Perkembangan
Paradigma Kepemimpinan:
Gaya, Tipologi,
Model dan Teori Kepemimpinan
Jenis, gaya, dan
ciri yang menandai perkembangan kepemimpinan masa lalu dapat dilihat
dari pengetahuan atau pun teori kepemimpinan yang berkembang dalam
kurun waktu tersebut. Abad 20 baru saja berlalu. Kita dapat mencatat
sejarah kemanusiaan yang penuh dinamika perubahan di abad itu;
termasuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tak terkecuali
perkembangan pengetahuan tentang paradigma kepemimpinan yang dapat
meliputi gaya kepemimpinan, tipologi kepemimpinan, model-model
kepemimpinan, dan teori-teori kepemimpinan. Sekalipun secara
konseptual pada ketiganya terdapat perbedaan, namun sebagai telaahan
mengenai substansi yang sama akan terdapat korelasi bahkan
interdependensi antar ketiganya.
- Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan,
pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah
laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam
memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau
bentuk tertentu. Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini
sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Davis dan Newstrom
(1995). Keduanya menyatakan bahwa pola tindakan pemimpin secara
keseluruhan seperti yang dipersepsikan atau diacu oleh bawahan
tersebut dikenal sebagai gaya kepemimpinan.
Gaya kepemimpinan
dari seorang pemimpin, pada dasarnya dapat diterangkan melalui tiga
aliran teori berikut ini.
Teori Genetis
(Keturunan). Inti dari
teori menyatakan bahwa “Leader
are born and nor made”
(pemimpin itu dilahirkan (bakat) bukannya dibuat). Para penganut
aliran teori ini mengetengahkan pendapatnya bahwa seorang pemimpin
akan menjadi pemimpin karena ia telah dilahirkan dengan bakat
kepemimpinan. Dalam keadaan yang bagaimanapun seseorang ditempatkan
karena ia telah ditakdirkan menjadi pemimpin, sesekali kelak ia akan
timbul sebagai pemimpin. Berbicara mengenai takdir, secara filosofis
pandangan ini tergolong pada pandangan fasilitas atau determinitis.
Teori Sosial.
Jika teori pertama di
atas adalah teori yang ekstrim pada satu sisi, maka teori inipun
merupakan ekstrim pada sisi lainnya. Inti aliran teori sosial ini
ialah bahwa “Leader are made and not born” (pemimpin itu dibuat
atau dididik bukannya kodrati). Jadi teori ini merupakan kebalikan
inti teori genetika. Para
penganut teori ini mengetengahkan pendapat yang mengatakan bahwa
setiap orang bisa menjadi pemimpin apabila diberikan pendidikan dan
pengalaman yang cukup.
Teori Ekologis.
Kedua teori yang ekstrim di atas tidak seluruhnya mengandung
kebenaran, maka sebagai reaksi terhadap kedua teori tersebut
timbullah aliran teori ketiga. Teori yang disebut teori ekologis ini
pada intinya berarti bahwa seseorang hanya akan berhasil menjadi
pemimpin yang baik apabila ia telah memiliki bakat kepemimpinan.
Bakat tersebut kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur
dan pengalaman yang memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut.
Teori ini menggabungkan segi-segi positif dari kedua teori terdahulu
sehingga dapat dikatakan merupakan teori yang paling mendekati
kebenaran. Namun demikian, penelitian yang jauh lebih mendalam masih
diperlukan untuk dapat mengatakan secara pasti apa saja faktor yang
menyebabkan timbulnya sosok pemimpin yang baik.
Selain
pendapat-pendapat yang menyatakan tentang timbulnya gaya kepemimpinan
tersebut, Hersey dan Blanchard (1992) berpendapat bahwa gaya
kepemimpinan pada dasarnya merupakan perwujudan dari tiga komponen,
yaitu pemimpin itu sendiri, bawahan, serta situasi di mana proses
kepemimpinan tersebut diwujudkan. Bertolak dari pemikiran tersebut,
Hersey dan Blanchard (1992) mengajukan proposisi bahwa gaya
kepemimpinan (k) merupakan suatu fungsi dari pimpinan (p), bawahan
(b) dan situasi tertentu (s)., yang dapat dinotasikan sebagai : k = f
(p, b, s).
Menurut Hersey dan
Blanchard, pimpinan (p) adalah seseorang yang dapat mempengaruhi
orang lain atau kelompok untuk melakukan unjuk kerja maksimum yang
telah ditetapkan sesuai dengan tujuan organisasi. Organisasi akan
berjalan dengan baik jika pimpinan mempunyai kecakapan dalam
bidangnya, dan setiap pimpinan mempunyai keterampilan yang berbeda,
seperti keterampilan teknis, manusiawi dan konseptual. Sedangkan
bawahan adalah seorang atau sekelompok orang yang merupakan anggota
dari suatu perkumpulan atau pengikut yang setiap saat siap
melaksanakan perintah atau tugas yang telah disepakati bersama guna
mencapai tujuan. Dalam suatu organisasi, bawahan mempunyai peranan
yang sangat strategis, karena sukses tidaknya seseorang pimpinan
bergantung kepada para pengikutnya ini. Oleh sebab itu, seorang
pemimpinan dituntut untuk memilih bawahan dengan secermat mungkin.
Adapun situasi (s)
menurut Hersey dan Blanchard adalah suatu keadaan yang kondusif, di
mana seorang pimpinan berusaha pada saat-saat tertentu mempengaruhi
perilaku orang lain agar dapat mengikuti kehendaknya dalam rangka
mencapai tujuan bersama. Dalam satu situasi misalnya, tindakan
pimpinan pada beberapa tahun yang lalu tentunya tidak sama dengan
yang dilakukan pada saat sekarang, karena memang situasinya telah
berlainan. Dengan demikian, ketiga unsur yang mempengaruhi gaya
kepemimpinan tersebut, yaitu pimpinan, bawahan dan situasi merupakan
unsur yang saling terkait satu dengan lainnya, dan akan menentukan
tingkat keberhasilan kepemimpinan.
- Tipologi Kepemimpinan
Dalam praktiknya,
dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut berkembang beberapa tipe
kepemimpinan; di antaranya adalah sebagian berikut (Siagian,1997).
Tipe Otokratis.
Seorang pemimpin yang
otokratis ialah pemimpin yang memiliki kriteria atau ciri sebagai
berikut: Menganggap organisasi sebagai pemilik pribadi;
Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi; Menganggap
bawahan sebagai alat semata-mata; Tidak mau menerima kritik, saran
dan pendapat; Terlalu tergantung kepada kekuasaan formalnya; Dalam
tindakan pengge-rakkannya sering memperguna-kan pendekatan yang
mengandung unsur paksaan dan bersifat menghukum.
Tipe
Militeristis. Perlu
diperhatikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dari seorang
pemimpin tipe militerisme berbeda dengan seorang pemimpin organisasi
militer. Seorang pemimpin yang bertipe militeristis ialah seorang
pemimpin yang memiliki sifat-sifat berikut : Dalam menggerakan
bawahan sistem perintah yang lebih sering dipergunakan; Dalam
menggerakkan bawahan senang bergantung kepada pangkat dan jabatannya;
Senang pada formalitas yang berlebih-lebihan; Menuntut disiplin yang
tinggi dan kaku dari bawahan; Sukar menerima kritikan dari
bawahannya; Menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan.
Tipe
Paternalistis. Seorang
pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin yang paternalistis ialah
seorang yang memiliki ciri sebagai berikut : menganggap bawahannya
sebagai manusia yang tidak dewasa; bersikap terlalu melindungi
(overly protective);
jarang memberikan
kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan; jarang
memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil inisiatif;
jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan
daya kreasi dan fantasinya; dan sering bersikap maha tahu.
Tipe Karismatik.
Hingga sekarang ini para ahli belum berhasil menemukan
sebab-sebab-sebab mengapa seseorang pemimpin memiliki karisma.
Umumnya diketahui bahwa pemimpin yang demikian mempunyai daya tarik
yang amat besar dan karenanya pada umumnya mempunyai pengikut yang
jumlahnya yang sangat besar, meskipun para pengikut itu sering pula
tidak dapat menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut pemimpin itu.
Karena kurangnya pengetahuan tentang sebab musabab seseorang menjadi
pemimpin yang karismatik,
maka sering hanya dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi
dengan kekuatan gaib (supra
natural powers).
Kekayaan, umur, kesehatan, profil tidak dapat dipergunakan sebagai
kriteria untuk karisma. Gandhi bukanlah seorang yang kaya, Iskandar
Zulkarnain bukanlah seorang yang fisik sehat, John F Kennedy adalah
seorang pemimpin yang memiliki karisma meskipun umurnya masih muda
pada waktu terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat. Mengenai
profil, Gandhi tidak dapat digolongkan sebagai orang yang ‘ganteng”.
Tipe
Demokratis.
Pengetahuan tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa tipe
pemimpin yang demokratislah yang paling tepat untuk organisasi
modern. Hal ini terjadi karena tipe kepemimpinan ini memiliki
karakteristik sebagai berikut : dalam proses penggerakan bawahan
selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu adalah makhluk
yang termulia di dunia; selalu berusaha mensinkronisasikan
kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan
pribadi dari pada bawahannya; senang menerima saran, pendapat, dan
bahkan kritik dari bawahannya; selalu berusaha mengutamakan kerjasama
dan teamwork
dalam
usaha mencapai tujuan; ikhlas memberikan kebebasan yang
seluas-luasnya kepada bawahannya untuk berbuat kesalahan yang
kemudian diperbaiki agar bawahan itu tidak lagi berbuat kesalahan
yang sama, tetapi lebih berani untuk berbuat kesalahan yang lain;
selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya;
dan berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai
pemimpin.
Secara implisit
tergambar bahwa untuk menjadi pemimpin tipe demokratis bukanlah hal
yang mudah. Namun, karena pemimpin yang demikian adalah yang paling
ideal, alangkah baiknya jika semua pemimpin berusaha menjadi seorang
pemimpin yang demokratis.
- Model Kepemimpinan.
Model
kepemimpinan
didasarkan pada pendekatan yang mengacu kepada hakikat kepemimpinan
yang berlandaskan pada perilaku dan keterampilan seseorang yang
berbaur kemudian membentuk gaya kepemimpinan yang berbeda. Beberapa
model yang menganut pendekatan ini, di antaranya adalah sebagai
berikut.
Model
Kepemimpinan Kontinum
(Otokratis-Demokratis). Tannenbaun dan Schmidt dalam Hersey dan
Blanchard (1994) berpendapat bahwa pemimpin mempengaruhi pengikutnya
melalui beberapa cara, yaitu dari cara yang menonjolkan sisi ekstrim
yang disebut dengan perilaku otokratis sampai dengan cara yang
menonjolkan sisi ekstrim lainnya yang disebut dengan perilaku
demokratis. Perilaku otokratis, pada umumnya dinilai bersifat
negatif, di mana sumber kuasa atau wewenang berasal dari adanya
pengaruh pimpinan. Jadi otoritas berada di tangan pemimpin, karena
pemusatan kekuatan dan pengambilan keputusan ada pada dirinya serta
memegang tanggung jawab penuh, sedangkan bawahannya dipengaruhi
melalui ancaman dan hukuman. Selain bersifat negatif, gaya
kepemimpinan ini mempunyai manfaat antara lain, pengambilan keputusan
cepat, dapat memberikan kepuasan pada pimpinan serta memberikan rasa
aman dan keteraturan bagi bawahan. Selain
itu, orientasi utama dari perilaku otokratis ini adalah pada tugas.
Perilaku
demokratis; perilaku kepemimpinan ini memperoleh sumber kuasa atau
wewenang yang berawal dari bawahan. Hal ini terjadi jika bawahan
dimotivasi dengan tepat dan pimpinan dalam melaksanakan
kepemimpinannya berusaha mengutamakan kerjasama dan team
work untuk
mencapai tujuan, di mana si pemimpin senang menerima saran, pendapat
dan bahkan kritik dari bawahannya. Kebijakan di sini terbuka bagi
diskusi dan keputusan kelompok.
Namun,
kenyataannya perilaku kepemimpinan ini tidak mengacu pada dua model
perilaku kepemimpinan yang ekstrim di atas, melainkan memiliki
kecenderungan yang terdapat di antara dua sisi ekstrim tersebut.
Tannenbaun dan Schmidt dalam Hersey dan Blanchard (1994)
mengelompokkannya menjadi tujuh kecenderungan perilaku kepemimpinan.
Ketujuh perilaku inipun tidak mutlak melainkan akan memiliki
kecenderungan perilaku kepemimpinan mengikuti suatu garis kontinum
dari sisi otokratis yang berorientasi pada tugas sampai dengan sisi
demokratis yang berorientasi pada hubungan.
Model
Kepemimpinan Ohio.
Dalam penelitiannya, Universitas Ohio melahirkan teori dua faktor
tentang gaya kepemimpinan yaitu struktur
inisiasi
dan konsiderasi
(Hersey
dan Blanchard, 1992). Struktur inisiasi mengacu kepada perilaku
pemimpin dalam menggambarkan hubungan antara dirinya dengan anggota
kelompok kerja dalam upaya membentuk pola organisasi, saluran
komunikasi, dan metode atau prosedur yang ditetapkan dengan baik.
Adapun konsiderasi mengacu kepada perilaku yang menunjukkan
persahabatan, kepercayaan timbal-balik, rasa hormat dan kehangatan
dalam hubungan antara pemimpin dengan anggota stafnya (bawahan).
Adapun contoh dari faktor konsiderasi misalnya pemimpin menyediakan
waktu untuk menyimak anggota kelompok, pemimpin mau mengadakan
perubahan, dan pemimpin bersikap bersahabat dan dapat didekati.
Sedangkan contoh untuk faktor struktur inisiasi misalnya pemimpin
menugaskan tugas tertentu kepada anggota kelompok, pemimpin meminta
anggota kelompok mematuhi tata tertib dan peraturan standar, dan
pemimpin memberitahu anggota kelompok tentang hal-hal yang diharapkan
dari mereka. Kedua faktor dalam model kepemimpinan Ohio tersebut
dalam implementasinya mengacu pada empat kuadran, yaitu : (a) model
kepemimpinan yang rendah konsiderasi maupun struktur inisiasinya, (b)
model kepemimpinan yang tinggi konsiderasi maupun struktur
inisiasinya, (c) model kepemimpinan yang tinggi konsiderasinya tetapi
rendah struktur inisiasinya, dan (d) model kepemimpinan yang rendah
konsiderasinya tetapi tinggi struktur inisiasinya.
Model
Kepemimpinan Likert
(Likert’s
Management System).
Likert dalam Stoner (1978) menyatakan bahwa dalam model kepemimpinan
dapat dikelompokkan dalam empat sistem, yaitu sistem otoriter,
otoriter yang bijaksana, konsultatif, dan partisipatif. Penjelasan
dari keempat sistem tersebut adalah seperti yang disajikan pada
bagian berikut ini.
Sistem Otoriter
(Sangat Otokratis). Dalam sistem ini, pimpinan menentukan semua
keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan, dan memerintahkan semua
bawahan untuk menjalankannya. Untuk itu, pemimpin juga menentukan
standar pekerjaan yang harus dijalankan oleh bawahan. Dalam
menjalankan pekerjaannya, pimpinan cenderung menerapkan ancaman dan
hukuman. Oleh karena itu, hubungan antara pimpinan dan bawahan dalam
sistem adalah saling curiga satu dengan lainnya.
Sistem Otoriter
Bijak (Otokratis Paternalistik). Perbedaan dengan sistem sebelumnya
adalah terletak kepada adanya fleksibilitas pimpinan dalam menetapkan
standar yang ditandai dengan meminta pendapat kepada bawahan. Selain
itu, pimpinan dalam sistem ini juga sering memberikan pujian dan
bahkan hadiah ketika bawahan berhasil bekerja dengan baik. Namun
demikian, pada sistem inipun, sikap pemimpin yang selalu memerintah
tetap dominan.
Sistem Konsultatif.
Kondisi lingkungan kerja pada sistem ini dicirikan adanya pola
komunikasi dua arah antara pemimpin dan bawahan. Pemimpin dalam
menerapkan kepemimpinannya cenderung lebih bersifat menudukung.
Selain itu sistem kepemimpinan ini juga tergambar pada pola penetapan
target atau sasaran organisasi yang cenderung bersifat konsultatif
dan memungkinkan diberikannya wewenang pada bawahan pada tingkatan
tertentu.
Sistem Partisipatif.
Pada sistem ini, pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang lebih
menekankan pada kerja kelompok sampai di tingkat bawah. Untuk
mewujudkan hal tersebut, pemimpin biasanya menunjukkan keterbukaan
dan memberikan kepercayaan yang tinggi pada bawahan. Sehingga dalam
proses pengambilan keputusan dan penentuan target pemimpin selalu
melibatkan bawahan. Dalam sistem inipun, pola komunikasi yang terjadi
adalah pola dua arah dengan memberikan kebebasan kepada bawahan untuk
mengungkapkan seluruh ide ataupun permasalahannya yang terkait dengan
pelaksanaan pekerjaan.
Dengan demikian,
model kepemimpinan yang disampaikan oleh Likert ini pada dasarnya
merupakan pengembangan dari model-model yang dikembangkan oleh
Universitas Ohio, yaitu dari sudut pandang struktur inisasi dan
konsiderasi.
Model
Kepemimpinan
Managerial
Grid.
Jika
dalam model Ohio, kepemimpinan ditinjau dari sisi struktur inisiasi
dan konsideransinya, maka dalam model manajerial
grid
yang disampaikan oleh Blake dan Mouton dalam Robbins (1996)
memperkenalkan model kepemimpinan yang ditinjau dari perhatiannya
terhadap tugas dan perhatian pada orang. Kedua sisi tinjauan model
kepemimpinan ini kemudian diformulasikan dalam tingkatan-tingkatan,
yaitu antara 0 sampai dengan 9. Dalam pemikiran model managerial
grid
adalah seorang pemimpin selain harus lebih memikirkan mengenai
tugas-tugas yang akan dicapainya juga dituntut untuk memiliki
orientasi yang baik terhadap hubungan kerja dengan manusia sebagai
bawahannya. Artinya bahwa seorang pemimpin tidak dapat hanya
memikirkan pencapaian tugas saja tanpa memperhitungkan faktor
hubungan dengan bawahannya, sehingga seorang pemimpin dalam mengambil
suatu sikap terhadap tugas, kebijakan-kebijakan yang harus diambil,
proses dan prosedur penyelesaian tugas, maka saat itu juga pemimpin
harus memperhatikan pola hubungan dengan staf atau bawahannya secara
baik. Menurut Blake dan Mouton ini, kepemimpinan dapat dikelompokkan
menjadi empat kecenderungan yang ekstrim dan satu kecenderungan yang
terletak di tengah-tengah keempat gaya ekstrim tersebut.
Grid
1.1 disebut
Impoverished
leadership (Model
Kepemimpinan yang Tandus), dalam kepemimpinan ini si pemimpin selalu
menghidar dari segala bentuk tanggung jawab dan perhatian terhadap
bawahannya.
Grid
9.9 disebut Team
leadership (Model
Kepemimpinan Tim), pimpinan menaruh perhatian besar terhadap hasil
maupun hubungan kerja, sehingga mendorong bawahan untuk berfikir dan
bekerja (bertugas) serta terciptanya hubungan yang serasi antara
pimpinan dan bawahan.
Grid
1.9 disebut Country
Club leadership (Model
Kepemimpinan Perkumpulan), pimpinan lebih mementingkan hubungan kerja
atau kepentingan bawahan, sehingga hasil/tugas kurang diperhatikan.
Grid
9.1 disebut Task
leadership (Model
Kepemimpinan Tugas), kepemimpinan ini bersifat otoriter karena sangat
mementingkan tugas/hasil dan bawahan dianggap tidak penting karena
sewaktu-waktu dapat diganti.
Grid
5.5
disebut
Middle
of the road (Model
Kepemimpinan Jalan Tengah), di mana si pemimpin cukup memperhatikan
dan mempertahankan serta menyeimbangkan antara moral bawahan dengan
keharusan penyelesaian pekerjaan pada tingkat yang memuaskan, di mana
hubungan antara pimpinan dan bawahan bersifat kebapakan.
Berdasakan uraian di
atas, pada dasarnya model kepemimpinan manajerial grid ini relatif
lebih rinci dalam menggambarkan kecenderungan kepemimpinan. Namun
demikian, tidak dapat dipungkiri bahwasanya model ini merupakan
pandangan yang berawal dari pemikiran yang relatif sama dengan model
sebelumnya, yaitu seberapa otokratis dan demokratisnya kepemimpinan
dari sudut pandang perhatiannya pada orang dan tugas.
Model
Kepemimpinan Kontingensi. Model
kepemimpinan kontingensi dikembang-kan oleh Fielder. Fielder dalam
Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1995) berpendapat bahwa gaya
kepemimpinan yang paling sesuai bagi sebuah organisasi bergantung
pada situasi di mana pemimpin bekerja. Menurut model kepemimpinan
ini, terdapat tiga variabel utama yang cenderung menentukan apakah
situasi menguntukang bagi pemimpin atau tidak. Ketiga variabel utama
tersebut adalah : hubungan pribadi pemimpin dengan para anggota
kelompok (hubungan pemimpin-anggota); kadar struktur tugas yang
ditugaskan kepada kelompok untuk dilaksanakan (struktur tugas); dan
kekuasaan dan kewenangan posisi yang dimiliki (kuasa posisi).
Berdasar ketiga
variabel utama tersebut, Fiedler menyimpulkan bahwa : para pemimpin
yang berorientasi pada tugas cenderung berprestasi terbaik dalam
situasi kelompok yang sangat menguntungkan maupun tidak menguntungkan
sekalipun; para pemimpin yang berorientasi pada hubungan cenderung
berprestasi terbaik dalam situasi-situasi yang cukup menguntungkan.
Dari
kesimpulan model kepemimpinan tersebut, pendapat Fiedler cenderung
kembali pada konsep kontinum perilaku pemimpin. Namun perbedaannya di
sini adalah bahwa situasi yang cenderung menguntungkan dan yang
cenderung tidak menguntungkan dipisahkan dalam dua kontinum yang
berbeda.
