Senin, 14 Februari 2011

Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (Bagian 2)

  1. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Budimansyah (2007: 34) menjelaskan bahwa Civic Education dikembangkan sebagai central goal dari sistem pendidikan, dipersyaratkan untuk seluruh tingkatan sekolah yang menerapkan pembelajaran yang “of high quality and sufficient quantity,” menggunakan pendekatan yang bersifat “interdisciplinary” dan metode pembelajaran yang bersifat “interactive”.
Desain kurikulum yang menitikberatkan pada “how to think rather than what to think” merefleksikan “community realities” yang mencakup materi “historical” dan contemporary, memperlakukan kelas sebagai “democratic laboratory.” Kontribusi masyarakat dalam “civic education” dan perlibatan siswa dalam masyarakat untuk mendapatkan “civic experiences in the community. Paradigma ini tampaknya merupakan pengembangan secara sinergistik dari tradisi “citizenship transmission, social science dan reflective inquiry dalam social studies.

Citizenship transmission yang dikembangkan adalah pemahaman, penghayatan, dan pelaksanaan hak dan kewajiban sebagai warga negara dalam proses demokrasi konstitusional negaranya, sedangkan dimensi social science yang dikembangkan adalah cara berpikir “interdisciplinary dan inquiry” yang bertolak dari ilmu politik, dan dimensi “reflective inquiry” yang dikembangkan adalah kemampuan dalam “decision making process” mengenai dan dalam praksis demokrasi konstitusional negaranya.
Diharapkan melalui konsep-konsep di atas agar nantinya pembelajaran pendidikan kewarganegaraan di masa mendatang akan lebih baik sehingga dapat menghasilkan warga negara yang baik dan cerdas untuk membangun bangsa ini dan memiliki daya saing atau kompetisi secara global.
Somantri (2001: 299) mengemukakan mengenai perumusan pendidikan kewarganegaraan yang cocok dengan Indonesia.
Pendidikan kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengaruh-pengaruh positif dari pendidikan sekolah, masyarakat, dan orang tua, yang kesemuanya itu diproses guna melatih para siswa untuk berpikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa atas dasar batasan itulah maka pendidikan kewarganegaraan harus mengenai sasaran kebutuhan para siswa. Mereka jangan terlalu banyak diberi hal-hal yang terlalu abstrak, tetapi hal-hal yang nyata dan berguna bagi kehidupan sehari-hari, tanpa mengurangi tujuan idiilnya.
Budimansyah (2008: 14) mengemukakan bahwa pada saat Kurikulum 2004 disosialisasikan di sekolah-sekolah, yang dikenal dengan sebutan kegiatan floating, Peraturan Pemerintah (PP) tentang Standar Nasional Pendidikan (PP SNP) diterbitkan, PP tersebut mengamatkan bahwa yang berwenang menyusun kurikulum adalah satuan pendidikan yang disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sementara dalam kurikulum 2004, kurikulum masih disusun oleh pemerintah. Jika hal ini dibiarkan berarti kita melanggar aturan. Maka dilakukanlah perubahan berkelanjutan (kontinu) yang dilakukan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Dengan menggunakan bahan dasar Kurikulum 2004 BSNP mengembangkan Standar Isi (Permen Nomor 22 Tahun 2006) dan Standar Kompetensi Lulusan (Permen Nomor 23 Tahun 2006).
Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan itu merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam menyusun KTSP. Dalam Standar Isi maupun Standar Kompetensi Lulusan, PPKn diubah lagi namanya menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Dalam dokumen tersebut ditegaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.
  1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.
  2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi.
  3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.
  4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Harus diakui bahwa dalam melaksanakan tugas dan perannya sebagai guru civics tidaklah mudah seperti membalikkan telapak tangan, melainkan guru civics dihadapkan pada sejumlah tantangan yang harus diketahui dan dipahami oleh para guru. Sebagaimana dikemukakan Somantri dalam Wuryan (2008: 46) bahwa guru civics dituntut harus memahami: (a) berbagai macam teknik mengajar, (b) hubungan bahan pelajaran civics dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, (c) lingkungan masyarakat, agama, sains dan teknologi, dan (d) menganalisis karakter kata-kata ilmu sosial yang dapat ditafsirkan dari berbagai arti sudut pandang, terlebih latar belakang siswa yang berbeda-beda. Hal inilah yang oleh Samuelson disebut dengan tirani kata-kata (tyranny of words).
Mark dalam Wuryan (2008: 46) mengemukakan bahwa berkenaan dengan kesulitan mengajar civics adalah “to steer between dull memorization of facts on one hand, and broad unsupported generalization on the other.” Artinya, guru harus memadukan hapalan-hapalan dengan kehidupan yang sebenarnya dalam masyarakat. Dengan memadukan “dull memorization” dengan kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, maka para siswa dapat dilatih untuk berpikir, bersikap, dan bertindak demokratis di dalam kelas. Dengan kata lain, guru-guru harus melatih para siswa untuk berlatih menemukan konsensus dalam kehidupan masyarakat yang demokratis.
Tantangan lain yang dihadapi oleh guru civics menurut Somantri adalah kenyataan bahwa dalam pembelajaran ilmu-ilmu sosial, seperti pembelajaran civics, sejarah, geografi, ekonomi dan sebagainya seringkali mengundang rasa bosan dan menjenuhkan di kalangan siswa. Pertanyaannya adalah mengapa hal ini dapat terjadi? Hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya adalah (a) sifat ilmu sosial yang berbeda dengan ilmu alam atau eksakta, (b) bahasa dalam ilmu sosial dapat ditafsirkan dari berbagai sudut pandang (point of view) atau bersifat multi interpretation, lebih-lebih latar belakang siswa yang berbeda, (c) buku teks ilmu sosial kurang menghubungkan teori dan kegiatan dasar manusia, dan (d) banyaknya isu-isu kontroversial dalam pelajaran ilmu-ilmu sosial.
Senada dengan hal tersebut di atas Mulyasana dalam Djahiri (2006: 166) mengemukakan bahwa
Pada kenyataannya, proses pembelajaran di Indonesia dititikberatkan pada pencapaian target kurikulum dengan menggunakan angka dan ijasah sebagai alat ukur keberhasilan. Kondisi ini telah memaksa terbentuknya iklim kelas yang hanya menetapkan nilai dan ijasah sebagai ukuran prestasi belajar. Dengan demikian tidaklah keliru apabila orientasi belajar para peserta didik akan melakukan “penghalalan” segala cara untuk memperoleh nilai dan ijasah. Merekayasa tugas pun akan dinyatakan sah demi nilai dan ijasah.

Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa pendidikan kewarganegaraan dalam praktiknya saat ini hendaknya lebih ditekankan pada pembentukan pada proses pemberdayaan warga negara, sehingga mereka mampu berperan sebagai partner pemerintah dalam menjalankan tugas kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Karena itu, pendidikan kewarganegaraan, diarahkan pada upaya pemberdayaan peserta didik menjadi manusia yang bermartabat, mampu bersaing dan unggul dijamannya, serta dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan di lingkungannya. Dalam posisi inilah pembelajaran pendidikan kewarganegaraan diarahkan pada proses pembebasan peserta didik dari ketidakbenaran, ketidakadilan, ketidakjujuran.
Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan upaya-upaya yang terencana dan terarah dalam suatu terutama dalam pembelajaran PKn yang mampu menggali seluruh potensi individu/warga negara secara cerdas dan efektif demi terbentuknya masyarakat yang sejahtera lahir dan batin. Untuk itu, diperlukan pembaharuan/reformasi konsep dan paradigma pembelajaran PKn dari yang hanya menekankan pada aspek kognitif menjadi penekanan pada pengembangan proses institusi-institusi negara dan kelengkapannya (Wahab, 1999).
Budimansyah (2008: 182) mengungkapkan bahwa perlu dilakukan revitalisasi PKn agar menjadi “subjek pembelajaran yang kuat (powerful learning area) yang secara kurikuler ditandai oleh pengalaman belajar secara kontekstual dengan ciri-ciri bermakna (meaningful), terintegrasi (integrated), berbasis nilai (value based), menantang (challenging) dan mengaktifkan (activating).
Suryadi (1999: 31) mengemukakan bahwa Civic Education menekankan pada empat hal:
Pertama, Civic Education bukan sebagai indoktrinasi politik, Civic Education sebaiknya tidak menjadi alat indoktrinasi politik dari pemerintahan yang berkuasa. Civic Education seharusnya menjadi bidang kajian kewarganegaraan serta disiplin lainnya yang berkaitan secara langung dengan proses pengembangan warga negara yang demokratis sebagai pelaku-pelaku pembangunan bangsa yang bertanggung jawab.
Kedua, Civic Education mengembangkan state of mind, pembangunan karakter bangsa merupakan proses pembentukan warga negara yang cerdas serta berdaya nalar tinggi. Civic education memusatkan perhatian pada pembentukan kecerdasan (civic intelligence), tanggung jawab (civic responbility), dan partisipasi (civic participation) warga negara sebagai landasan untuk mengembangkan nilai dan perilaku demokrasi. Demokrasi dikembangkan melalui perluasan wawasan, pengembangan kemampuan analisis serta kepekaan sosial bagi warga negara agar mereka ikut memecahkan permasalahan lingkungan. Kecakapan analitis itu juga diperlukan dalam kaitan dengan sistem politik, kenegaraan, dan peraturan perundang-undangan agar pemecahan masalah yang mereka lakukan adalah realistis.
Ketiga, Civic Education adalah suatu proses pencerdasan, pendekatan mengajar yang selama ini seperti menuangkan air kedalam gelas (watering down) seharusnya diubah menjadi pendekatan yang lebih partisipatif dengan menekankan pada latihan penggunaan nalar dan logika. Civic education membelajarkan siswa memiliki kepekaan sosial dan memahami permasalahan yang terjadi di lingkungan secara cerdas. Dari proses itu siswa dapat juga diharapkan memiliki kecakapan atau kecerdasan rasional, emosional, sosial dan spiritual yang tinggi dalam pemecahan permasalahan sosial dalam masyarakat.
Keempat, Civic Education sebagai lab demokrasi, sikap dan perilaku demokratis perlu berkembang bukan melalui mengajar demokrasi (teaching democracy), akan tetapi melalui penerapan cara hidup berdemokrasi (doing democracy) sebagai modus pembelajaran. Melalui penerapan demokrasi, siswa diharapkan akan secepatnya memahami bahwa demokrasi itu penting bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dalam hal ini pembelajaran yang cocok dengan hal-hal tersebut adalah pembelajaran PKn dengan konsep dan paradigma baru yaitu pembelajaran berbasis portofolio yaitu melalui praktik belajar kewarganegaraan (Project Citizen) sebagai salah satu model adaptif dalam revitalisasi PKn (Winataputra;Budimansyah, 2008: 182) yang dapat menggantikan pembelajaran sebelumnya yang sering dikenal dengan pembelajaran konvensional.

0 comments: