PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN, PEMBANGUNAN CIVIL –SOCIETY,
DAN KEBIJAKAN PUBLIK
Oleh
Muhammad
Mona Adha
ABSTRAK
Bangsa
Indonesia pada saat ini sedang mengalami transisi demokrasi, oleh
karena itulah dibutuhkan perluasan pemahaman dan pemaknaan secara
lugas mengenai konsep-konsep dasar politik dan kebijakan publik yang
dibutuhkan pada zaman yang terus berkembang ini. Kebijakan publik
diupayakan sebagai wahana untuk menciptakan kesetimbangan antara
state, market, dan civil-society. Kemudian bagaimana
juga keterkaitan antara konsep politik dengan kebijakan publik,
keterkaitan antara kekuasaan politik dan proses pengambilan
keputusan, peran partai politik dan kelompok kepentingan dalam
memformulasikan kebijakan publik dan implementasi dari kebijakan
publik, evaluasi dan dampaknya, serta bagaimana seharusnya kebijakan
publik itu berfungsi.
Paradigma Baru
Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan
kewarganegaraan saat ini tengah berupaya mengembangkan paradigma baru
pendidikan kewarganegaraan (PKn/Civic or Citizenship Education).
Dalam paradigm baru PKn tersebut dijelaskan bahwa visi PKn ke depan
adalah sebagai education about, through, and for citizenship
(CICED, 2000; QCA, 1999 dalam Winataputra, 2002).
Sejalan dengan visi tersebut dalam paradigma baru Pkn abad XXI itu
juga disebutkan bahwa ke depan Pkn memiliki misi sosio-pedagogis,
sosio-akademis, dan sosio-kultural yang memungkinkan pengembangan dan
pembinaan civic knowledge, civic virtue, dan civic culture
secara terpadu dan berkesinambungan (Winataputra, 2001). Di samping
itu, relevan dengan upaya demokratisasi di Indonesia, PKn juga
mengemban misi learning democracy, in democracy, and for democracy
(Winataputra, 2001). Kesemua misi PKn di atas pada dasarnya bertujuan
untuk mengembangkan civic intelligence dan civic
participation setiap warga negara Indonesia ke depan (Cogan,
1999).
Pembelajaran kita selama ini berjalan dengan
verbalistik dan berorientasi semata-mata kepada penguasaan isi dari
mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Pengamatan terhadap
praktek pendidikan sehari-hari menunjukkan bahwa pembelajaran
difokuskan agar siswa menguasai informasi yang terkandung dalam
materi pelajaran dan kemudian dievaluasi dari seberapa jauh
penguasaan itu dicapai oleh siswa. Seakan-akan pembelajaran bertujuan
untuk menguasai isi dari mata pelajaran tersebut. Bagaimana
keterkaitan materi ajar dengan kehidupan sehari-hari dan bagaimana
materi tersebut dapat digunakan untuk memecahkan problema kehidupan,
kurang mendapat perhatian. Pendidikan seakan terlepas dari kehidupan
keseharian, seakan-akan pendidikan untuk pendidikan atau pendidikan
tidak terkait dengan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu siswa
tidak mengetahui manfaat apa yang dipelajari, seringkali tidak tahu
bagaimana menggunakan apa yang telah dipelajari dalam kehidupan
siswa.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Sukadi
(2007: 739), bahwa pendidikan kewarganegaraan selama ini hanya
menekankan pentingnya pengetahuan kewarganegaraan tanpa mempunyai
implikasi sosial budaya yang positif kepada kehidupan sosial
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Dengan demikian
konsekuensinya, banyak warga negara yang telah memahami konsep,
sikap, nilai, norma, dan nilai-nilai luhur lainnya, hubungan warga
negara dengan negara, hak dan kewajiban warga negara, dan pendidikan
awal bela negara, tetapi itu baru hanya sebatas pengetahuan hafalan
yang bersifat teoritis saja. Itupun sebatas pengetahuan level rendah.
Sementara itu, pemahaman dan wawasan, sikap, rasa percaya diri,
komitmen, dan perilaku bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara masih
jauh dari pencerminan karakter warga negara yang baik, yang dapat
diandalkan untuk kepentingan bangsa dan negara.
