apa yang menjadi kajian dalam pendidikan kewarganegaraan tidaklah hanya terbatas oleh text book saja, tidak terbatas pada tulisan-tulisan saja, tetapi apa yang menjadi perbincangan, sendi-sendi kehidupan, segala aspek yang ada dalam masyarakat merupakan cakupan atau bahasan dari pendidikan kewarganegaraan baik itu yang bersifat lokal, nasional, dan internasional.

8 Kebiasaan Menurut Covey


8 Kebiasaan Menurut Covey

Delapan kebiasaan yang ditawarkan Covey untuk mengembangkan karakter yakni:

Habit-1:
Vision atau bersikap proaktif (Principles of Personal)
Habit-2:
Memulai dengan akhir dalam pikiran (Principles of Personal Leadership)
Habit-3:
Mendahulukan yang utama (Principles of Personal Management)
Habit-4:
Berpikir menang-menang (Principles of Interpersonal Leadership)
Habit-5:
Berusaha mengerti terlebih dahulu (pathos) sebelum dimengerti (logos) (Principles of Empathetic Communication)
Habit-6:
Mewujudkan sinergi (Principles of Creative Communication)
Habit-7:
Kebiasaan pembaruan diri (Principles of Balanced Self-Renewal)
Habit-8:
Menggali dan menemukan potensi diri serta memberikan inspirasi kepada orang lain untuk menemukan potensinya  

Problems in Studying Class and Ethnicity


Problems in Studying Class and Ethnicity

Several intractable problems confront the scholar who tries to determine the relationship among social class, ethnicity, and cognitive and motivational styles. Most of the literature describing the cognitive and motivational styles of ethnic students includes little or no discussion of social class or other factors that might cause within group variations, such as gender, age, or situational aspects. Social class is often conceptualized and measured differently in studies that include class as a variable; this makes it difficult to compare results from different studies. Researchers frequently use different scale and instruments to measure variables related to cognitive, learning, and motivational styles. Operationally defining social class, especially across different ethnic and cultural groups, os one of the most difficult tasks facing social scientists today.

The nature of social class is changing in the United States. Behavior associated with the lower class 15 years ago – such as single parent families – is now common in the middle class. Because social class is a dynamic and changing concept, it is difficult to study social class over time and across different cultural and ethnic groups.
(James A. Banks, 1997: 53)