Selasa, 15 Februari 2011

Program Project Citizen Secara Historis di Amerika dan Indonesia

    Program Project Citizen Secara Historis di Amerika dan Indonesia.
Project citizen yang dikembangkan oleh Center for Civic Education (CCE), dalam 15 tahun terakhir ini telah diadaptasi di sekitar 50 negara di dunia, termasuk Indonesia. Model ini bersifat generik atau umum dan mendasar yang dapat dimuat materi yang relevan di masing-masing negara. Sebagai model dipilih topik generik “publik policy” (kebijakan publik), yang memang berlaku di negara manapun. Misi dari model ini adalah mendidik para peserta didik agar mampu untuk menganalisis berbagai dimensi kebijakan publik, kemudian dengan kapasitasnya sebagai “young citizen” atau warga negara muda mencoba memberi masukan terhadap kebijakan publik di lingkungannya. Hasil yang diharapkan adalah kualitas warga negara yang “cerdas, kreatif, partisipatif, prospektif, dan bertanggung jawab”.

Secara mendasar Project Citizen sudah merupakan bahan yang telah diperbincangkan pada era filosofi pendidikan progresif dalam sejarah Amerika sejak akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Banyak teori-teori dan praktik pendidikan diklasifikasikan pada era progresif, dimana Lawrence Cremin lebih memilih untuk tidak memberikan pendefinisian pada era pendidikan progresif. Mereka para ahli filsafat yang termasuk pada era progresif berdasarkan ide-idenya antara lain adalah Francis Parker, John Dewey, dan William Heard Kilpatrick, hal ini dikarenakan mereka dapat secara langsung menghubungkan tujuan, rasional, konsep materi, dan pedagogi dari Project Citizen.
Meskipun tidak terlatih sebagai ahli filsafat, Colonel Francis Parker tapi sangat hebat dalam teori dan praktiknya pada era pendidikan progresif, khususnya yang berkenaan dengan pendidikan kewarganegaraan. Dan bahkan, John Dewey menjadikan Parker sebagai bapak pendidikan progresif. Pemikiran Colonel Parker juga dipengaruhi oleh Johann Pestalozzi, Friedrich Froebel, dan Johann Herbart selama tiga tahun dalam masa pendidikannya di Jerman, dan justru hal tersebut merupakan pegangan banyak sekolah saat ini. Dimana Parker membangun sebuah teori pendidikan demokrasi untuk membebaskan siswa dari kekerasan, tekanan, dan pelecehan.
Pendidikan yang dimaksud oleh Parker adalah bagaimana pendidikan berpusat pada siswa dan berjalan secara alami, dan menimbulkan rasa ingin tahu siswa itu sendiri. Dan Parker menyebutkan bahwa sumber daya yang amat penting di sekolah manapun adalah para siswa itu sendiri. Sebagaimana yang dikemukakan Parker dalam Patrick
The social factor in school is the greatest factor of all; it stands higher than subjects of learning, than methods of teaching, or than the teacher. That which children learn from each other in play and works is the highest that is ever learned…This mingling, fusing, and blending give personal power, and make the public school a tremendous force for the upbuilding of democracy.

Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa siswa adalah hal yang paling penting untuk diperhatikan sebagai subjek pembelajaran. Dimana dalam hal ini guru hendaknya fokus terhadap penyusunan materi berdasarkan kurikulum dan belajar lebih mendalam mengenai masalah-masalah sosial dan permasalahan lainnya.
Parker meyakini bahwa komunitas anak-anak merupakan potensi yang sangat penting untuk semua aspek pendidikan, khususnya untuk pendidikan kewarganegaraan. Disinilah pondasi yang sesungguhnya dibangun pada saat mereka berada dalam komunitas kehidupan. Dan disini pula siswa belajar pendidikan kewarganegaraan secara spontan dan alami. Bagaimana dengan sekolah, dalam hal ini sekolah dipengaruhi oleh anak-anak tadi, dikarenakan anak-anak sudah terlebih dahulu memiliki karakter berpolitik dan telah mampu mengembangkan kewarganegaraannya mereka sendiri sebagai anak didik. Dengan adanya relasi-relasi sosial yang terjadi, maka anak-anak akan memiliki rasa tanggung jawab sebagai warga negara.
Selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipelajari, Francis Parker kemudian membuat program untuk mencari pemecahan permasalahan berdasarkan program pendidikan kewarganegaraan yang kemudian disebut sebagai Project Citizen dengan mengembangkan (1) instruksi berdasarkan keinginan anak-anak; (2) para siswa belajar secara kooperatif; (3) pendidikan kewarganegaraan berhubungan dengan pengalaman sosial. Dan akhirnya hingga kini, proses pembelajaran dengan melihat masalah-masalah yang ada di sekitar siswa terus berlangsung. Project Citizen adalah salah satu contoh untuk mengembangkan ide-ide dalam dunia pendidikan. Dari sinilah, sejarah Amerika dalam studi sosial pada abad ke-20 ini terus melakukan untuk menentukan pengembangan tujuan terbaik, rasional, dan langkah-langkah dari Project Citizen.
TCCLE (2010) mengemukakan permulaan dilahirkannya program “We the People…” pada tahun 1987, lebih dari 28 juta siswa dan 90 ribu pengajar telah berpartisipasi pada inovasi pembelajaran yang satu ini. Berbagai studi yang telah dilakukan yang salah satunya oleh Educational Testing Service (ETS) dan dilakukan oleh Prof. Richard Brody dari Stanford University mengindikasikan bahwa para siswa yang menggunakan paket pembelajaran ini secara signifikan berpengaruh terhadap siswa pada setiap topik masalah yang dipelajari/dibahas. Dan paket pembelajaran tersebut dapat lebih memotivasi siswa untuk berpartisipasi. Selanjutnya project citizen untuk pertama kalinya diimplementasikan di California pada tahun 1992 dan program ini disebarluaskan pada tahun 1995 oleh Center for Civic Education dan The National Conference of State Legislatures, dimana program ini dilakukan untuk mengembangkan pengetahuan, kecakapan, dan watak warga negara yang demokratis dan kemudian dapat menumbuhkan partisipasi dalam pemerintahan dan sosial kemasyarakatan.
Program ini merupakan paket pembelajaran “Civic Education” yang dirancang untuk mengembangkan minat dan kemampuan siswa sekolah lanjutan untuk berpartisipasi dengan berkemampuan dan penuh tanggung jawab dalam pemerintahan lokal dan pemerintahan negara bagian. Proyek ini diselenggarakan oleh CCE bekerjasama dengan “National Conference of State Legislatures.” Untuk melihat dampak dan efektifitas dari program ini, telah diadakan suatu assessment yang dikerjakan oleh suatu tim di bawah pimpinan Kenneth W. Tolo (1998). Sebagaimana diintisarikan oleh Tolo dkk dalam Winataputra (1998:xv) “Project Citizen” ini dilaksanakan di sekolah lanjutan (Middle School) atas dasar pertimbangan sebagai berikut.
Civic Education, in its ideal form, seeks to engage students in their communities by teaching them the skills necessary to effectifely participate in civil society. In a constitutional democracy, the importance of civic education cannot be overstated. Effective citizenship education that teaches adolescents how to participate and effect positive change within their communities is critical to the development of a lasting commitment to civic participation.
The middle school years are an especially crucial time to the development of civic roles and responsibilities. During this years, students are discovering their identities and their large roles in their communities and in society in a whole. However, little attention has been aimed at promoting citizenship during these formative middle school years”.

Berdasarkan pendapat Tolo di atas dapat dijelaskan bahwa di dalam bentuknya yang paling ideal, civic education berupaya untuk melibatkan para siswa dalam kegiatan masyarakatnya dengan cara mengajarkan keterampilan untuk berpartisipasi secara efektif. Kemudian pada usia sekolah lanjutan merupakan saat yang krusial dalam pengembangan peran dan tanggung jawab warga negara. Pada usia inilah siswa menemukan identitas dirinya dan perannya dalam masyarakat sekitar siswa dan masyarakat dalam arti keseluruhan. Namun dalam kenyataannya, sedikit sekali upaya yang dilakukan untuk mengembangkan kewarganegaraan pada usia ini.
Model Project Citizen dikarenakan memang sifatnya yang generik dan universal, maka paket pembelajaran ini telah diadopsi oleh 50 negara bagian di Amerika, dan diadopsi oleh berbagai negara di luar USA seperti Albania, Argentina, Bosnia dan Herzegovina, Brazil, China, Columbia, Croatia, Czech Republic, Dominican Republic, Hungary, Indonesia, Israel, Jordan, Kosovo, Kazakstan, Latvia, Lebanon, Macedonia, Mongolia, Nicaragua, Nigeria, Oman, Palestine, Lithuania, Mexico, Northern Ireland and the Republic of Ireland, Poland, Romania, Russia, Slovakia, dan Uruguay. Di masing-masing negara yang mengadopsi paket pembelajaran ini adalah paket yang dikembangkan oleh CCE yang diterjemahkan ke dalam bahasa nasionalnya masing-masing dengan adaptasi sebagian dari isinya sesuai dengan konteks negaranya masing-masing. Dan masih terdapat beberapa negara yang masih mempertimbangkan untuk menggunakan paket pembelajaran ini.
Paket pembelajaran ini dikembangkan atas dasar pendekatan “Reflective Inquiry” dengan menggunakan langkah-langkah: “Identifying public policy problems in your community, Selecting a problem for class study, Gathering information on the problem your class will study, Developing a class portfolio, reflecting on your learning experience” (CCE: 1998a). Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dengan paket pembelajaran itu adalah “providing the knowledge and skills required for effective participation providing practical experience designed to foster a sense of competence and efficacy, and developing and understanding of the importance of citizen participation” (CCE, 1998a:7). Titik berat dari paket pembelajaran ini adalah keterlibatan siswa dalam keseluruhan proses, dan dengan proses itu siswa difasilitasi untuk mendapatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
Branson dalam Budimansyah (2009: 17-19) mengemukakan bahwa dasar pemikiran Project Citizen terletak pada satu kerangka yang terdiri atas lima bagian tentang gagasan pendidikan dan politik. Pertama, demokrasi memerlukan pemerintahan sendiri dan karenanya memerlukan keterlibatan aktif dan berpengetahuan warga negara dalam kehidupan berwarga negara. Satu komponen yang sangat diperlukan tentang keterlibatan warga negara adalah partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik.
Kedua, para siswa harus belajar bagaimana menjadi terlibat dalam kehidupan berwarga negara dengan terlibat di dalamnya, yaitu dengan menyandang kewarganegaraan yang bertanggung jawab dan efektif.
Ketiga, karena para siswa tersebut menggali masalah-masalah yang ada di komunitas mereka sendiri, maka mereka mendapat banyak kesempatan untuk mempertimbangkan tentang hal-hal yang mendasar dalam inti demokrasi, seperti hal-hal yang meliputi hak individu dan kepentingan bersama, peraturan yang disepakati kelompok mayoritas dan hak kaum minoritas, dan kebebasan serta persamaan.
