Narita International Airport,Japan

Preparing for departure

East West Center, University of Hawaii

All of the participants for Civic Education short course, University Of Hawaii

Davi and Haris

Happy family of my little sister

Elementary School in Hawai'i

Fun learning and school visit

Project Citizen SMP Negeri 16 Bandar Lampung

Implementasi model Project Citizen di SMPN 16 Bandar Lampung

Narita International Airport

Funny and new experience

Rabu, 19 Juni 2013

Anotasi Bibliography (Buku karangan: Thomas Lickona)


Picture: www.google.com

Anotasi Bibliography dari buku karangan Thomas Lickona


With remarkable swiftness, that has changed. Escalating moral problems in society-ranging from greed and dishonesty to violent crime to self-destructive behaviors such as drugs abuse and suicide-are bringing about new consensus. Now, from all across the country, from private citizens and public organizations, from liberals and conservatives alike, comes a summons to the schools: Take up the role of moral teachers of our children.
(Thomas Lickona, 1991: 3-4)

Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior. Good character consists of knowing the good, desiring the good, and doing the good, habits of the mind, habits of the heart, and habits of action. All three are necessary for leading a moral life, all three make up moral maturity. When we think about the kind of character we want for our children, it's clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within.
(Thomas Lickona, 1991: 51)

Moral action is, to a large extent, the outcome of the other two parts of character. If people have the moral qualities of intellect and emotion we have just examined, they are likely to do what they know and feel to be right.
There are times, however, when we may know what we should do, feel we should do it, but still fail to translate thought and feeling into action. To understand fully what moves a person to act morally or keeps a person from doing so we need to look at three more aspects of character: competence, will, and habit.
(Thomas Lickona, 1991: 61)


Pendidikan Kewarganegaraan, Pembangunan Civil-Society, dan Kebijakan Publik



PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN, PEMBANGUNAN CIVIL –SOCIETY, DAN KEBIJAKAN PUBLIK
Oleh
Muhammad Mona Adha

ABSTRAK
Bangsa Indonesia pada saat ini sedang mengalami transisi demokrasi, oleh karena itulah dibutuhkan perluasan pemahaman dan pemaknaan secara lugas mengenai konsep-konsep dasar politik dan kebijakan publik yang dibutuhkan pada zaman yang terus berkembang ini. Kebijakan publik diupayakan sebagai wahana untuk menciptakan kesetimbangan antara state, market, dan civil-society. Kemudian bagaimana juga keterkaitan antara konsep politik dengan kebijakan publik, keterkaitan antara kekuasaan politik dan proses pengambilan keputusan, peran partai politik dan kelompok kepentingan dalam memformulasikan kebijakan publik dan implementasi dari kebijakan publik, evaluasi dan dampaknya, serta bagaimana seharusnya kebijakan publik itu berfungsi.

Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan kewarganegaraan saat ini tengah berupaya mengembangkan paradigma baru pendidikan kewarganegaraan (PKn/Civic or Citizenship Education). Dalam paradigm baru PKn tersebut dijelaskan bahwa visi PKn ke depan adalah sebagai education about, through, and for citizenship (CICED, 2000; QCA, 1999 dalam Winataputra, 2002).
Sejalan dengan visi tersebut dalam paradigma baru Pkn abad XXI itu juga disebutkan bahwa ke depan Pkn memiliki misi sosio-pedagogis, sosio-akademis, dan sosio-kultural yang memungkinkan pengembangan dan pembinaan civic knowledge, civic virtue, dan civic culture secara terpadu dan berkesinambungan (Winataputra, 2001). Di samping itu, relevan dengan upaya demokratisasi di Indonesia, PKn juga mengemban misi learning democracy, in democracy, and for democracy (Winataputra, 2001). Kesemua misi PKn di atas pada dasarnya bertujuan untuk mengembangkan civic intelligence dan civic participation setiap warga negara Indonesia ke depan (Cogan, 1999).
Pembelajaran kita selama ini berjalan dengan verbalistik dan berorientasi semata-mata kepada penguasaan isi dari mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Pengamatan terhadap praktek pendidikan sehari-hari menunjukkan bahwa pembelajaran difokuskan agar siswa menguasai informasi yang terkandung dalam materi pelajaran dan kemudian dievaluasi dari seberapa jauh penguasaan itu dicapai oleh siswa. Seakan-akan pembelajaran bertujuan untuk menguasai isi dari mata pelajaran tersebut. Bagaimana keterkaitan materi ajar dengan kehidupan sehari-hari dan bagaimana materi tersebut dapat digunakan untuk memecahkan problema kehidupan, kurang mendapat perhatian. Pendidikan seakan terlepas dari kehidupan keseharian, seakan-akan pendidikan untuk pendidikan atau pendidikan tidak terkait dengan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu siswa tidak mengetahui manfaat apa yang dipelajari, seringkali tidak tahu bagaimana menggunakan apa yang telah dipelajari dalam kehidupan siswa.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Sukadi (2007: 739), bahwa pendidikan kewarganegaraan selama ini hanya menekankan pentingnya pengetahuan kewarganegaraan tanpa mempunyai implikasi sosial budaya yang positif kepada kehidupan sosial bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Dengan demikian konsekuensinya, banyak warga negara yang telah memahami konsep, sikap, nilai, norma, dan nilai-nilai luhur lainnya, hubungan warga negara dengan negara, hak dan kewajiban warga negara, dan pendidikan awal bela negara, tetapi itu baru hanya sebatas pengetahuan hafalan yang bersifat teoritis saja. Itupun sebatas pengetahuan level rendah. Sementara itu, pemahaman dan wawasan, sikap, rasa percaya diri, komitmen, dan perilaku bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara masih jauh dari pencerminan karakter warga negara yang baik, yang dapat diandalkan untuk kepentingan bangsa dan negara.
Berbicara mengenai pendidikan, maka tidak terlepas dari bagiannya yaitu kurikulum. Suryadi dan Budimansyah (2004: 180) mengemukakan bahwa kurikulum sekolah dewasa ini, cenderung menjadi satu-satunya ‘kambing hitam’ yang dituduh seolah-olah sebagai faktor yang mengakibatkan rendahnya mutu pendidikan. Berbagai program peningkatan mutu pendidikan telah dilakukan melalui pembakuan kurikulum sekolah tahun 1975-1976, perubahan kurikulum 1984, dan perubahan kurikulum 1994. Namun sampai saat ini masih terdapat beberapa masalah yang masih menghambat upaya peningkatan mutu, yang sebenarnya boleh jadi bukan disebabkan oleh masalah kurikulum sekolah yang tertulis. Permasalahan-permasalahan itu adalah sebagai berikut:
  1. Proses pembelajaran yang masih terlalu berorientasi terhadap penguasaan teori dan hafalan dalam semua bidang studi menyebabkan pengembangan kemampuan belajar dan penalaran bagi para siswa sebagai inti dari keberhasilan pendidikan menjadi terhambat bahkan cenderung terabaikan.
  2. Kurikulum sekolah yang terlalu terstruktur dan sarat beban mengakibatkan proses pembelajaran di sekolah menjadi steril dengan keadaan dan perubahan lingkungan fisik dan sosial yang terjadi di lingkungan. Keadaan ini menjadikan proses belajar menjadi rutin, tidak menarik, dan tidak mampu memupuk kreatifitas baik untuk murid, guru maupun pengelola pendidikan di sekolah-sekolah untuk mengembangkan pendekatan pembelajaran yang inovatif.
  3. Proses pendidikan dan pembelajaran yang belum dikendalikan oleh suatu sistem penilaian yang terpercaya telah menyebabkan mutu pendidikan belum termonitor secara teratur dan objektif. Sulitnya melakukan perbandingan mutu pendidikan antarwilayah, antardaerah, antarwaktu, antarnegara, dan sebagainya menyebabkan hasil-hasil evaluasi pendidikan tidak bisa berfungsi sebagai sarana umpan balik bagi penyempurnaan pendidikan.
Bertolak dari masalah tersebut, kiranya perlu dilakukan langkah-langkah agar pendidikan dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup, yaitu kemampuan dan keberanian menghadapi problema kehidupan, kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya. Pendidikan yang dapat mensinergikan berbagai mata pelajaran/mata diklat/mata-kuliah menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya. Dengan bekal kecakapan hidup yang baik, diharapkan para lulusan akan mampu memecahkan problema kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan bagi mereka yang tidak melanjutkan pendidikannya. Dan juga dapat “…mendorong keterbukaan intelektual, …” (Jawwad, 2004: 48).
Pembelajaran merupakan bagian atau elemen yang memiliki peran yang sangat dominan untuk mewujudkan kualitas baik proses maupun lulusan (output) pendidikan. Dan hal ini pun sangat tergantung pada guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar di kelas. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Muchith di bawah ini:
Artinya pembelajaran sangat tergantung dari kemampuan guru dalam melaksanakan atau mengemas proses pembelajaran. Pembelajaran yang dilaksanakan secara baik dan tepat akan memberikan kontribusi sangat dominan bagi siswa, sebaliknya pembelajaran yang dilaksanakan dengan cara yang tidak baik akan menyebabkan potensi siswa sulit dikembangkan atau diberdayakan. (Muchith, 2008: 1)
Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa, posisi guru memegang peranan penting untuk mengolah isi materi yang akan disampaikan kepada siswa di kelas. Semakin berkualitas baik itu dari segi isi materi dan strategi yang digunakan oleh guru, maka akan semakin baik hasilnya bagi siswa.
Pendidikan sebagai salah satu langkah mencerdaskan kehidupan bangsa dan menimbulkan potensi anak didik sesuai dengan apa yang termaktub dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 1 dan 2 yakni:
Pasal 1:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Pasal 2:
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Berdasarkan undang-undang di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang diselenggarakan tidak lain adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik kita sesuai dengan minat dan bakatnya. Kemudian menjadikan peserta didik lebih terampil dan tentunya berkepribadian dan juga memiliki spiritual yang baik kepada Sang Pencipta-Nya. Dimana pendidikan yang diselenggarakan berdasar kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pendidikan juga berlaku bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali. Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Crowly (1998: 169) bahwa “… all who possess the status are equal with respect to the rights and duties with which the status is endowed”. Dengan demikian bahwa warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama keberadaannya dalam negara. Siapapun berhak untuk mendapatkan pendidikan di negara Indonesia ini. Dan juga “citizenship concerns the rights and duties of a member of a country”, yakni sebagai warga negara tidak lupa untuk memperhatikan hak dan kewajibannya.

Pembangunan Civil-society
Keberadaan suatu masyarakat mana pun, selain terikat oleh teritorial di mana mereka hidup, secara sosiologis selalu membentuk diri untuk memiliki identitas kolektif yang mengikat kehidupan bersama. Dalam pandangan Giddens (1990: 32) masyarakat dapat dikatakan sebagai “ a social system of interrelationships which connects individuals together”. Masyarakat sebagai suatu system interaksi dari kesatuan hidup bersama senantiasa terstruktur (berpola) yang diikat sistem pengetahuan kolektif yang menjadi pola bagi tingkah laku bersama dalam menanggapi lingkungan kehidupannya, yang kemudian dikenal sebagai kebudayaan. Kebudayaan terdiri atas seperangkat nilai dan norma yang menjadi pedoman bertingkah laku bagi setiap anggota mayarakat, bahkan lebih konkrit lagi berupa hal-hal fisik yang dibangun secara bersama yang dikenal sebagai wujud kebudayaan fisik yang memiliki makna-makna simbolik. Masyarakat tidak mungkin eksis tanpa kebudayaan, dan kebudayaan juga tidak mungkin tumbuh tanpa masyarakat. Kebudayaan berfungsi sebagai suatu system kesatuan makna, pendidikan, integrasi sosial, identitas diri, dan hidup beradab yang bersemi dalam seluruh alam pikiran kolektif anggota masyarakat. Dengan kebudayaan, manusia memiliki memori kolektif dalam menanggapi lingkungan yang tetap maupun berubah, sehingga manusia tidak bertindak berdasarkan naluri (animal instinctual) yang primitif, seperti halnya hewan, namun berdasarkan nalar dan kesadaran rasional yang penuh simbol dan makna (animal cultural).
Istilah civil-society sering diartikan dengan masyarakat sipil atau masyarakat madani. Masyarakat sipil dalam konteks negara yang demokratis meliputi pelbagai pranata, seperti: pers yang bebas dan bertanggung jawab, berkembangnya organisasi non pemerintah (ornop) atau non governmental organizations (NGO’s) yang beroposisi secara loyal kepada pemerintah, merdekanya kelompok-kelompok agama dan adat, dan lain sebagainya. Dalam iklim demokrasi yang sedang tumbuh seperti di Indonesia, kelompok-kelompok ini dapat bahkan wajib memainkan peran vital baik untuk mengawasi (counter balancing the state) dan mengimbangi (check and balance) kekuasaan negara dan ikut bekerja sama mewujudkan perubahan ke arah yang lebih demokratis.
Sejak berakhirnya kekuasaan Soeharto, masyarakat sipil kian tubuh subur, beragam, dan merdeka, mulai dari: serikat pekerja, kelompok-kelompok etnis, perkumpulan-perkumpulan masyarakat, hingga kelompok-kelompok kampanye. Kelompok-kelompok ini kerapkali didominasi oleh orang-orang berpendidikan di perkotaan, dan biasanya tak selalu mencapai masyarakat bawah (grassroots). Dalam mengatur dan memajukan demokratisasi dalam masa reformasi, organisasi-organisasi sipil tersebut perlu dibantu untuk membangun pilar dan kerangka negara demokratis dengan mengikutsertakan seluruh warga masyarakat termasuk di dalamnya kelompok masyarakat “akar rumput” tadi, artinya dialog vertikal dan dialog horizontal menjadi syarat utama dalam membangun pilar tersebut. Guna membangun (saling) hubungan tersebut pemberdayaan dan penguatan (empowering and strengthening) antara partai politik dan konstituennya perlu dikembangkan dan digalakkan. Karena saat ini hubungan antara partai politik yang ada di Indonesia dengan massa pendukungnya yang berada di grassroots masih sangat lemah. Organisasi masyarakat sipil seperti: serikat-serikat pekerja, kelompok-kelompok etnis, perkumpulan-perkumpulan masyarakat, hingga kelompok-kelompok kampanye pada konteks membangun demokrasi yang kuat, bisa memainkan peran dalam menjembatani jarak ini. Di desa-desa, di Indonesia misalnya, masih ada banyak kelompok informal seperti masyarakat Banjar, masyarakat lumbung desa, dan lain sebagainya yang harus dibantu agar bias mewakili kepentingan-kepentingan rakyat setempat. Pada saat yang sama, organisasi masyarakat sipil harus didorong menuju efektivitas dan transparan, yang mempercayakan segala mekanisme bukan pada charismatic leadership tapi pada orang-orang yang professional atau kompeten dibidangnya masing-masing. Melalui kerangka tersebut di atas maka mereka perlu menjelaskan kepada public apa tujuan mereka bersama, siapa yang menjalankan, dan dimana posisi mereka berada menurut Barber dalam Saefullah (2006: 6). Oleh karena, dalam masyarakat sipil yang berkembang, peran ornop amat penting artinya.
Hadiwinata dalam Saefullah (2006: 6), bahwa ada tiga peran atau pendekatan yang dapat dilakukan oleh ornop dalam membangun masyarakat sipil daam kerangka transisi menuju demokrasi. Pertama, memfokuskan pada penyedia layanan dan dana pada kelompok masyarakat tertentu (welfare approach); kedua, memfokuskan pada peningkatan kapasitas masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka (developmental approach), dan terakhir, pembangunan (community development) dan pemberdayaan masyarakat (empowering approach). Sedangkan Barber dalam Saefullah (2006: 7) membagi masyarakat sipil dalam tiga jenis: (1) libertarian civil society; (2) communication civil society; dan (3) strong democratic civil society yang intinya relatif sama dengan apa yang diutarakan oleh Giddens (1998) dalam the Third Way-nya. Namun yang terpenting dalam memahami masyarakat sipil adalah ornop yang merupakan salah satu dari elemen masyarakat harus memberikan dorongan, daya, dan pelatihan bagi warga agar mereka tidak terlampau tergantung pada (belas kasihan) negara.
Proyeksi ke depan, semangat membangun masyarakat sipil atau civil-society sebagai suatu model masyarakat yang demokratik yang religious dan berkeadaban memiliki koherensi dengan apa yang oleh Hesselbein dalam Diktilitbang PP Muhammadiyah (2003: 69) disebut sebagai kualitas masyarakat ideal masa depan (the ideal community of the future), yakni masyarakat yang terdiri atas empat elemen pokok, yaitu:
  1. one standard: prinsip mengutamakan kebajikan untuk hidup baik dan menjunjung tinggi hukum serta keteraturan; (2) one heart: visi dan arahan untuk menempatkan nilai luhur yang menyatu dalam hati nurani dan mementingkan kepatuhan dan kemampuan membawa diri dalam hidup; (3) one mind: yang mengarah pada tujuan, misi, dan kesatuan; bukan uniformitas, keberagaman dan bukan keseragaman; (4) economic equality: tidak adanya kemiskinan dalam kehidupan manusia.

Masyarakat sipil atau civil-society sebagai suatu format masyarakat yang diidam-idamkan memerlukan sosialisasi nilai dalam kehidupan masyarakat luas, selain sebagai upaya politik melalui perubahan-perubahan struktural di tingkat negara. Agenda sosialisasi nilai-nilai yang dimaksudkan adalah nilai-nilai kewargaan sebagaimana kandungan dari konsep dan prasyarat masyarakat madani atau civil-society. Sosialisasi nilai tersebut dimaksudkan agar setiap anggota masyarakat selaku warga negara benar-benar menyadari hak dan kewajibannya secara otonom dan penuh tanggung jawab demi terciptanya tatanan masyarakat sipil dalam keseluruhan struktur kehidupan baik pada negara maupun masyarakat.

Keterkaitan Antara Pendidikan Kewarganegaraan dengan Kebijakan Publik
Proses pembuatan kebijakan apa pun pada umumnya berawal dari adanya awareness of a problem (kesadaran akan adanya masalah tertentu). Misalnya, gagalnya kebijakan tertentu dalam upayanya mengatasi suatu masalah pada suatu tingkat yang dianggap memuaskan. Tapi pada situasi lain, awal diulainya proses pembuatan kebijakan publik juga bisa berlangsung karena adanya masalah tertentu yang sudah sekian lama dipersepsikan sebagai sesuatu hal yang belum pernah tersentuh atau dengan kata lain belum ditanggulangi lewat kebijakan pemerintah. Pada titik ini kemudian mulai membangkitkan perhatian tertentu.
Thomas R Dye dan James Anderson dalam Saefullah (2006: 38), ada tiga alasan yang melatarbelakangi mengapa kebijakan publik perlu untuk dipelajari. Pertama, pertimbangan ilmiah (scientific reason). Kebijakan publik dipelajari dalam rangka untuk menambah pengetahuan yang lebih mendalam, mulai dari prosesnya, perkembangannya, serta akibat-akibat yang ditimbulkannya bagi masyarakat. Pada gilirannya hal ini akan meningkatkan pemahaman kita mengenai sistem politik dan masyarakat pada umumnya. Untuk tujuan ilmiah, kebijakan publik dapat dipandang baik sebagai variabel dependen maupun variabel independen. Dikatakan sebagai variabel dependen manakala perhatiannya tertuju pada faktor politik lingkungannya yang mempengaruhi atau menentukan konten kebijakan. Misalnya, bagaimana kebijakan dapat dipengaruhi oleh distribusi kekuasaan antara kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat dan instansi pemerintah? Bagaimana juga, misalnya militerisme dan bubarnya departemen dapat mempengaruhi isi kebijakan? Jika kebijakan publik dipandang sebagai variabel independen, maka sebaliknya, perhatian kita beralih pada dampak kebijakan pada sistem politik dan lingkungannya. Sebagai contoh, misalnya bagaimana kebijakan publik mempengaruhi dukungan terhadap sistem politik atau sistem kepartaian yang tengah berwujud dimasa datang? Apakah dampak kebijakan publik atas kesejahteraan sosial warga?
Kedua, pertimbangan professional (professional reason). Don K Price dalam Saefullah (2006: 39) memberikan pemisahan antara scientific-estate yang hanya mencari untuk kepentingan ilmu pengetahuan dengan professional estate atau professional reasons yang berusaha menerapkan ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah sosial secara praktis. Dalam bahasa sederhana bahwa studi kebijakan digunakan sebagai alat untuk menerapkan pengetahuan ilmiah dalam rangka menyelesaikan masalah sehari-hari.
Ketiga, pertimbangan politis (political reasons). Kebijakan public dipelajari pada dasarnya agar setiap perundangan dan regulasi yang dihasilkan dapat tepat guna mencapai tujuan yang sesuai dengan target, bahwa pemerintah menggunakan kebijakan yang cocok untuk mencapai tujuan yang benar.
Berdasarkan penjelasan di atas, oleh karena itulah dibutuhkan pendekatan yang inovatif yang memungkinkan perwujudan visi dan misi PKn itu sendiri. Untuk memahami dan membelajarkan mengenai kebijakan publik, maka peserta didik hendaknya juga diberikan bagaimana proses awal yang dimulai dari pemahaman siswa hingga kepada bagaimana langkah-langkah mewujudkan kebijakan public yang nantinya akan diimplementasikan kepada masyarakat. Dalam pembelajaran PKn/Kewiraan melalui penerapan model praktik belajar kewarganegaraan berbasis kebijakan publik (Budimansyah, 2008: 41 ), dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan keterampilan intelektual dan akademis serta keterampilan sosial kewarganegaraan mahasiswa.
Budimansyah (2007: 34) menjelaskan bahwa Civic Education dikembangkan sebagai central goal dari sistem pendidikan, dipersyaratkan untuk seluruh tingkatan sekolah yang menerapkan pembelajaran yang “of high quality and sufficient quantity,” menggunakan pendekatan yang bersifat “interdisciplinary” dan metode pembelajaran yang bersifat “interactive”.
Desain kurikulum yang menitikberatkan pada “how to think rather than what to think” merefleksikan “community realities” yang mencakup materi “historical” dan contemporary, memperlakukan kelas sebagai “democratic laboratory.” Kontribusi masyarakat dalam “civic education” dan perlibatan siswa dalam masyarakat untuk mendapatkan “civic experiences in the community. Paradigma ini tampaknya merupakan pengembangan secara sinergistik dari tradisi “citizenship transmission, social science dan reflective inquiry dalam social studies.
Citizenship transmission yang dikembangkan adalah pemahaman, penghayatan, dan pelaksanaan hak dan kewajiban sebagai warga negara dalam proses demokrasi konstitusional negaranya, sedangkan dimensi social science yang dikembangkan adalah cara berpikir “interdisciplinary dan inquiry” yang bertolak dari ilmu politik, dan dimensi “reflective inquiry” yang dikembangkan adalah kemampuan dalam “decision making process” mengenai dan dalam praksis demokrasi konstitusional negaranya.
Diharapkan melalui konsep-konsep di atas agar nantinya pembelajaran pendidikan kewarganegaraan di masa mendatang akan lebih baik sehingga dapat menghasilkan warga negara yang baik dan cerdas untuk membangun bangsa ini dan memiliki daya saing atau kompetisi secara global.

Apa dan Bagaimana Mengenai Kebijakan Publik
Literatur ilmu politik tradisional dipenuhi oleh definisi-definisi mengenai kebijakan publik. Cepat atau lambat kelihatanya hampir setiap scholar ilmu politik merasa perlu untuk mendefinisikan sarana komunikasi bagi para perumus dan analis kebijakan publik di kemudian hari manakala mereka melakukan diskusi dalam ruang politis. Selain itu, pendefinisian ini diperlukan dalam rangka menentukan definisi operasional ketika para scholars melakukan penelitian lapangan yang membutuhkan definisi secara tepat.
Robert Eyestone dalam Saefullah (The Threads of Public Policy) (2006: 40) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “hubungan antara unit pemerintah dengan lingkungannya”. Definisi lain menurut Thomas R Dye dalam Saefullah (2006: 41) mengatakan bahwa,”kebijakan publik adalah apa yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan. Melalui definisi Thomas R Dye ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara apa yang akan dikerjakan pemerintah dan apa yang sesungguhnya harus dikerjakan oleh pemerintah.
Definisi lain mengenai kebijakan publik pun ditawarkan oleh Carl Friedrich dalam Saefullah (2006: 41) yang mengatakan bahwa kebijakan adalah,”serangkaian tindakan atau kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan-kemngkinan (kesempatan-kesempatan) dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud.
Dalam kaitannya dengan definisi-definisi tersebut maka dapat disimpulkan beberapa karakteristik utama dari suatu definisi kebijakan publik. Pertama, pada umumnya kebijakan public perhatiannya ditujukan pada tindakan yang mempunyai maksud atau tujuan tertentu daripada perilaku yang berubah atau acak. Kedua, kebijakan publik pada dasarnya mengandung bagian atau pola kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah daripada keputusan yang terpisah-pisah. Misalnya suatu kebijakan tidak hanya meliputi keputusan untuk mengeluarkan peraturan tertentu tetapi juga keputusan berikutnya yang berhubungan dengan penerapan dan pelaksanaannya. Ketiga, kebijakan publik merupakan apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh pemerintah dalam mengatur perdagangan, mengontrol inflasi, atau menawarkan perumahan rakyat, bukan apa maksud yang dikerjakan atau yang akan dikerjakan. Ini artinya kebijakan publik pun memperhatikan apa yang kemudian akan dapat terjadi setelah kebijakan itu diimplementasikan. Keempat, kebijakan publik dapat berbentuk positif maupun negatif. Secara positif, kebijakan publik melibatkan beberapa tindakan pemerintah yang jelas dalam menangani suatu permasalahan. Kelima, kebijakan publik, paling tidak secara positif, didasarkan atas hukum dan merupakan tindakan yang bersifat memerintah. Anggota masyarakat dapat menerima sebagai sesuatu yang sah bahwa pajak haruslah dibayar, pengontrolan import harus dipatuhi, dan peraturan antimonopoli harus diikuti, bila tidak menginginkan adanya resiko didenda, hukuman penjara, atau sanksi legal lainnya yang dapat dijatuhkan.
DAFTAR PUSTAKA


Cogan, J, J. (1998). Citizenship for the 21st Century. An International Perspective on Education. London: Kogan Page.

Crowly, J. (1998). The National Dimension of Citizenship in T.H. Marshall. Citizenship Studies, Vol. 2 No. 2, 1998, 169.

Gidden, A. (1993). Sociology. Cambridge: Polity Press

Jawwad, A,B. (2004). Mengembangkan Inovasi dan Kreatifitas Berpikir Pada Diri dan Organisasi Anda. Bandung: PT. Syamiil Cipta Media.

Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah. (2003). Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Diktilitbang PP Muhammadiyah

Muchith, S. (2008). Pembelajaran Kontekstual. Semarang: Rasail.

Saefullah, D. (2006). Politik dan Kebijakan Publik. Bandung: Aifi Bandung.

Sukadi, (2007). Praktik Belajar Kewarganegaraan Berbasis Kebijakan Publik dan Peningkatan Kecakapan Kewarganegaraan Mahasiswa. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 3 TH XXXX Juli 2007.

Suryadi, Budimansyah, D. (2004). Pendidikan Nasional Menuju Masyarakat Indonesia Baru. Bandung; Genesindo.

Winataputra dan Budimansyah, D. (2007). Civic Education: Konteks, Landasan, Bahan Ajar, dan Kultur Kelas. Bandung: UPI Bandung




Minggu, 16 Juni 2013

Pawai Memperingati Hari Kelahiran Pancasila 1 Juni 2013, PPKn - Unila















Memperingati Hari Kelahiran Pancasila 1 Juni 2013.
Pawai bersama dengan seluruh mahasiswa angkatan 2010, 2011, dan 2012
FKIP P-IPS PPKn Universitas Lampung, Bandar Lampung - Indonesia

Sabtu, 15 Juni 2013

Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat






    Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat

    Hakikat Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat
Kemerdekaan mengemukakan pendapat merupakan hak asasi setiap warga negara, baik secara lisan maupun tulisan. Namun hak tersebut harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab serta sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Pada dasarnya kemerdekaan itu mengandung makna kebebasan, yaitu bebas melakukan apa saja namun tidak seenaknya. Menurut Turner (1990: 124) mengatakan bahwa, “these, you will remember, are freedom of religion, freedom of speech, freedom of press, the right to assemble, and the right to petition the government with complaints or problems.” Dengan demikian bahwa kita dapat mengerti bahwa kita memiliki kebebasan untuk memilih suatu agama, kita juga memiliki kebebasan untuk berpidato, dalam dunia jurnalistik, dan kita juga memiliki hak untuk mengajukan petisi atau keluhan-keluhan kepada pemerintah. Kebebasan tersebut dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Begitu pula dalam hal mengemukakan pendapat. Setiap orang bebas berpendapat tentang apa saja, tapi harus tetap memperhatikan rambu-rambu yang sudah diatur dan tidak merugikan orang lain.

Jadi kemerdekaan mengemukakan pendapat adalah hak yang dimiliki oleh setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran secara lisan, tulisan, dan sebagainya degan penuh tanggung jawab sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dahl dalam Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah (2003: 82) mengemukakan mengenai kebebasan mengemukakan pendapat.
Kebebasan menyatakan pendapat adalah hak bagi warga negara biasa yang yang wajib dijamin dengan undang-undang dalam sebuah sistem politik demokratis (Dahl, 1971). Kebebasan ini diperlukan karena kebutuhan untuk menyatakan pendapat senantiasa muncul dari setiap warga negara dalam era pemerintahan terbuka saat ini.

Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa kemerdekaan mengemukakan pendapat sangatlah dibutuhkan saat ini seiring perkembangan era pemerintahan. Dimana kebebasan menyatakan pendapat adalah hak setiap warga negara yang telah dijamin oleh undang-undang dalam kehidupan sistem politik demokratis.

Dalam masa transisi menuju demokrasi saat ini, perubahan-perubahan politik, sosial, ekonomi, budaya, agama, dan teknologi seringkali menimbulkan persoalan bagi warga negara maupun masyarakat pada umumnya. Jika persoalan tersebut sangat merugikan hak-hak warga negara, atau warga negara berharap agar kepentingannya dipenuhi oleh negara berhak untuk menyampaikan keluhan tersebut secara langsung maupun tidak langsung kepada pemerintah. Warga negara dapat menyampaikannya kepada pejabat, seperti lurah, camat, bupati anggota DPRD/DPR, atau bahkan presiden, baik melalui pembicaraan langsung, surat, media massa, atau penulisan buku.

Kebebasan yang dilaksanakan tanpa batas dan tanpa aturan akan mengakibatkan kerugian bagi diri sendiri dan orang lain. Misalnya, seseorang yang mengemukakan pendapatnya di muka umum dengan cara menjelek-jelekkan kepribadian orang lain, menggunakan kata-kata yang tidak senonoh tentu akan menyakiti hati orang lain. Apalagi kalau kebebasan mengeluarkan pendapat dilakukan dengan tindakan anarki, seperti perusakan dan tindakan yang bisa menimbulkan kemarahan orang lain.

Oleh sebab itu, kebebasan atau kemerdekaan mengemukakan pendapat harus diatur. Aturan-aturan yang diberlakukan itu bukan berarti menghambat seseorang mengemukakan pendapat. Akan tetapi, lebih ditujukan kepada tata cara mengemukakan pendapat yang baik, sopan, dan benar. Kemerdekaan mengemukakan pendapat merupakan hak asasi manusia yang berlaku secara universal dan wajib dijamin oleh pemerintah. Namun, pelaksanaan kemerdekaan mengeluarkan pendapat harus mengindahkan rambu-rambu hukum yang juga berlaku secara universal. Hak untuk menyampaikan pendapat ini wajib dijamin oleh pemerintah sesuai dengan undang-undang yang berlaku sebagai bentuk kewajiban Negara untuk melindungi warga negaranya.

    Bentuk-Bentuk Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat
Kemerdekaan mengemukakan pendapat dapat dilakukan melalui dua bentuk, yaitu bentuk lisan dan tulisan.
  1. Penyampaian pendapat dalam bentuk lisan dilakukan melalui penyampaian dengan suara, seperti berpidato, diskusi, wawancara, unjuk rasa atau demonstrasi, pawai (arak-arakan di jalan umum), rapat umum.
  2. Penyampaian pendapat dalam bentuk tulisan dapat dilakukan dengan menulis pendapat atau opini melalui media massa. Melalui media massa seperti surat kabar dan majalah, setiap warga negara bebas mengemukakan pendapat tentang apa saja yang dianggap tidak sesuai dengan pendapatnya, terutama yang bertentangan dengan kepentingan umum.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa dalam mengemukakan pendapat ada dua cara yang dapat dilakukan. Yang pertama dapat dilakukan secara lisan, dalam hal ini dalam mengemukakan pendapat bisa dilakukan dengan cara diskusi bersama, berpidato di depan audiensi, wawancara. Namun ada juga cara menyampaikan secara lisan dengan cara unjuk rasa atau demonstrasi yang biasa dilakukan di jalan-jalan umum. Kemudian, cara yang kedua adalah menyampaikan pendapat secara tertulis atau dalam bentuk tulisan. Mengemukakan pendapat secara tulisan dapat dilakukan dengan membuat sebuah tulisan atas opini yang kita miliki, yang kemudian bisa dimasukkan melalui media massa agar pendapat atau opini tersebut dapat diketahui oleh masyarakat luas.

Penyampaian pendapat melalui media massa ini juga harus disertai dengan alasan-alasan yang kuat dan bertanggung jawab. Kebebasan mengemukakan pendapat melalui media massa diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Kebebasan Pers. Pasal 4 dari undang-undang ini menyatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.

    Akibat Pembatasan Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat
Dalam pemerintahan yang otoriter, kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum sangat dibatasi. Hal ini sesungguhnya merupakan pelanggaran terhadap HAM. Memang, hak kemerdekaan mengemukakan pendapat tidak boleh digunakan dengan sekehendak hati. Sebab di dalam hak tersebut juga melekat kewajiban untuk menghargai dan menghormati hak yang sama yang dimiliki orang lain. Akan tetapi, apabila pembatasan atau pengekangan dilakukan pemerintah terhadap rakyat, maka hal ini merupakan kesalahan besar.
Turner (1990: 125) mengemukakan mengenai pembatasan dalam mengeluarkan pendapat.
As with other rights, freedom of expression has certain limits. Slander,or saying false or damaging things about someone in public, is one example. It is illegal because it goes against the rights of other people. What other limits are set on freedom of expression? Over the years, certain limits have been set on freedom of expression in order to protect the public. For example, state and local governments may set rules about the times, places, and other conditions under which public speeches or meetings can be held. Such laws probably would not allow a large group to parade down your street at three o’clock in the morning…keep in mind, though, that such limitations must be reasonable. And, they must allow both popular and unpopular views to be voiced.”

Berdasarkan pendapat di atas, dapat dijelaskan bahwa kebebasan dalam mengemukakan pendapat juga dibatasi. Tetapi membatasi orang lain untuk mengemukakan pendapat itu adalah hal yang tentunya melanggar hak asasi. Berikut ini hal-hal apa aja yang diatur dalam membatasi tiap-tiap orang atau kelompok untuk mengemukakan pendapat. Batasan-batasan itu antara lain adalah, bahwa negara atau pemerintah setempat akan mengatur waktu, tempat, dan kondisi-kondisi lainnya dimana pidato atau pertemuan tersebut akan dilaksanakan. Kemudian yang tidak diperbolehkan adalah berparade atau demonstrasi dalam jumlah yang besar pada pukul tiga dini hari. Dengan demikian, pembatasan yang dimaksud bukanlah pelarangan untuk mengemukakan pendapat, namun yang dibatasi atau yang diatur adalah hal-hal yang bersifat teknis, karena hal ini dilakukan adalah untuk menjaga atau melindungi masyarakat dan juga untuk menjaga ketertiban.

Dewasa ini kebebasan mengemukakan pendapat mengalami perkembangan baik. Sebab semakin banyak pemerintah di berbagai negara yang menghormati dan menghargai hak kemerdekaan mengemukakan pendapat. Meskipun demikian, masih ada pemerintahan yang melakukan pembatasan-pembatasan. Pengekangan terhadap kebebasan mengemukakan pendapat oleh pemerintah yang berkuasa sebenarnya dapat menimbulkan akibat yang kurang baik bagi rakyat, pemerintah, ataupun bangsa.

Sejalan dengan itu, Dwiyono (2008: 118) mengemukakan bahwa
  1. Akibat bagi rakyat
Bagi rakyat, adanya pembatasan oleh pemerintah akan berakibat terjadinya hal-hal berikut:
  1. Berkurang atau hilangnya hak kemerdekaan mengemukakan pendapat
  2. Munculnya sikap apatis (tidak peduli) dari rakyat atau masyarakat terhadapkehidupan berbangsa dan bernegara.
  3. Kekecewaan yang mendalam terhadap pemerintah.
  4. Pembangkangan terhadap pemerintah.
  1. Akibat bagi pemerintah
Bagi pemerintah, adanya pembatasan oleh pemerintah akan berakibat terjadinya hal-hal berikut:
  1. Berkurang atau hilangnya kepercayaan rakyat
  2. Berkurang atau hilangnya kesempatan untuk mendapatkan masukan atau aspirasi dari rakyat untuk kemajuan masyarakat, bangsa, dan negara.
  3. Berkurang atau hilangnya dukungan rakyat.
  4. Perlawanan dari rakyat.
  1. Akibat bagi bangsa dan negara
Bagi bangsa dan negara, adanya pembatasan oleh pemerintah terhadap hak warganya akan berakibat terjadinya hal-hal berikut:
  1. Dengan sedikitnya masukan dan dukungan dari rakyat, maka pembangunan bangsa dan negara dapat terhambat.
  2. Stabilitas nasional dapat terganggu.
  3. Negara kehilangan pikiran-pikiran dan ide-ide kreatif dari rakyatnya.
Berdasarkan pendapat di atas mengenai pembatasan-pembatasan mengemukakan pendapat maka akan memberikan efek yang negatif bagi warga negara, bagi pemerintah, dan juga bagi bangsa dan negara. Karena dengan pembatasan dalam mengemukakan pendapat, maka rakyat akan mengalami kekecewaan dan hilangnya rasa kepercayaan rakyat terhaap pemerintahnya. Oleh karena itu, maka perlu diperhatikan pentingnya memiliki kemerdekaan mengemukakan pendapat bagi warga negara untuk terciptanya stabilitas nasional agar pembangunan bangsa dan negara dapat berjalan dengan baik.

Namun demikian, meskipun kita memiliki hak kemerdekaan mengemukakan pendapat, tetapi dalam penggunaannya tidak dapat diakukan dengan sekehendak hati atau sebebas-bebasnya. Hak kemerdekaan yang kita miliki tetap dibatasi oleh hak kemerdekaan yang sama juga dimiliki oleh orang lain. Dengan kata lain kebebasan mengemukakan pendapat harus dilandasi akal sehat, niat baik, dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian, pendapat yang dikemukakan tersebut bukan saja bermanfaat bagi dirinya, melainkan juga bermanfaat bagi orang lain, masyarakat, atau bahkan bagi bangsa dan negara.

Apabila hak kebebasan mengemukakan pendapat tersebut digunakan tanpa batas atau tidak bertanggung jawab, maka dapat menyinggung perasaan orang atau pihak lain, bahkan dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Jika situasinya sudah meresahkan masyarakat, maka pemerintah dengan segala kewenangan dapat mengambil tindakan pembatasan-pembatasan yang diperlukan demi terhentinya keresahan yang ada dalam masyarakat tersebut.

    Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat Secara Bebas dan Bertanggung Jawab
Turner (1990: 91) menjelaskan mengenai kemerdekaan mengemukakan pendapat.
Among these are men and women, business people, unemployed people, the young, the old, blacks, whites, Hispanics, Asians. No one is turned away because of sex or color. No one is asked about income. No one is made to take a test before voting…of course, liberty brings with it responsibility. It is the citizens who are responsible for keeping liberty alive. The Constitution provides for this by giving the citizens a say in their own government.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa untuk mengemukakan pendapat tidak dilihat dari jenis kelamin seseorang, apakah ia pengangguran, apakah itu mereka yang masih muda, orang yang sudah tua, orang kulit hitam, Hispanik, orang Asia. Dan juga tidak dilihat dari orientasi seks dan warna kulit, tidak dilihat dari seberapa besar pendapatannya. Juga tidak di tes sebelum mengemukakan pendapat. Jelaslah bahwa, memang untuk mengemukakan pendapat siapapun diperbolehkan tanpa melihat hal-hal tersebut di atas. Kemudian untuk melakukan sebuah kebebasan tentu harus didasari oleh kebebasan yang bertanggung jawab. Dan setiap warga negara wajib untuk bertanggung jawab untuk menjaga perdamaian bersama-sama, dimana hal ini telah diatur oleh pemerintah.

Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah (2003: 394) mengemukakan mengenai kebebasan mengemukakan pendapat.
Kebebasan berpikir dan kebebasan berpendapat merupakan bagian dari kebebasan berekspresi (freedom of expression), yaitu kebebasan manusia untuk mengekspresikan diri dalam kehidupan masyarakat sebagai pengejawantahan kemampuan kognisi (nalar) dan kemampuan afeksi (rasa) manusia.

Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa kebebasan mengemukakan pendapat adalah kebebasan bagi warga negara untuk mengekspresikan dirinya dalam kehidupan masyarakat sebagai bagian dari kemampuan berpikir dan apa yang dirasakan oleh warga negara.

Kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab sangat penting dilakukan agar tercipta ketertiban dan keamanan di lingkungan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kita tidak bisa membayangkan apabila kemerdekaan atau atau kebebasan mengemukakan pendapat itu dilakukan secara tidak bertanggung jawab, kekacauan akan timbul sebagai konsekuensinya, baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Untuk itu diperlukan seperangkat aturan untuk mengatur semua itu. Aturan atau hukum ini akan mendorong anggota masyarakat untuk lebih bertanggung jawab ketika menggunakan haknya dalam mengemukakan pendapat.

    Landasan Hukum Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat
Dwiyono (2008: 120) menjelaskan bahwa sebagai bagian dari HAM, kemerdekaan mengemukakan pendapat dijamin oleh Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia PBB, tegasnya dalam Pasal 19 dan 20 sebagai berikut:
Pasal 19
Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara-cara apapun juga dan tidak memandang batas-batas.
Pasal 20
Ayat (1): “Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berapat.”
Ayat (2): “Tidak ada seorang pun juga dapat dipaksa memasuki salah satu perkumpulan.”

Di Indonesia, ketentuan yang mengatur dan menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat dapat dilihat pada berbagai ketentuan seperti pada pasal 28 dan 28E Undang-Undang Dasar 1945, dan Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Berikut isi pasal 28 dan 28E Undang-Undang Dasar 1945 dan UU No. 20 Tahun 1998:
Pasal 28
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
Pasal 28E
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
UU No. 9 Tahun 1998
Pasal 2
  1. Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
  2. Penyampaian pendapat di muka umum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.

Adanya jaminan dari berbagai ketentuan tersebut seharusnya tidak ada pengekangan terhadap seseorang untuk mengeluarkan pendapatnya. Sehingga setiap warga negara dapat mengeluarkan segala pikiran dan pendapatnya dengan bebas. Apabila kebebasan tersebut dikekang, maka akan timbul gejolak-gejolak atau ganjalan-ganjalan dalam hati banyak orang yang suatu ketika dapat meledak dalam bentuk sikap-sikap dan perbuatan tidak baik. Meskipun setiap orang memiliki hak kebebasan dalam mengeluarkan pikiran atau pendapat, kebebasan tersebut bukan kebebasan mutlak tanpa batas. Kebebasan yang dijalani tersebut melainkan kebebasan yang bertanggung jawab.

Kebebasan seseorang dalam mengemukakan pendapat dibatasi oleh kebebasan orang lain, nilai-nilai, dan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selain karena kebebasan mengeluarkan pendapat sendiri menimbulkan perbedaan pendapat, setiap orang harus menghargai hak orang lain dalam mengeluarkan pendapat. Oleh sebab itu, setiap orang tidak boleh memaksakan kehendak dan pendapat terhadap orang lain.

Jika pendapat orang lain baik dan benar, sudah sepantasnya ia mendapat dukungan. Namun dalam mempertahankan pendapat, ia harus tetap melakukannya dengan cara yang baik, sopan, dan tanpa menyinggung perasaan orang lain. Selain itu, ia juga harus mampu memberikan argumentasi atau alasan-alasan yang masuk akal.

Dwiyono (2008: 121) mengemukakan bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tadi, dapat disimpulkan pendapat yang kita sampaikan sebaiknya bersifat:
  1. Bukan semata untuk kepentingan pribadi ataupun golongan,
  2. Dapat diterima akal dan bermutu,
  3. Tidak menimbulkan perpecahan,
  4. Sesuai dengan norma yang berlaku, dan
  5. Tidak menyinggung perasaan orang lain.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa mengenai mengeluarkan pendapat sebaiknya tidak semata-mata untuk kepentingan pribadi ataupun golongan, pendapat yang diutarakan sebaiknya bermutu dan bermanfaat bagi orang banyak, kemudian pendapat yang dikemukakan tidak menimbulkan perpecahan tetapi menyatukan antar individu untuk kemajuan bersama, serta sesuai dengan norma dan tidak menyakiti perasaan orang lain.

    Hak dan Kewajiban dalam Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat
Dwiyono (2008: 121) menjelaskan bahwa perlu dipahami oleh setiap warga negara bahwa mereka dapat menggunakan hak kemerdekaan mengemukakan pendapat dengan baik, maka setiap warga negara perlu mengerti hak dan kewajiban warga negara dalam mengemukakan pendapat. Berikut ini hak dan kewajiban warga negara dalam mengemukakan pendapat:
  1. Hak
Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk:
  1. Mengeluarkan pikiran secara bebas, dan
  2. Memperoleh perlindungan hukum.
  1. Kewajiban
Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
  1. Menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain,
  2. Menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum
  3. Menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
  4. Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum, serta
  5. Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang harus dipahami dalam mengeluarkan pendapatnya. Hal ini tentunya diharapkan tercapainya keseimbangan di dalam masyarakat antara opini atau pendapat yang dikeluarkan dengan pihak yang mendengar pendapat tersebut.

Moving from understanding to productive thinking: implications for practice





Moving from understanding to productive thinking: implications for practice

(Book: Frame of Thinking, year: 2005, by: David Moseley Vivienne Baumfield Julian Elliott Maggie Gregson Steven Higgins Jennifer Miller Douglas Newton, page: 296-297)

Overview

This chapter reviews the potential contribution of the various frame- works, models and taxonomies presented in the book and summarises a number of issues which have arisen. It examines how various taxonomies can inform and support differing aspects and areas of education. It will summarise some problems inherent in classification and theoretical models of thinking. We highlight evidence from meta-analysis to show that thinking skills approaches can be very effective, especially those targeted at the skills of metacognition and self-regulation. Turning to matters of theory, we note a degree of rapprochement between cognitive, constructivist and some recent behaviourist formulations. However, we do not believe that it has been established that meaningful learning can take place only when there is a low level of teacher direction (Hattie, 2002). We point out that a great deal of educational practice is based on sets of widely accepted but usually untested beliefs, values and assumptions. Finally, we out- line the value of a practical four-category framework (information gathering; building understanding; productive thinking; strategic management/reflective thinking) that has arisen from our work in this field.

Thinking , learning and teaching

Everyone who is involved in learning needs to have some understand- ing of its nature and purpose. A framework for understanding thinking and learning can be used at different levels; for example, as a general guide to the formulation of a mission statement or in formulating specific learning objectives and precise assessment items. When a theoretical framework is used consistently and explicitly, it is likely that communication within an educational or training context will be enhanced, as well as communication with the outside world. This should therefore be of direct benefit to teachers and learners as well as others involved such as parents, employers, policy-makers and the educational research community.

There are a number of subject disciplines which have as their focus the study of human beings. These include philosophy, psychology, sociology and anthropology, where almost every aspect of human behaviour is of potential interest. Geographers and historians are clearly interested in a broad spectrum of human behaviour and we could add other disciplines to the list. The point is that in the humanities, just as much as in the sciences, there are benefits to be obtained through collaboration and this too requires a shared language about how people think and learn. It is certainly possible for a thinking skills framework to be drawn up for each subject area, but if this were done, the differences would probably lie only in the detail. In our view, many benefits would flow from the interdisciplinary development of a common framework, especially if care were taken to avoid the use of the kind of esoteric or abstruse language which tends to maintain artificial boundaries between traditional academic subjects.

Understanding thinking and learning is important not only in academic study, but also in professional and vocational courses and in working effectively with younger learners. Some kinds of teaching have traditionally included the philosophical study of theories of knowledge, but most have not included any study of theories of learning. However, it would make good sense for thinking and learning to form the core of such studies, associated with another subject of choice in which human behaviour is the focus. An under- standing of thinking and learning frameworks should inform the planning of appropriate curricula for all kinds of learning, in order to ensure that they are realistic and achievable.

Jumat, 14 Juni 2013

THE DEVELOPMENT OF POLITICAL SKILLS



THE DEVELOPMENT OF POLITICAL SKILLS


(Book: Education for Responsible Citizenship, year: 1977, by: Frank Brown, page 37-40)

Abstract and general knowledge abaout the polity is one thing; the skills and attitudes needed to make the polity work are something else. Schools and colleges do not do well at conveying the knowledge. On the matter of skill development, they are woefully deficient. How can the American society educate future generations of leaders (hundreds of thousands of them) and future generations of informed and critical followers (millions of them) to haave the herat, the brains, and the guts to think and to behave responsibily as political beings? James Thurber coutioned people not to look backward in anger, not forward in fear, but around in awareness. Bay and large this advice has not been heeded. Schools and colleges have done little in identifying the skills, mental attitudes, moral philosophies, and social commitments needed for the survival of democratic values-perhaps even for the survival of the species.

Educational administrators and teachers do not lack the desire to be helpful in the socialization process. Considerable time and attention have been given by schools to the inculcation of attitudes of patriotism and tolerance and to the underlying political philosophies of our constitutional system. The best of America’s schools, colleges, and universities have stimulated an honest social criticism that has had an important and healthy influence on both foreign affariss and recent domestic events. But when past and present educational practice is measured against present and future national and international need, an enormous educational gap becomes obvious. Educators have almost totally ignored the development of social anf political skills, without which even sophisticated attitudes and compendious knowledge are inutile.

What are these social and political skills, and how can they be tought pr learned? First, Amerika needs minds that have skills of relating one thing to another, of seeing connections. Dictionaries contain an uncommon but useful word: “syndetic,” meaning” connecting” or” connective”-the capacity to encompass relationships. Syndetic skills are absolutely essential. There is a compelling need to develop syndetic courses and exercises that force students to look for connections-connections between the runoff of farm fertilizers and the death of Lake Erie; connections betweenthe mideast political crisis and the price gasoline in peoria; connections among drought in the Middle West, soviet economic priorities, and starvation in india; connections between gadgetry and pollution; connection between corruption and inflation; connections between prejudice and domestic crime.

Only if citizens have some clear conception of the complex ingredients of social couation, and of the probabilistic rather than the certain nature of social choices, will they develop the capacity to solve the problems that beset the nation the word, or eveb to live stoically with the maddening trade-offs that are not easily amenable to social manipulation. Much of America’s scholastic and collegiate curriculum needs to be reexamined to see where and how new knowledge can be introduced that forces students increasingly to reckon with complex interdependencies. Educators have long sensed this need; but in view of the probable future, the responses have been insufficient in both quality and number.

Second, the educational system needs to turn out generations of negotiators. The past few centuries of Western history have seen a secular weathering down of the great peaks of despotism symbolized by terms in like “divine right” or “absolute monarchy”. Orders do not suffice in a world of manifold epicenters of power. In a world of 150 separate nations, myriad provincial and local authorities, thens of thousands of multinational and subnational economic entities, hundreds of professional and scientific guilds, and an immense variety of artisan trades, horizonta-not vertical-communications are the condition of cooperation. Who is willing any longer to be at the beck and call of either a domineering employer or sovereign, or even a condescending patron? J.H. Elliott reminded us that this new relationship was symbolized as far back as the early sixteenth century by the anxious attemps of that “normally headstrong Pope, Jilius II, to calm down the equally irascible Michelangelo and induce him to return to Rome to paint the Sistine ceiling ... the mere artist and the spiritual ruler of Christendom now met on equal terms.”

And so it is no matter where one turns. Nobody in his right mind orders a plumber around. The United States does not order the Soviet Union around. The president of General Motors does not order the president of the United Automobile Workers around.

If common purposes are to be achieved in a world of often willful autonomies, legitimate authority must be coupled with skills of negotiation. These skills involve rhetorical abilities in the Aristotelian sense-the ability to persuade (note the comment of Aristotle’s great teacher, Plato: “Persuasion, not coercion, is the divine element in the world”). Beyond rhetoric, the negotiating skill also involves both the subtleties and psychic resiliencies associated with the ability to resolve or to defuse conflicts-to talk people down from their “highs” of anger and mistrust. Negotiating also involves the most essential of all political talents: the capacity to bargain, to discover areans of agreement, and to deal ( in the nonpejorative sense).

Except for limited opportunities in student government, educations does litlle to prepare young people for the negotiating skills they will need to perform their civic obligations-let alone for the mundane realities of personal and occupational coping. American education needs to create a new facet ti the curriculum- a facet that James Coleman would call “action rich”-which exercises regularly the negotiating abilities of young people. Through simulation, role playing, games, in basket techniques, modified T-groups, and through real participation in the governance of appropriate school and college activities, young people must train their diplomatic muscles. Negotiating skills are the underlying political necessity, not just showing young people how to pull a voting lever.

This necessity for negotiating skills confronts some hardy values that are deeply implanted in the American psyche from childhood on. Americans put a high value on winning; but negotiating implies the value of settling equitably and fairly with no winners in the traditional egocentric sense. Futhermore, negotiating suggests not compromise, and Americans are reared to believe that one should not compromise between right and wrong. The oversimplifications of these bimodal moral perceptions tend to reject the very essence of American political process. In a universe of conflict and multiplicity of values, if two people disagree, neither need be wicked. This nation mast have an enormous pool of skilled negotiators if its citizens are to have world peace and domestic tranquility. Equally important, there must exist a general population prepared to accept negotiated settlements of tough and emotion-laden issues.