Berbicara mengenai pendidikan, maka tidak
terlepas dari bagiannya yaitu kurikulum. Suryadi dan Budimansyah
(2004: 180) mengemukakan bahwa kurikulum sekolah dewasa ini,
cenderung menjadi satu-satunya ‘kambing hitam’ yang dituduh
seolah-olah sebagai faktor yang mengakibatkan rendahnya mutu
pendidikan. Berbagai program peningkatan mutu pendidikan telah
dilakukan melalui pembakuan kurikulum sekolah tahun 1975-1976,
perubahan kurikulum 1984, dan perubahan kurikulum 1994. Namun sampai
saat ini masih terdapat beberapa masalah yang masih menghambat upaya
peningkatan mutu, yang sebenarnya boleh jadi bukan disebabkan oleh
masalah kurikulum sekolah yang tertulis. Permasalahan-permasalahan
itu adalah sebagai berikut:
Proses pembelajaran yang masih terlalu
berorientasi terhadap penguasaan teori dan hafalan dalam semua
bidang studi menyebabkan pengembangan kemampuan belajar dan
penalaran bagi para siswa sebagai inti dari keberhasilan pendidikan
menjadi terhambat bahkan cenderung terabaikan.
Kurikulum sekolah yang terlalu terstruktur dan
sarat beban mengakibatkan proses pembelajaran di sekolah menjadi
steril dengan keadaan dan perubahan lingkungan fisik dan sosial yang
terjadi di lingkungan. Keadaan ini menjadikan proses belajar menjadi
rutin, tidak menarik, dan tidak mampu memupuk kreatifitas baik untuk
murid, guru maupun pengelola pendidikan di sekolah-sekolah untuk
mengembangkan pendekatan pembelajaran yang inovatif.
Proses pendidikan dan pembelajaran yang belum
dikendalikan oleh suatu sistem penilaian yang terpercaya telah
menyebabkan mutu pendidikan belum termonitor secara teratur dan
objektif. Sulitnya melakukan perbandingan mutu pendidikan
antarwilayah, antardaerah, antarwaktu, antarnegara, dan sebagainya
menyebabkan hasil-hasil evaluasi pendidikan tidak bisa berfungsi
sebagai sarana umpan balik bagi penyempurnaan pendidikan.
Bertolak dari masalah tersebut, kiranya perlu
dilakukan langkah-langkah agar pendidikan dapat membekali peserta
didik dengan kecakapan hidup, yaitu kemampuan dan keberanian
menghadapi problema kehidupan, kemudian secara kreatif menemukan
solusi serta mampu mengatasinya. Pendidikan yang dapat mensinergikan
berbagai mata pelajaran/mata diklat/mata-kuliah menjadi kecakapan
hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia berada, bekerja atau
tidak bekerja, apapun profesinya. Dengan bekal kecakapan hidup yang
baik, diharapkan para lulusan akan mampu memecahkan problema
kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan
bagi mereka yang tidak melanjutkan pendidikannya. Dan juga dapat
“…mendorong keterbukaan intelektual, …” (Jawwad, 2004: 48).
Pembelajaran merupakan bagian atau elemen yang
memiliki peran yang sangat dominan untuk mewujudkan kualitas baik
proses maupun lulusan (output)
pendidikan. Dan hal ini pun sangat tergantung pada guru dalam
melaksanakan proses belajar mengajar di kelas. Hal ini senada dengan
apa yang dikemukakan oleh Muchith di bawah ini:
Artinya pembelajaran sangat tergantung dari
kemampuan guru dalam melaksanakan atau mengemas proses pembelajaran.
Pembelajaran yang dilaksanakan secara baik dan tepat akan memberikan
kontribusi sangat dominan bagi siswa, sebaliknya pembelajaran yang
dilaksanakan dengan cara yang tidak baik akan menyebabkan potensi
siswa sulit dikembangkan atau diberdayakan. (Muchith, 2008: 1)
Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan
bahwa, posisi guru memegang peranan penting untuk mengolah isi materi
yang akan disampaikan kepada siswa di kelas. Semakin berkualitas baik
itu dari segi isi materi dan strategi yang digunakan oleh guru, maka
akan semakin baik hasilnya bagi siswa.
Pendidikan sebagai salah satu langkah
mencerdaskan kehidupan bangsa dan menimbulkan potensi anak didik
sesuai dengan apa yang termaktub dalam UU RI No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 1 dan 2 yakni:
Pasal 1:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan akhlak, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara.
Pasal 2:
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang
berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945, yang berakar pada
nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap
terhadap tuntutan perubahan zaman.
Berdasarkan undang-undang di atas dapat
disimpulkan bahwa pendidikan yang diselenggarakan tidak lain adalah
untuk mengembangkan potensi peserta didik kita sesuai dengan minat
dan bakatnya. Kemudian menjadikan peserta didik lebih terampil dan
tentunya berkepribadian dan juga memiliki spiritual yang baik kepada
Sang Pencipta-Nya. Dimana pendidikan yang diselenggarakan berdasar
kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pendidikan juga berlaku bagi seluruh warga
negara tanpa terkecuali. Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan
oleh Crowly (1998: 169) bahwa “…
all who possess the status are equal with respect to the rights and
duties with which the status is endowed”. Dengan
demikian bahwa warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama
keberadaannya dalam negara. Siapapun berhak untuk mendapatkan
pendidikan di negara Indonesia ini. Dan juga “citizenship
concerns the rights and duties of a member of a country”,
yakni sebagai warga negara tidak lupa untuk memperhatikan hak dan
kewajibannya.
Pembangunan
Civil-society
Keberadaan suatu masyarakat mana pun, selain
terikat oleh teritorial di mana mereka hidup, secara sosiologis
selalu membentuk diri untuk memiliki identitas kolektif yang mengikat
kehidupan bersama. Dalam pandangan Giddens (1990: 32) masyarakat
dapat dikatakan sebagai “ a social
system of interrelationships which connects individuals together”.
Masyarakat sebagai suatu system interaksi dari kesatuan hidup bersama
senantiasa terstruktur (berpola) yang diikat sistem pengetahuan
kolektif yang menjadi pola bagi tingkah laku bersama dalam menanggapi
lingkungan kehidupannya, yang kemudian dikenal sebagai kebudayaan.
Kebudayaan terdiri atas seperangkat nilai dan norma yang menjadi
pedoman bertingkah laku bagi setiap anggota mayarakat, bahkan lebih
konkrit lagi berupa hal-hal fisik yang dibangun secara bersama yang
dikenal sebagai wujud kebudayaan fisik yang memiliki makna-makna
simbolik. Masyarakat tidak mungkin eksis tanpa kebudayaan, dan
kebudayaan juga tidak mungkin tumbuh tanpa masyarakat. Kebudayaan
berfungsi sebagai suatu system kesatuan makna, pendidikan, integrasi
sosial, identitas diri, dan hidup beradab yang bersemi dalam seluruh
alam pikiran kolektif anggota masyarakat. Dengan kebudayaan, manusia
memiliki memori kolektif dalam menanggapi lingkungan yang tetap
maupun berubah, sehingga manusia tidak bertindak berdasarkan naluri
(animal instinctual)
yang primitif, seperti halnya hewan, namun berdasarkan nalar dan
kesadaran rasional yang penuh simbol dan makna (animal
cultural).
Istilah civil-society
sering diartikan dengan masyarakat sipil atau masyarakat madani.
Masyarakat sipil dalam konteks negara yang demokratis meliputi
pelbagai pranata, seperti: pers yang bebas dan bertanggung jawab,
berkembangnya organisasi non pemerintah (ornop) atau non
governmental organizations (NGO’s)
yang beroposisi secara loyal kepada pemerintah, merdekanya
kelompok-kelompok agama dan adat, dan lain sebagainya. Dalam iklim
demokrasi yang sedang tumbuh seperti di Indonesia, kelompok-kelompok
ini dapat bahkan wajib memainkan peran vital baik untuk mengawasi
(counter balancing the state)
dan mengimbangi (check and balance)
kekuasaan negara dan ikut bekerja sama mewujudkan perubahan ke arah
yang lebih demokratis.
Sejak berakhirnya kekuasaan Soeharto,
masyarakat sipil kian tubuh subur, beragam, dan merdeka, mulai dari:
serikat pekerja, kelompok-kelompok etnis, perkumpulan-perkumpulan
masyarakat, hingga kelompok-kelompok kampanye. Kelompok-kelompok ini
kerapkali didominasi oleh orang-orang berpendidikan di perkotaan, dan
biasanya tak selalu mencapai masyarakat bawah (grassroots).
Dalam mengatur dan memajukan demokratisasi dalam masa reformasi,
organisasi-organisasi sipil tersebut perlu dibantu untuk membangun
pilar dan kerangka negara demokratis dengan mengikutsertakan seluruh
warga masyarakat termasuk di dalamnya kelompok masyarakat “akar
rumput” tadi, artinya dialog vertikal dan dialog horizontal
menjadi syarat utama dalam membangun pilar tersebut. Guna membangun
(saling) hubungan tersebut pemberdayaan dan penguatan (empowering
and strengthening) antara partai
politik dan konstituennya perlu dikembangkan dan digalakkan. Karena
saat ini hubungan antara partai politik yang ada di Indonesia dengan
massa pendukungnya yang berada di grassroots
masih sangat lemah. Organisasi
masyarakat sipil seperti: serikat-serikat pekerja, kelompok-kelompok
etnis, perkumpulan-perkumpulan masyarakat, hingga kelompok-kelompok
kampanye pada konteks membangun demokrasi yang kuat, bisa memainkan
peran dalam menjembatani jarak ini. Di desa-desa, di Indonesia
misalnya, masih ada banyak kelompok informal seperti masyarakat
Banjar, masyarakat lumbung desa, dan lain sebagainya yang harus
dibantu agar bias mewakili kepentingan-kepentingan rakyat setempat.
Pada saat yang sama, organisasi masyarakat sipil harus didorong
menuju efektivitas dan transparan, yang mempercayakan segala
mekanisme bukan pada charismatic
leadership tapi pada orang-orang
yang professional atau kompeten dibidangnya masing-masing. Melalui
kerangka tersebut di atas maka mereka perlu menjelaskan kepada public
apa tujuan mereka bersama, siapa yang menjalankan, dan dimana posisi
mereka berada menurut Barber dalam Saefullah (2006: 6). Oleh karena,
dalam masyarakat sipil yang berkembang, peran ornop amat penting
artinya.
Hadiwinata dalam Saefullah (2006: 6), bahwa ada
tiga peran atau pendekatan yang dapat dilakukan oleh ornop dalam
membangun masyarakat sipil daam kerangka transisi menuju demokrasi.
Pertama, memfokuskan pada penyedia layanan dan dana pada kelompok
masyarakat tertentu (welfare
approach); kedua, memfokuskan pada
peningkatan kapasitas masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar
mereka (developmental approach),
dan terakhir, pembangunan (community
development) dan pemberdayaan
masyarakat (empowering approach).
Sedangkan Barber dalam Saefullah (2006: 7) membagi masyarakat sipil
dalam tiga jenis: (1) libertarian
civil society; (2) communication
civil society; dan (3) strong
democratic civil society yang
intinya relatif sama dengan apa yang diutarakan oleh Giddens (1998)
dalam the Third Way-nya.
Namun yang terpenting dalam memahami masyarakat sipil adalah ornop
yang merupakan salah satu dari elemen masyarakat harus memberikan
dorongan, daya, dan pelatihan bagi warga agar mereka tidak terlampau
tergantung pada (belas kasihan) negara.
Proyeksi ke depan, semangat membangun
masyarakat sipil atau civil-society
sebagai suatu model masyarakat yang demokratik yang religious dan
berkeadaban memiliki koherensi dengan apa yang oleh Hesselbein dalam
Diktilitbang PP Muhammadiyah (2003: 69) disebut sebagai kualitas
masyarakat ideal masa depan (the
ideal community of the future),
yakni masyarakat yang terdiri atas empat elemen pokok, yaitu:
one
standard: prinsip mengutamakan
kebajikan untuk hidup baik dan menjunjung tinggi hukum serta
keteraturan; (2) one heart:
visi dan arahan untuk menempatkan nilai luhur yang menyatu dalam
hati nurani dan mementingkan kepatuhan dan kemampuan membawa diri
dalam hidup; (3) one mind:
yang mengarah pada tujuan, misi, dan kesatuan; bukan uniformitas,
keberagaman dan bukan keseragaman; (4) economic
equality: tidak adanya kemiskinan
dalam kehidupan manusia.
Masyarakat
sipil atau civil-society
sebagai suatu format masyarakat yang diidam-idamkan memerlukan
sosialisasi nilai dalam kehidupan masyarakat luas, selain sebagai
upaya politik melalui perubahan-perubahan struktural di tingkat
negara. Agenda sosialisasi nilai-nilai yang dimaksudkan adalah
nilai-nilai kewargaan sebagaimana kandungan dari konsep dan prasyarat
masyarakat madani atau civil-society.
Sosialisasi nilai tersebut dimaksudkan agar setiap anggota masyarakat
selaku warga negara benar-benar menyadari hak dan kewajibannya secara
otonom dan penuh tanggung jawab demi terciptanya tatanan masyarakat
sipil dalam keseluruhan struktur kehidupan baik pada negara maupun
masyarakat.
Keterkaitan
Antara Pendidikan Kewarganegaraan dengan Kebijakan Publik
Proses pembuatan kebijakan apa pun pada umumnya berawal dari adanya
awareness of a problem (kesadaran akan adanya masalah
tertentu). Misalnya, gagalnya kebijakan tertentu dalam upayanya
mengatasi suatu masalah pada suatu tingkat yang dianggap memuaskan.
Tapi pada situasi lain, awal diulainya proses pembuatan kebijakan
publik juga bisa berlangsung karena adanya masalah tertentu yang
sudah sekian lama dipersepsikan sebagai sesuatu hal yang belum pernah
tersentuh atau dengan kata lain belum ditanggulangi lewat kebijakan
pemerintah. Pada titik ini kemudian mulai membangkitkan perhatian
tertentu.
Thomas R Dye dan James Anderson dalam Saefullah (2006: 38), ada tiga
alasan yang melatarbelakangi mengapa kebijakan publik perlu untuk
dipelajari. Pertama, pertimbangan ilmiah (scientific
reason). Kebijakan publik dipelajari dalam rangka untuk menambah
pengetahuan yang lebih mendalam, mulai dari prosesnya,
perkembangannya, serta akibat-akibat yang ditimbulkannya bagi
masyarakat. Pada gilirannya hal ini akan meningkatkan pemahaman kita
mengenai sistem politik dan masyarakat pada umumnya. Untuk tujuan
ilmiah, kebijakan publik dapat dipandang baik sebagai variabel
dependen maupun variabel independen. Dikatakan sebagai variabel
dependen manakala perhatiannya tertuju pada faktor politik
lingkungannya yang mempengaruhi atau menentukan konten kebijakan.
Misalnya, bagaimana kebijakan dapat dipengaruhi oleh distribusi
kekuasaan antara kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat dan
instansi pemerintah? Bagaimana juga, misalnya militerisme dan
bubarnya departemen dapat mempengaruhi isi kebijakan? Jika kebijakan
publik dipandang sebagai variabel independen, maka sebaliknya,
perhatian kita beralih pada dampak kebijakan pada sistem politik dan
lingkungannya. Sebagai contoh, misalnya bagaimana kebijakan publik
mempengaruhi dukungan terhadap sistem politik atau sistem kepartaian
yang tengah berwujud dimasa datang? Apakah dampak kebijakan publik
atas kesejahteraan sosial warga?
Kedua, pertimbangan professional (professional reason).
Don K Price dalam Saefullah (2006: 39) memberikan pemisahan antara
scientific-estate yang hanya mencari untuk kepentingan ilmu
pengetahuan dengan professional estate atau professional reasons yang
berusaha menerapkan ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah sosial
secara praktis. Dalam bahasa sederhana bahwa studi kebijakan
digunakan sebagai alat untuk menerapkan pengetahuan ilmiah dalam
rangka menyelesaikan masalah sehari-hari.
Ketiga, pertimbangan politis (political reasons). Kebijakan
public dipelajari pada dasarnya agar setiap perundangan dan regulasi
yang dihasilkan dapat tepat guna mencapai tujuan yang sesuai dengan
target, bahwa pemerintah menggunakan kebijakan yang cocok untuk
mencapai tujuan yang benar.
Berdasarkan penjelasan di atas, oleh karena itulah dibutuhkan
pendekatan yang inovatif yang memungkinkan perwujudan visi dan misi
PKn itu sendiri. Untuk memahami dan membelajarkan mengenai kebijakan
publik, maka peserta didik hendaknya juga diberikan bagaimana proses
awal yang dimulai dari pemahaman siswa hingga kepada bagaimana
langkah-langkah mewujudkan kebijakan public yang nantinya akan
diimplementasikan kepada masyarakat. Dalam pembelajaran PKn/Kewiraan
melalui penerapan model praktik belajar kewarganegaraan berbasis
kebijakan publik (Budimansyah, 2008: 41 ), dengan demikian diharapkan
dapat meningkatkan keterampilan intelektual dan akademis serta
keterampilan sosial kewarganegaraan mahasiswa.
Budimansyah (2007: 34) menjelaskan bahwa Civic
Education dikembangkan sebagai
central goal
dari sistem pendidikan, dipersyaratkan untuk seluruh tingkatan
sekolah yang menerapkan pembelajaran yang “of
high quality and sufficient quantity,”
menggunakan pendekatan yang bersifat “interdisciplinary” dan
metode pembelajaran yang bersifat “interactive”.
Desain kurikulum yang menitikberatkan pada “how
to think rather than what to think”
merefleksikan “community realities”
yang mencakup materi “historical”
dan contemporary,
memperlakukan kelas sebagai “democratic
laboratory.” Kontribusi masyarakat
dalam “civic education”
dan perlibatan siswa dalam masyarakat untuk mendapatkan “civic
experiences in the community.
Paradigma ini tampaknya merupakan pengembangan secara sinergistik
dari tradisi “citizenship
transmission, social science dan reflective inquiry dalam social
studies.
Citizenship transmission
yang dikembangkan adalah pemahaman, penghayatan, dan pelaksanaan hak
dan kewajiban sebagai warga negara dalam proses demokrasi
konstitusional negaranya, sedangkan dimensi social
science yang dikembangkan adalah
cara berpikir “interdisciplinary
dan inquiry”
yang bertolak dari ilmu politik, dan dimensi “reflective
inquiry” yang dikembangkan adalah
kemampuan dalam “decision making
process” mengenai dan dalam
praksis demokrasi konstitusional negaranya.
Diharapkan melalui konsep-konsep di atas agar
nantinya pembelajaran pendidikan kewarganegaraan di masa mendatang
akan lebih baik sehingga dapat menghasilkan warga negara yang baik
dan cerdas untuk membangun bangsa ini dan memiliki daya saing atau
kompetisi secara global.
Apa
dan Bagaimana Mengenai Kebijakan Publik
Literatur
ilmu politik tradisional dipenuhi oleh definisi-definisi mengenai
kebijakan publik. Cepat atau lambat kelihatanya hampir setiap scholar
ilmu politik merasa perlu untuk mendefinisikan sarana komunikasi bagi
para perumus dan analis kebijakan publik di kemudian hari manakala
mereka melakukan diskusi dalam ruang politis. Selain itu,
pendefinisian ini diperlukan dalam rangka menentukan definisi
operasional ketika para scholars
melakukan penelitian lapangan yang membutuhkan definisi secara tepat.