Keempat, Project Citizen dimaksudkan untuk diterapkan terutama oleh para siswa sekolah menengah atau usia-usia remaja pradini (berusia sekitar 10-15 tahun); tetapi program tersebut juga digunakan oleh older adolescents (anak remaja yang menginjak dewasa) di beberapa sekolah. Di usia sekolah menengah dan lebih, para siswa berusaha membentuk identitas mereka sendiri dan mereka juga harus diberikan kesempatan untuk membina hubungan dengan masyarakat. Sebagian besar anak remaja pradini (early adolescents) mulai bergeser dari berpikir konkrit menuju berpikir abstrak dan sering berhadapan dengan masalah baik dan buruk, legitimacy of authority (sah atau tidaknya hak untuk bertindak), dan jawaban-jawaban alternatif atas situasi-situasi yang menyulitkan. Selama masa remaja, para siswa membentuk sikap dan menerima nilai-nilai yang kemungkinan akan mereka pegang sepanjang hidup. Para siswa remaja cenderung ingin tahu mengenai lingkungan di sekeliling mereka, termasuk komunitas mereka sebagai warga negara dan mereka membutuhkan pengalaman-pengalaman dunia nyata untuk menggali hubungan mereka dengan kehidupan berwarga negara.
Kelima, Project Citizen menganggap kaum muda sebagai sumber kewarganegaraan, sebagai anggota yang berharga dari komunitasnya yang bernilai gagasan dan tenaganya dapat secara nyata dicurahkan masalah-masalah kebijakan publik. Daripada hanya menyiapkan para siswa untuk peran yang akan mereka emban di kehidupan, Project Citizen mengharuskan mereka untuk ambil bagian sebagai warga negara. Menurut para pengembang Project Citizen, keikutsertaan seperti ini tidak hanya merupakan wahana yang lebih baik untuk meningkatkan pengetahuan, kecakapan, dan watak kewarganegaraan demokrasi, tetapi juga makin baik bagi masyarakat karena para siswa tersebut mempermudah organisasi pemerintahan dan masyarakat madani bekerja melewati masalah-masalah penting di masyarakat. Keikutsertaan dan keterlibatan seperti ini sudah seharusnya membantu kaum muda membina hubungan dengan masyarakat dimana mereka tinggal dan menghargai kontribusi mereka terhadap pemecahan masalah-masalah di masyarakat.
Budimansyah (2002: 8) menyebutkan ada beberapa prinsip dasar model pembelajaran berbasis portofolio yaitu: Pertama, prinsip belajar siswa aktif (student active learning). Proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran berbasis portofolio berpusat pada siswa. Dengan demikian, model ini menganut prinsip belajar siswa aktif. Aktifitas siswa hampir di seluruh proses pembelajaran, dari mulai fase perencanaan aktivitas siswa terlibat pada saat mengidentifikasi masalah dengan menggunakan teknik bursa ide (brain storming). Setiap siswa boleh menyampaikan masalah yang menarik baginya, disamping tentu saja yang berkaitan dengan materi pelajaran. Setelah masalah terkumpul, siswa melakukan voting untuk memilih satu masalah untuk kajian kelas. Dalam fase kegiatan lapangan, aktifitas siswa lebih tampak. Dengan berbagai teknik (misalnya dengan wawancara, pengamatan, kuesioner, dan lain-lain) mereka mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan untuk menjawab permasalahan yang menjadi bahan kajian kelas mereka. Untuk melengkapi data dan informasi tersebut, mereka mengambil foto, membuat sketsa, mempersiapkan kliping, dan jika diperlukan maka sebuah peristiwa penting dapat direkam dengan kamera. Pada fase pelaporan aktifitas mereka terfokus pada pembuatan portofolio kelas. Berbagai data dan informasi yang telah di dapat kemudian disusun secara sistematis dan disimpan pada sebuah map ordner (portofolio seksi dokumentasi).
Data dan informasi yang paling penting dan menarik adalah ketika data dan informasi ditempel pada portofolio seksi penayangan, yaitu papan panel yang terbuat dari kardus bekas atau bahan lain yang tersedia. Setelah portofolio selesai dibuat, dilakukanlah public hearing dalam kegiatan showcase dihadapan dewan juri. Kegiatan (showcase) merupakan puncak penampilan siswa, karena pada tahap ini, hasil pekerjaan siswa akan diuji dan diperdebatkan dihadapan dewan juri. Dan sebagai langkah terakhir dari Project Citizen ini adalah melakukan refleksi pengalaman belajar.