Model
Kepemimpinan Tiga Dimensi.
Model
kepemimpinan ini dikembangkan oleh Redin. Model tiga dimensi ini,
pada dasarnya merupakan pengembangan dari model yang dikembangkan
oleh Universitas Ohio dan model Managerial Grid. Perbedaan utama dari
dua model ini adalah adanya penambahan satu dimensi pada model tiga
dimensi, yaitu dimensi efektivitas, sedangkan dua dimensi lainnya
yaitu dimensi perilaku hubungan dan dimensi perilaku tugas tetap
sama.
Intisari
dari model ini terletak pada pemikiran bahwa kepemimpinan dengan
kombinasi perilaku hubungan dan perilaku tugas dapat saja sama, namun
hal tersebut tidak menjamin memiliki efektivitas yang sama pula. Hal
ini terjadi karena perbedaan kondisi lingkungan yang terjadi dan
dihadapi oleh sosok pemimpin dengan kombinasi perilaku hubungan dan
tugas yang sama tersebut memiliki perbedaan. Secara umum, dimensi
efektivitas lingkungan terdiri dari dua bagian, yaitu dimensi
lingkungan yang tidak efektif dan efektif. Masing-masing bagian
dimensi lingkungan ini memiliki skala yang sama 1 sampai dengan 4,
dimana untuk lingkungan tidak efektif skalanya bertanda negatif dan
untuk lingkungan yang efektif skalanya bertanda positif.
- Teori Kepemimpinan.
Salah satu prestasi
yang cukup menonjol dari sosiologi kepemimpinan modern adalah
perkembangan dari teori peran (role
theory). Dikemukakan,
setiap anggota suatu masyarakat menempati status posisi tertentu,
demikian juga halnya dengan individu diharapkan memainkan peran
tertentu. Dengan demikian kepemimpinan dapat dipandang sebagai suatu
aspek dalam diferensiasi peran. Ini berarti bahwa kepemimpinan dapat
dikonsepsikan sebagai suatu interaksi antara individu dengan anggota
kelompoknya.
Menurut kaidah, para
pemimpin atau manajer adalah manusia-manusia super lebih daripada
yang lain, kuat, gigih, dan tahu segala sesuatu (White, Hudgson &
Crainer, 1997). Para pemimpin juga merupakan manusia-manusia yang
jumlahnya sedikit, namun perannya dalam organisasi merupakan penentu
keberhasilan dan suksesnya tujuan yang hendak dicapai. Berangkat
dari ide-ide pemikiran, visi para pemimpin ditentukan arah perjalanan
suatu organisasi. Walaupun bukan satu-satunya ukuran keberhasilan
dari tingkat kinerja organisasi, akan tetapi kenyataan membuktikan
tanpa kehadiran pemimpin, suatu organisasi akan bersifat statis dan
cenderung berjalan tanpa arah.
Dalam sejarah
peradaban manusia, dikonstatir gerak hidup dan dinamika organisasi
sedikit banyak tergantung pada sekelompok kecil manusia penyelenggara
organisasi. Bahkan dapat dikatakan kemajuan umat manusia datangnya
dari sejumlah kecil orang-orang istimewa yang tampil kedepan.
Orang-orang ini adalah perintis, pelopor, ahli-ahli pikir, pencipta
dan ahli organisasi. Sekelompok orang-orang istimewa inilah yang
disebut pemimpin. Oleh karenanya kepemimpinan seorang merupakan kunci
dari manajemen. Para pemimpin dalam menjalankan tugasnya tidak hanya
bertanggungjawab kepada atasannya, pemilik, dan tercapainya tujuan
organisasi, mereka juga bertanggungjawab terhadap masalah-masalah
internal organisasi termasuk didalamnya tanggungjawab terhadap
pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia. Secara eksternal,
para pemimpin memiliki tanggungjawab sosial kemasyarakatan atau
akuntabilitas publik.
Dari
sisi teori kepemimpinan, pada dasarnya teori-teori kepemimpinan
mencoba menerangkan dua hal yaitu, faktor-faktor yang terlibat dalam
pemunculan kepemimpinan dan sifat dasar dari kepemimpinan. Penelitian
tentang dua masalah ini lebih memuaskan daripada teorinya itu
sendiri. Namun bagaimanapun teori-teori kepemimpinan cukup menarik,
karena teori banyak membantu dalam mendefinisikan dan menentukan
masalah-masalah penelitian. Dari penelusuran literatur tentang
kepemimpinan, teori kepemimpinn
banyak dipengaruhi oleh penelitian Galton
(1879)
tentang latar belakang dari orang-orang terkemuka yang mencoba
menerangkan kepemimpinan berdasarkan warisan. Beberapa penelitian
lanjutan, mengemukakan individu-individu dalam setiap masyarakat
memiliki tingkatan yang berbeda dalam inteligensi, energi, dan
kekuatan moral serta mereka selalu dipimpin oleh individu yang
benar-benar superior.
Perkembangan
selanjutnya, beberapa ahli teori mengembangkan pandangan kemunculan
pemimpin besar adalah hasil dari waktu, tempat dan situasi sesaat.
Dua hipotesis yang dikembangkan tentang kepemimpinan, yaitu ; (1)
kualitas pemimpin dan kepemimpinan yang tergantung kepada situasi
kelompok, dan (2), kualitas individu dalam mengatasi situasi sesaat
merupakan hasil kepemimpinan terdahulu yang berhasil dalam mengatasi
situasi yang sama (Hocking & Boggardus, 1994).
Dua
teori yaitu Teori
Orang-Orang Terkemuka
dan Teori
Situasional,
berusaha menerangkan kepemimpinan sebagai efek dari kekuatan tunggal.
Efek
interaktif antara faktor individu dengan faktor situasi tampaknya
kurang mendapat perhatian. Untuk itu, penelitian tentang kepemimpinan
harus juga termasuk ; (1) sifat-sifat efektif, intelektual dan
tindakan individu, dan (2) kondisi khusus individu didalam
pelaksanaannya. Pendapat lain mengemukakan, untuk mengerti
kepemimpinan perhatian harus diarahkan kepada (1) sifat dan motif
pemimpin sebagai manusia biasa, (2) membayangkan bahwa terdapat
sekelompok orang yang dia pimpin dan motifnya mengikuti dia, (3)
penampilan peran harus dimainkan sebagai pemimpin, dan (4) kaitan
kelembagaan melibatkan dia dan pengikutnya (Hocking & Boggardus,
1994).
Beberapa
pendapat tersebut, apabila diperhatikan dapat dikategorikan sebagai
teori kepemimpinan dengan sudut pandang "Personal-Situasional".
Hal ini disebabkan, pandangannya tidak hanya pada masalah situasi
yang ada, tetapi juga dilihat interaksi antar individu maupun antar
pimpinan dengan kelompoknya. Teori kepemimpinan yang dikembangkan
mengikuti tiga teori diatas, adalah Teori
Interaksi Harapan.
Teori ini mengembangkan tentang peran kepemimpinan dengan menggunakan
tiga variabel dasar yaitu; tindakan, interaksi, dan sentimen.
Asumsinya, bahwa peningkatan frekuensi interaksi dan partisipasi
sangat berkaitan dengan peningkatan sentimen atau perasaan senang dan
kejelasan dari norma kelompok. Semakin tinggi kedudukan individu
dalam kelompok, maka aktivitasnya semakin sesuai dengan norma
kelompok, interaksinya semakin meluas, dan banyak anggota kelompok
yang berhasil diajak berinteraksi.
Pada
tahun 1957 Stogdill
mengembangkan Teori
Harapan-Reinforcement
untuk mencapai peran. Dikemukakan, interaksi antar anggota dalam
pelaksanaan tugas akan lebih menguatkan harapan untuk tetap
berinteraksi. Jadi, peran individu ditentukan oleh harapan bersama
yang dikaitkan dengan penampilan dan interaksi yang dilakukan.
Kemudian dikemukakan, inti kepemimpinan dapat dilihat dari usaha
anggota untuk merubah motivasi anggota lain agar perilakunya ikut
berubah. Motivasi dirubah dengan melalui perubahan harapan tentang
hadiah dan hukuman. Perubahan tingkahlaku anggota kelompok yang
terjadi, dimaksudkan untuk mendapatkan hadiah atas kinerjanya. Dengan
demikian, nilai seorang pemimpin atau manajer tergantung dari
kemampuannya menciptakan harapan akan pujian atau hadiah.
Atas
dasar teori diatas, House
pada tahun 1970 mengembangkan Teori
Kepemimpinan yang Motivasional.
Fungsi motivasi menurut teori ini untuk meningkatkan asosiasi antara
cara-cara tertentu yang bernilai positif dalam mencapai tujuan dengan
tingkahlaku yang diharapkan dan meningkatkan penghargaan bawahan akan
pekerjaan yang mengarah pada tujuan. Pada tahun yang sama Fiedler
mengembangkan Teori
Kepemimpinan yang Efektif.
Dikemukakan, efektivitas pola tingkahlaku pemimpin tergantung dari
hasil yang ditentukan oleh situasi tertentu. Pemimpin yang memiliki
orientasi kerja cenderung lebih efektif dalam berbagai situasi.
Semakin
sosiabel interaksi kesesuaian pemimpin, tingkat efektivitas
kepemim-pinan makin tinggi.
Teori
kepemimpinan berikutnya adalah Teori
Humanistik
dengan para pelopor
Argryris, Blake dan Mouton, Rensis Likert, dan Douglas McGregor.
Teori ini secara umum berpendapat, secara alamiah manusia merupakan
"motivated
organism".
Organisasi memiliki struktur dan sistem kontrol tertentu. Fungsi dari
kepemimpinan adalah memodifikasi organisasi agar individu bebas untuk
merealisasikan potensi motivasinya didalam memenuhi kebutuhannya dan
pada waktu yang sama sejalan dengan arah tujuan kelompok. Apabila
dicermati, didalam Teori
Humanistik,
terdapat tiga variabel pokok, yaitu; (1), kepemimpinan yang sesuai
dan memperhatikan hati nurani anggota dengan segenap harapan,
kebutuhan, dan kemampuan-nya, (2), organisasi yang disusun dengan
baik agar tetap relevan dengan kepentingan anggota disamping
kepentingan organisasi secara keseluruhan, dan (3), interaksi yang
akrab dan harmonis antara pimpinan dengan anggota untuk menggalang
persatuan dan kesatuan serta hidup damai bersama-sama. Blanchard,
Zigarmi,
dan Drea
bahkan menyatakan, kepemimpinan bukanlah sesuatu yang Anda lakukan
terhadap orang lain, melainkan sesuatu yang Anda lakukan bersama
dengan orang lain (Blanchard & Zigarmi, 2001).
Teori
kepemimpinan lain, yang perlu dikemukakan adalah Teori
Perilaku Kepemimpinan.
Teori ini menekankan pada apa yang dilakukan oleh seorang pemimpin.
Dikemukakan, terdapat perilaku yang membedakan pemimpin dari yang
bukan pemimpin. Jika suatu penelitian berhasil menemukan perilaku
khas yang menunjukkan keberhasilan seorang pemimpin, maka
implikasinya ialah seseorang pada dasarnya dapat dididik dan dilatih
untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif. Teori ini sekaligus
menjawab pendapat, pemimpin itu ada bukan hanya dilahirkan untuk
menjadi pemimpin tetapi juga dapat muncul sebagai hasil dari suatu
proses belajar.
Selain
teori-teori kepemimpinan yang telah dikemukakan, dalam perkembangan
yang akhir-akhir ini mendapat perhatian para pakar maupun praktisi
adalah dua pola dasar interaksi antara pemimpin dan pengikut yaitu
pola
kepemimpinan
transformasional
dan kepemimpinan transaksional.
Kedua pola kepemimpinan tersebut, adalah berdasarkan pendapat seorang
ilmuwan di bidang politik yang bernama James
McGregor Burns (1978) dalam
bukunya yang berjudul “Leadership”.
Selanjutnya Bass
(1985)
meneliti dan mengkaji lebih dalam mengenai kedua pola kepemimpinan
dan kemudian mengumumkan secara resmi sebagai teori, lengkap dengan
model dan pengukurannya.
3. Kompetensi
Kepemimpinan
Suatu persyaratan
penting bagi efektivitas atau kesuksesan pemimpin (kepemimpinan) dan
manajer (manajemen) dalam mengemban peran, tugas, fungsi, atau pun
tanggung jawabnya masing-masing adalah kompetensi. Konsep mengenai
kompetensi untuk pertamakalinya dipopulerkan oleh Boyatzis (1982)
yang didefinisikan kompetensi sebagai “kemampuan yang dimiliki
seseorang yang nampak pada sikapnya yang sesuai dengan kebutuhan
kerja dalam parameter lingkungan organisasi dan memberikan hasil yang
diinginkan”. Secara historis perkembangan kompetensi dapat dilihat
dari beberapa definisi kompetensi terpilih dari waktu ke waktu yang
dikembangkan oleh Burgoyne (1988), Woodruffe (1990), Spencer dan
kawan-kawan (1990), Furnham (1990) dan Murphy (1993).
Menurut Rotwell,
kompetensi adalah an
area of knowledge or skill that is critical for production ke
outputs. Lebih lanjut
Rotwell menuliskan bahwa competencies
area internal capabilities that people brings to their job;
capabilities which may
be expressed in a broad, even infinite array of on the job behaviour.
Spencer (1993) berpendapat, kompetensi adalah “…
an undderlying characteristicof an individual that is causally
related to criterion referenced effective and/or superior performance
in ajob or situation”. Senada
dengan itu Zwell (2000) berpendapat “Competencies
can be defined as the enduring traits and characteristics that
determine performance. Examples of competencies are initiative,
influence, teamwork, innovation, and strategic thinking”.
Beberapa pandangan
di atas mengindikasikan bahwa kompetensi merupakan karakteristik atau
kepribadian (traits)
individual yang bersifat permanen yang dapat mempengaruhi kinerja
seseorang. Selain traits
dari Spencer dan Zwell
tersebut, terdapat karakteristik kompetensi lainnya, yatu berupa
motives, self koncept
(Spencer, 1993), knowledge,
dan skill (
Spencer, 1993; Rothwell and Kazanas, 1993). Menurut review
Asropi (2002),
berbagai kompetensi tersebut mengandung makna sebagai berikut :
Traits merunjuk
pada ciri bawaan yang bersifat fisik dan tanggapan yang konsisten
terhadap berbagai situasi atau informasi. Motives
adalah sesuatu yang
selalu dipikirkan atau diinginkan seseorang, yang dapat mengarahkan,
mendorong, atau menyebabkan orang melakukan suatu tindakan. Motivasi
dapat mengarahkan seseorang untuk menetapkan tindakan-tindakan yang
memastikan dirinya mencapai tujuan yang diharapkan (Amstrong, 1990).
Self concept
adalah sikap, nilai, atau citra yang dimiliki seseorang tentang
dirinya sendiri; yang memberikan keyakinan pada seseorang siapa
dirinya. Knowledge adalah informasi yang dimilki seseorang dalam
suatu bidang tertentu. Skill adalah kemampuan untuk melaksanakan
tugas tertentu, baik mental atau pun fisik.
Berbeda
dengan keempat karakteristik kompetensi lainnya yang bersifat
intention
dalam
diri individu, skill bersifat action.
Menurut Spencer (1993), skill menjelma sebagai perilaku yang di
dalamnya terdapat motives, traits, self concept, dan knowledge.
Dalam
pada itu, menurut
Spencer
(1993) dan Kazanas
(1993) terdapat kompetensi kepemimpinan secara umum yang dapat
berlaku atau dipilah menurut jenjang, fungsi, atau bidang, yaitu
kompetensi berupa : result
orientation, influence, initiative, flexibility, concern for quality,
technical expertise, analytical thinking, conceptual thinking, team
work, service orientation, interpersonal awareness, relationship
building, cross cultural sensitivity, strategic thinking,
entrepreneurial orientation, building organizational commitment, dan
empowering
others, develiping others. Kompetensi-kompetensi
tersebut pada umumnya merupakan kompetensi jabatan manajerial yang
diperlukan hampir dalam semua posisi manajerial.
Ke
18 kompetensi yang diidentifikasi Spencer
dan
Kazanas
tersebut dapat diturunkan ke dalam jenjang kepemimpinan berikut :
pimpinan puncak, pimpinan menengah, dan pimpinan pengendali operasi
teknis (supervisor).
Kompetensi pada
pimpinan puncak adalah result
(achievement) orientation, relationship building, initiative,
influence, strategic thinking, building organizational commitment,
entrepreneurial orientation, empowering others, developing others,
dan
felexibilty. Adapun
kompetensi pada
tingkat pimpinan menengah lebih berfokus pada influence,
result (achievement) orientation, team work, analitycal thinking,
initiative, empowering others, developing others, conceptual
thingking, relationship building, service orientation, interpersomal
awareness, cross cultural sensitivity, dan
technical expertise. Sedangkan
pada tingkatan supervisor kompetensi kepemimpinannya lebih befokus
pada technical
expertise, developing others, empowering others, interpersonal
understanding, service orientation, building organzational
commitment, concern for order, influence, felexibilty, relatiuonship
building, result (achievement) orientation, team work,
dan cross cultural
sensitivity.
Dalam hubungan ini
Kouzes
dan Posner 1995)
meyakini bahwa suatu kinerja yang memiliki kualitas unggul berupa
barang atau pun jasa, hanya dapat dihasilkan oleh para pemimpin yang
memiliki kualitas prima. Dikemukakan, kualitas kepemimpinan
manajerial adalah suatu cara hidup yang dihasilkan dari "mutu
pribadi total"
ditambah "kendali
mutu total"
ditambah "mutu
kepemimpinan".
Berdasarkan penelitiannya, ditemukan bahwa terdapat 5 (lima) praktek
mendasar pemimpin yang memiliki kualitas kepemimpinan unggul, yaitu;
(1) pemimpin yang menantang proses, (2) memberikan inspirasi wawasan
bersama, (3) memungkinkan orang lain dapat bertindak dan
berpartisipasi, (4) mampu menjadi penunjuk jalan, dan (5) memotivasi
bawahan.
Adapun ciri khas
manajer yang dikagumi sehingga para bawahan bersedia mengikuti
perilakunya adalah, apabila manajer memiliki sifat jujur, memandang
masa depan, memberikan inspirasi, dan memiliki kecakapan teknikal
maupun manajerial. Sedangkan Burwash
(1996) dalam hubungannya dengan kualitas kepemimpinan manajer
mengemukakan, kunci dari kualitas kepemimpinan yang unggul adalah
kepemimpinan yang memiliki paling tidak 8 sampai dengan 9 dari 25
kualitas kepemimpinan yang terbaik. Dinyatakan, pemimpin yang
berkualitas tidak puas dengan "status
quo" dan memiliki
keinginan untuk terus mengembangkan dirinya. Beberapa kriteria
kualitas kepemimpinan manajer yang baik antara lain, memiliki
komitmen organisasional yang kuat, visionary,
disiplin diri yang tinggi, tidak melakukan kesalahan yang sama,
antusias, berwawasan luas, kemampuan komunikasi yang tinggi,
manajemen waktu, mampu menangani setiap tekanan, mampu sebagai
pendidik atau guru bagi bawahannya, empati, berpikir positif,
memiliki dasar spiritual yang kuat, dan selalu siap melayani.
Dalam pada itu,
Warren Bennis
(1991) juga mengemukakan bahwa peran kepemimpinan adalah “empowering
the collective effort of the organization toward meaningful goals”
dengan indikator
keberhasilan sebagai berikut : People
feel important; Learning and competence are reinforced; People feel
they part of the organization; dan
Work is viewed as excisting, stimulating, and enjoyable. Sementara
itu, Soetjipto Wirosardjono (1993) menandai kualifikasi kepemimpinan
berikut, “kepemimpinan yang kita kehendaki adalah kepemimpinan yang
secara sejati memancarkan wibawa, karena memiliki komitmen,
kredibilitas, dan integritas”.
Sebelum itu, Bennis
bersama Burt Nanus
(1985) mengidentifikasi bentuk kompetensi kepemimpinan berupa “the
ability to manage”
dalam empat hal : attention
(= vision), meaning (= communication), trust (= emotional glue), and
self (= commitment, willingness to take risk). Kemudian
pada tahun 1997, keempat konsep tersebut diubah menjadi the
new rules of leradership berupa
(a) Provide direction and meaning, a sense of purpose; (b) Generate
and sustain trust, creating authentic relationships; (c) Display a
bias towards action, risk taking and curiosity; dan
(d) Are purveyors of hope, optimism and a psychological resilience
that expects success (lihat
Karol Kennedy, 1998; p.32).
Bagi Rossbeth
Moss Kanter (1994),
dalam menghadapi tantangan masa depan yang semakin terasa kompleks
dan akan berkembang semakin dinamik, diperlukan kompetensi
kepemimpinan berupa conception
yang tepat, competency
yang cukup, connection
yang luas, dan
confidence.
Tokoh lainnya adalah
Ken Shelton
(ed, 1997) mengidentikasi kompetensi dalam nuansa lain., menurut
hubungan pemimpin dan pengikut, dan jiwa kepemimpinan. Dalam hubungan
pemimpin dan pengikut, ia menekankan bagaimana keduanya sebaiknya
berinterkasi. Fenomena ini menurut Pace memerlukan kualitas
kepemimpinan yang tidak mementingkan diri sendiri. Selain
itu, menurut Carleff pemimpin dan pengikut merupak dua sisi dari
proses yang sama. Dalam hubungan jiwa kepemimpinan, sejumlah pengamat
memasuki wilayah “spiritual”. Rangkaian kualitas lain yang
mewarnainya antara lain adalah hati, jiwa, dan moral. Bardwick
menyatakan bahwa kepemimpinan bukanlah masalah intelektual atau
pengenalan, melainkan masalah emosional. Sedangkan Bell berpikiran
bahwa pembimbing yang benar tidak selamanya merupakan makhluk
rasional. Mereka seringkali adalah pencari nyala api.
0 comments:
Posting Komentar