Robert
Eyestone dalam Saefullah (The Threads
of Public Policy) (2006: 40)
mendefinisikan kebijakan publik sebagai “hubungan antara unit
pemerintah dengan lingkungannya”. Definisi lain menurut Thomas R
Dye dalam Saefullah (2006: 41) mengatakan bahwa,”kebijakan publik
adalah apa yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau tidak
dikerjakan. Melalui definisi Thomas R Dye ini, dapat disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan antara apa yang akan dikerjakan pemerintah
dan apa yang sesungguhnya harus dikerjakan oleh pemerintah.
Definisi
lain mengenai kebijakan publik pun ditawarkan oleh Carl Friedrich
dalam Saefullah (2006: 41) yang mengatakan bahwa kebijakan
adalah,”serangkaian tindakan atau kegiatan yang diusulkan oleh
seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu
dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan
kemungkinan-kemngkinan (kesempatan-kesempatan) dimana kebijakan
tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai
tujuan yang dimaksud.
Dalam
kaitannya dengan definisi-definisi tersebut maka dapat disimpulkan
beberapa karakteristik utama dari suatu definisi kebijakan publik.
Pertama,
pada umumnya kebijakan public perhatiannya ditujukan pada tindakan
yang mempunyai maksud atau tujuan tertentu daripada perilaku yang
berubah atau acak. Kedua,
kebijakan publik pada dasarnya mengandung bagian atau pola kegiatan
yang dilakukan oleh pejabat pemerintah daripada keputusan yang
terpisah-pisah. Misalnya suatu kebijakan tidak hanya meliputi
keputusan untuk mengeluarkan peraturan tertentu tetapi juga keputusan
berikutnya yang berhubungan dengan penerapan dan pelaksanaannya.
Ketiga,
kebijakan publik merupakan apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh
pemerintah dalam mengatur perdagangan, mengontrol inflasi, atau
menawarkan perumahan rakyat, bukan apa maksud yang dikerjakan atau
yang akan dikerjakan. Ini artinya kebijakan publik pun memperhatikan
apa yang kemudian akan dapat terjadi setelah kebijakan itu
diimplementasikan. Keempat,
kebijakan publik dapat berbentuk positif maupun negatif. Secara
positif, kebijakan publik melibatkan beberapa tindakan pemerintah
yang jelas dalam menangani suatu permasalahan. Kelima,
kebijakan publik, paling tidak secara positif, didasarkan atas hukum
dan merupakan tindakan yang bersifat memerintah. Anggota masyarakat
dapat menerima sebagai sesuatu yang sah bahwa pajak haruslah dibayar,
pengontrolan import harus dipatuhi, dan peraturan antimonopoli harus
diikuti, bila tidak menginginkan adanya resiko didenda, hukuman
penjara, atau sanksi legal lainnya yang dapat dijatuhkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Cogan, J, J. (1998). Citizenship for the 21st
Century. An International Perspective on Education. London: Kogan
Page.
Crowly, J. (1998). The National Dimension of Citizenship in T.H.
Marshall. Citizenship Studies, Vol. 2 No. 2, 1998, 169.
Gidden, A. (1993). Sociology. Cambridge: Polity Press
Jawwad, A,B. (2004). Mengembangkan Inovasi dan Kreatifitas
Berpikir Pada Diri dan Organisasi Anda. Bandung: PT. Syamiil
Cipta Media.
Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah. (2003). Pendidikan
Kewarganegaraan. Yogyakarta: Diktilitbang PP Muhammadiyah
Muchith, S. (2008). Pembelajaran Kontekstual. Semarang:
Rasail.
Saefullah, D. (2006). Politik dan Kebijakan Publik. Bandung:
Aifi Bandung.
Sukadi, (2007). Praktik Belajar Kewarganegaraan Berbasis Kebijakan
Publik dan Peningkatan Kecakapan Kewarganegaraan Mahasiswa. Jurnal
Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 3 TH XXXX Juli 2007.
Suryadi, Budimansyah, D. (2004). Pendidikan Nasional Menuju
Masyarakat Indonesia Baru. Bandung; Genesindo.
Winataputra dan Budimansyah, D. (2007). Civic Education: Konteks,
Landasan, Bahan Ajar, dan Kultur Kelas. Bandung: UPI Bandung