Kedua, kelompok belajar kooperatif (cooperative learning). Proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran berbasis portofolio juga menerapkan prinsip belajar kooperatif, yaitu proses pembelajaran yang berbasis kerjasama. Kerjasama dilakukan antarsiswa dan antar komponen-komponen lain di sekolah, termasuk kerjasama sekolah dengan orang tua dan lembaga terkait.
Ketiga, pembelajaran partisipatorik. Proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran berbasis portofolio menganut prinsip dasar pembelajaran partisipatorik, sebab melalui model ini siswa belajar sambil melakukan (learning by doing). Salah satu bentuk perlakuan itu adalah siswa belajar hidup berdemokrasi. Sebagai contoh pada saat memilih masalah untuk bahan kajian kelas, nampak bahwa siswa saling menghargai atas keputusan yang diambil oleh teman-temannya yang lain saat melakukan pemilihan bahan kajian kelas. Kemudian, pada saat berlangsungnya diskusi, siswa belajar mengemukakan kan pendapat, mendengar pendapat orang lain, menyampaikan kritik serta sebaliknya belajar menerima kritik. Sehingga dalam hal ini, siswa benar-benar ikut serta dalam proses pembelajaran.
Keempat, mengajar yang reaktif (reactive teaching). Untuk menerapkan model pembelajaran berbasis portofolio guru perlu menciptakan strategi yang tepat agar siswa mempunyai motivasi belajar yang tinggi. Motivasi yang seperti itu akan dapat tercipta apabila guru dapat meyakinkan siswa mengenai materi yang sedang dipelajari bahwa akan berguna untuk kehidupan nyata. Kemudian, guru juga dituntut untuk dapat menciptakan situasi sehingga materi pelajaran yang disampaikan selalu menarik dan tidak membosankan. Guru juga harus mempunyai sensitifitas yang tinggi untuk mengetahui apakah kegiatan pembelajaran sudah membosankan bagi siswa.
Kelima, democratic learning. Pembelajaran PKn berbasis portofolio mendukung penciptaan democratic learning, yang artinya pembelajaran PKn merupakan wahana pembelajaran demokrasi dalam rangka mengambangkan siswa menjadi warga negara demokratis yang cerdas, bertanggung jawab, dan partisipatif. Dalam pembelajaran PKn berbasis portofolio sebagai democratic learning, merupakan kegiatan pembelajaran yang berbasis masalah (social issues or problems) bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), watak (disposition) kewarganegaraan yang demokratis dan memungkinkan dan mendorong partisipasi dalam pemerintahan dan masyarakat sipil yang beradab.
Pendidikan kewarganegaraan sebagai salah satu mata pelajaran IPS, tidak hanya sekedar menyajikan informasi ataupun gagasan seperti yang banyak dilakukan di dalam pengajaran ilmu-ilmu sosial lainnya, tetapi mata pelajaran ini juga memuat pengajaran untuk menjadikan warga negara yang lebih baik. Dan di dalam mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan memberikan pengalaman belajar yang lebih efektif seperti yang dikemukakan oleh Wahab (2007: 28) berikut ini:
Di dalamnya tercakup pula diantaranya membimbing siswa untuk belajar melalui kegiatan-kegiatan pemeriksaan (probing), menemukan (discovering), menganalisis (analyzing), dan menguji (examining) yang disebut berfikir reflektif (reflective thinking) sebagai sesuatu yang penting dalam membangun sikap dan nilai-nilai yang lebih langsung adalah tugas-tugas pengembangan keterampilan.

Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa, melalui pendidikan kewarganegaraan siswa dapat belajar berdasarkan pengalaman hidup yang pernah didapatnya yang kemudian siswa tersebut dapat mencari dan menggali informasi lebih lanjut. Kemudian, melalui mata pelajaran ini juga, siswa sekaligus dapat menemukan hal-hal yang berguna untuk kehidupannya mendatang, belajar menelaah permasalahan yang ada di sekitarnya, dan dapat menambah kecakapan hidup bagi siswa itu sendiri.

0 comments: